Jumat, 20 Mei 2016

Tentang Hujan


          
Matahari terik menyengat, menemani pembelajar yang tak bosan belajar meski tak kunjung pandai. Hari ini, pembelajar itu belajar pemikiran islam di kampus Padjajaran, memaknai sains dari sudut pandang Islam. Pembelajar itu datang terlambat, karena sebelumnya ia perlu melahap soal demi soal tentang ekologi tanaman. Akhirnya, ia hanya mendengar sebuah jawaban tentang sains dan islam, tanpa mendengarkan materi secara utuh terlebih dahulu.


            Adzan dzuhur pun berkumandang di tepi ujung padjajaran, lantang menyeru kaum muslimin memenuhi undangan Allah, untuk bermesraan dalam rukuk dan sujud. Selesai rukuk dan sujud, ia tak memutuskan untuk langsung pulang, tetapi terlebih dahulu merebahkan diri bersama dengan layar laptop yang tetap menyala. Gemericik keras di ujung genting menyadarkan lamunannya, hujan deras pun turun, langit biru berubah gelap, bertemankan deras hujan membasahi tanah Padjajaran. Orang-orang berlarian, menyelamatkan diri dari kuyup hujan yang mebasahi sekujur tubuh.
            Teringat nasihat salah seorang ustadz, ramadhan tahun lalu. Ia bercerita tentang hujan, persis sama seperti yang dialami pembelajar ini. Saat itu, para asatidz sedang berkumpul, berbincang, dan berdiskusi tentang suatu masalah katanya. Saat adzan dzuhur berkumandang, mereka pun keluar dari aula hendak memenuhi panggilan Allah. Seluruh asatidz pun berjalan menuju masjid, kurang lebih 5 menit berjalan pun sudah sampai di bibir pintu masjid. Asatidz tersebut kebetulan mengantar ayahnya yang ikut dalam diskusi, sehingga ia berjalan beriringan bersama ayahnya menuju masjid.
            Saat perjalanan menuju masjid itulah, tiba-tiba hujan deras turun dan membuat para asatidz itu berlarian, tak terkecuali dengan ustadz tersebut yang memberikan nasihat kepada pembelajar ini. Sang ustadz yang masih muda, ia berlari dengan lincah, sampai di depan masjid lalu berteduh. Sementara itu, ayahnya yang sudah tua tertinggal di belakang, kuyup oleh hujan sebelum akhirnya sampai di masjid. Sang ustadz pun baru tersadar, jika ternyata ayahnya tertinggal jauh di belakang, kuyup dan basah oleh terpaan hujan.
            Salah seorang asatidz yang lain pun menegur dan mengingatkan dengan nasihat yang sederhana, namun begitu bermakna. “jika dengan hujan yang hanya air saja seorang anak dapat lupa dengan ayahnya, maka sedashyat apa kiamat itu, hingga seorang yang baru melahirkan lupa akan rasa sakitnya, berlari terbirit-birit mencari perlindungan dan lupa pada anak yang baru dilahirkannya” ucap salah seorang ustadz. Nasihat itulah yang kemudian ustadz tersebut sampaikan pada pembelajar ini.
            Deras hujan di tanah Padjajaran kembali mengurai benang-benang memori akan nasihat itu, memandang orang-orang berlarian dari hujan, bahkan ada yang lupa dengan temannya, adapula yang hanya memikirkan menyelamatkan diri dan hartanya dari hujan, tapi lupa untuk ikut menyelamatkan teman-temanya. Fahami dan sadari, ikatan ukhuwah yang tidak dibangun karena Allah akan kalah dan tercerai-berai, meski hanya oleh rintik hujan di tepi langit. Sadarilah, ada saudara-saudara kita disamping kita, jangan lupakan mereka hanya dengan alas an kesibukan atau apapun itu. Kuatkan ikatan ukhuwah, seperti hujan yang terasa deras saat jatuh ke bumi bersamaan, ikatan ukhuwah akan terasa manisnya saat berjuang bersama dengan satu tujuan yang serupa.
            Ini tentang hujan dan pembelajar di tanah Padjajaran.

Bandung, 21 Mei 2016.
Selasar Masjid Raya Universitas Padjajaran, bertemankan riuh hujan di langit.

0 komentar:

Posting Komentar