Jumat, 20 Mei 2016

Menyemai Rindu


          
Tetes embun masih setia melekat di ujung dedaunan, mentari baru terbangun dari tidur lelapnya semalam. Pagi ini, aku dan guruku hendak melakukan perjalanan panjang. Kami hendak pergi kemana? Entahlah, aku pun tak tahu kami hendak kemana. Aku hanya duduk tertegun di kursi mobil, memandangi jalan yang asing, tak pernah kutemui sebelumnya. “Kita hendak kemana ustadz?” tanyaku padanya. “duduk saja dan nikmati perjalanan, nanti juga kau mengerti” jawabnya. Aku hanya diam, tak kembali bertanya, karena aku tahu bahwa guruku tak akan membawaku ke tempat yang salah, kelak kemudian aku dapat memetik hikmah dari perjalanan ini.

            Lekat-lekat kuperhatikan jalan dari jendela mobil, jalannya meliuk-liuk ibarat naga di film-film yang kutonton. Terhampar sawah hijau dan pegunungan yang indah, membuat lukisan alam ini begitu sempurna bak surga dunia. Aku hanya tertegun “Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah membuat keindahan di bumi ini” lirihku dalam hati. Sepanjang perjalanan, kami tak banyak berbincang, guruku memilih beristirahat dengan memejamkan mata, mungkin ia lelah dengan segala rutinitas perjuangannya. Aku tersenyum memandang wajahnya, ia sosok guru yang sederhana, mengajar kami dengan keteladanan, selalu tersenyum pada siapapun yang dijumpainya.
            Berjam-jam perjalanan kugunakan untuk memandangi lukisan alam nan indah sepanjang jalan yang kami lewati. Sesekali aku memotret jalan dengan kamera handphone di tangan, agar keindahan ini bias dirasakan pula sahabat-sahabatku di pesantren. Sebenarnya, masih ada misteri dalam benakku, “apa sebenarnya tujuan guruku ini? Aku hendak dibawa kemana” tanyaku dalam hati. Lalu aku bergumam kembali “kenapa aku ragu, memang sejak kapan guruku ini menyakitiku. Aku yakin, ia hendak mengajarkan keteladanan dalam perjalanan panjang ini”.
            Setelah berjam-jam perjalanan, akhirnya kami sampai di suatu perkampungan. Entah apa namanya, disini tak terlalu ramai, lalu lalang mobil pun jarang, tak seperti kota tempat tinggalku, setiap hari penuh sesak oleh kendaraan. Tak jarang, bias berjam-jam kami dijemur matahari karena macet. Tapi, tempat ini begitu berbeda, hening, damai, dan sejuk ibarat surga. Kami pun berjalan menuju masjid bercat biru, biru muda persis seperti biru langit. Kami pun menunaikan shalat dzuhur, dijama’ qashar dengan ashar karena kami dalam kondisi safar.
            “kenalkan, ini santri saya” ucap guruku, mengenalkanku pada kawannya. “assalamu’alaikum, kenalkan nama saya fatih” ucapku memperkenalkan diri. Kutatap wajahnya, perawakannya tinggi berkacamata, berkumis, dan berjenggot, senyumnya begitu ramah menyapa kami. “wa’alaikumussalam, senang dapat berkenalan dengan nak fatih” jawabnya sambil tersenyum ramah. Kami dibawa berkeliling desa, dikenalkan satu tempat ke tempat yang lain, dikenalkan pad satu warga ke warga yang lain.
            “ustadz, sebenarnya hendak apa kita disini?” tanyaku sambil berbisik. “kita hendak beramal sholeh, berusaha menjadi sebaik-baik umat” jawab guruku. “sebaik-baik umat?” tanyaku heran. “ya, kau ingat saja firman Allah dalam surat ali ‘imran ayat 110” jawab guruku singkat sambil tersenyum lembut. “kenapa ali ‘imran?” tanyaku dalam hati yang penuh Tanya. Kami pun terus berjalan mengelilingi desa, desa yang sungguh menawan, sejuk oleh hamparan sawah di kanan kiri, segar oleh sungai yang mengalir dari hulu ke hilir.
