Matahari
terik menyengat, menemani pembelajar yang tak bosan belajar meski tak kunjung
pandai. Hari ini, pembelajar itu belajar pemikiran islam di kampus Padjajaran,
memaknai sains dari sudut pandang Islam. Pembelajar itu datang terlambat,
karena sebelumnya ia perlu melahap soal demi soal tentang ekologi tanaman. Akhirnya,
ia hanya mendengar sebuah jawaban tentang sains dan islam, tanpa mendengarkan
materi secara utuh terlebih dahulu.
Adzan dzuhur pun berkumandang di
tepi ujung padjajaran, lantang menyeru kaum muslimin memenuhi undangan Allah,
untuk bermesraan dalam rukuk dan sujud. Selesai rukuk dan sujud, ia tak
memutuskan untuk langsung pulang, tetapi terlebih dahulu merebahkan diri
bersama dengan layar laptop yang tetap menyala. Gemericik keras di ujung
genting menyadarkan lamunannya, hujan deras pun turun, langit biru berubah
gelap, bertemankan deras hujan membasahi tanah Padjajaran. Orang-orang
berlarian, menyelamatkan diri dari kuyup hujan yang mebasahi sekujur tubuh.
Teringat nasihat salah seorang
ustadz, ramadhan tahun lalu. Ia bercerita tentang hujan, persis sama seperti
yang dialami pembelajar ini. Saat itu, para asatidz sedang berkumpul,
berbincang, dan berdiskusi tentang suatu masalah katanya. Saat adzan dzuhur
berkumandang, mereka pun keluar dari aula hendak memenuhi panggilan Allah. Seluruh
asatidz pun berjalan menuju masjid, kurang lebih 5 menit berjalan pun sudah
sampai di bibir pintu masjid. Asatidz tersebut kebetulan mengantar ayahnya yang
ikut dalam diskusi, sehingga ia berjalan beriringan bersama ayahnya menuju
masjid.
Saat perjalanan menuju masjid
itulah, tiba-tiba hujan deras turun dan membuat para asatidz itu berlarian, tak
terkecuali dengan ustadz tersebut yang memberikan nasihat kepada pembelajar
ini. Sang ustadz yang masih muda, ia berlari dengan lincah, sampai di depan
masjid lalu berteduh. Sementara itu, ayahnya yang sudah tua tertinggal di
belakang, kuyup oleh hujan sebelum akhirnya sampai di masjid. Sang ustadz pun
baru tersadar, jika ternyata ayahnya tertinggal jauh di belakang, kuyup dan
basah oleh terpaan hujan.
Salah seorang asatidz yang lain pun
menegur dan mengingatkan dengan nasihat yang sederhana, namun begitu bermakna. “jika
dengan hujan yang hanya air saja seorang anak dapat lupa dengan ayahnya, maka
sedashyat apa kiamat itu, hingga seorang yang baru melahirkan lupa akan rasa
sakitnya, berlari terbirit-birit mencari perlindungan dan lupa pada anak yang
baru dilahirkannya” ucap salah seorang ustadz. Nasihat itulah yang kemudian
ustadz tersebut sampaikan pada pembelajar ini.
Deras hujan di tanah Padjajaran
kembali mengurai benang-benang memori akan nasihat itu, memandang orang-orang
berlarian dari hujan, bahkan ada yang lupa dengan temannya, adapula yang hanya
memikirkan menyelamatkan diri dan hartanya dari hujan, tapi lupa untuk ikut
menyelamatkan teman-temanya. Fahami dan sadari, ikatan ukhuwah yang tidak
dibangun karena Allah akan kalah dan tercerai-berai, meski hanya oleh rintik
hujan di tepi langit. Sadarilah, ada saudara-saudara kita disamping kita,
jangan lupakan mereka hanya dengan alas an kesibukan atau apapun itu. Kuatkan ikatan
ukhuwah, seperti hujan yang terasa deras saat jatuh ke bumi bersamaan, ikatan
ukhuwah akan terasa manisnya saat berjuang bersama dengan satu tujuan yang
serupa.
Ini tentang hujan dan pembelajar di
tanah Padjajaran.
Bandung,
21 Mei 2016.
Selasar
Masjid Raya Universitas Padjajaran, bertemankan riuh hujan di langit.
0 komentar:
Posting Komentar