            “nak fatih sudah siap?” Tanya lelaki berkacamata itu. “siap untuk apa?” tanyaku heran. “nak fatih kan akan tinggal disini selama sebulan, membantu saya dan warga desa disini” jawabnya sambil tersenyum. Aku bingung, tak mengerti apa maksudnya. Seakan tahu akan kebingunganku, guruku pun menjelaskan “anakku, seharunya akulah yang tinggal disini selama sebulan, namun kau tahu bukan, fisikku tak muda lagi, fikiranku tak setajam dulu, belum lagi urusan pesantren yang tak bisa ditinggalkan. Oleh sebab itu, engkaulah yang akan menggantikan posisiku disini nak. Engkau akan mengajar dan mengabdi disini, tak lama, hanya satu bulan saja”. “tapi ustadz….” Keluhku pada guruku. “nak, apakah engkau hendak mengecewakan orangtua ini?” tanyanya. Aku pun diam membisu, tak bisa berucap apa-apa lagi. Lelaki berkacamata itu pun menjabat tanganku, “selamat datang di desa kami, senang berkenalan dengan nak fatih” ucapnya.
            Adzan ashar pun memenuhi ruang-ruang kosong itu, menyeruak ke seluruh desa memanggil manusia memenuhi undangan tuhannya. Aku memutuskan berjalan-jalan lagi, mencoba menenangkan fikiran tentang kenyataan di hadapanku ini. “apa aku mampu?” gumamku dalam hati. Adzan ashar hampir selesai, aku masih terus berjalan, melewati rumah-rumah. Saat pandanganku mengarah ke depan, mataku tertegun pada seorang wanita dengan mukena abu-abu, berkacamata putih berjalan menuju masjid. “subhanallah, bidadari surgakah itu” ucapku dalam hati. Wanita itu tersenyum, meski entah senyum itu untukku atau bukan, tapi senyum itu begitu indah dan menawan. Seakan-akan aku memohon pada waktu untuk berhenti sejenak, ingin rasanya aku lebih lama memandang senyumannya. Ia pun melewatiku, berjalan menuju masjid bercat biru langit.
            Aku masih tersenyum-senyum, serasa melihat bidadari jatuh dari surga. “anakku, kenapa engkau tersenyum-senyum sendiri?” Tanya guruku sambil menepuk bahu. “eh ustadz, tidak kenapa kenapa ustadz” jawabku singkat sambil salah tingkah mencoba menguasai diri. “nak, maafkan gurumu ini yang tanpa izinmu memintamu menggantikanku. Tapi, hanya engkau yang aku percaya mampu mengemban amanah ini. Ikhlaskan hatimu hanya kepada Allah, biarkan Ia menuntunmu dalam jalan perjuangan ini”. “insyaAllah ustadz, fatih tahu jika ini keputusan ustadz, maka ini yang terbaik untuk fatih. Fatih berharap dapat memetik hikmah dalam perjalanan dakwah ini” jawabku singkat.
            Hari semakin sore, aku dan guruku pamit pada lelaki berkacamata itu. Hendak pulang ke kota kami untuk mempersiapkan segalanya, “insyaAllah, anakku akan kembali bulan depan ke desa ini” jelas guruku pada lelaki berkacamata. “kami sangat menanti kehadiran nak fatih, semoga Allah menakdirkan pertemuan kita” jawab pria berkacamata itu. Akhirnya, aku dan guruku pulang, kembali ke kota kami.
            Sepanjang perjalanan pulang, senyum itu masih melekat dalam benakku. “apa yang kurasakan?” tanyaku dalam hati. “perasaan apa yang kurasa?” tanyaku kembali dalam hati. “ikhlaskan dirimu dalam jalan perjuangan, kembalikan segalanya pada Allah” tegasku dalam hati. Sepanjang perjalanan aku beristighfar, memohon ampunan dan petunjuk atas perasaanku. Sadar atau tidak, tapi senyum itu telah menyemai rindu dalam hati. Meski aku tak tahu, apa rindu itu akan berbalas atau tidak. Kembalikan saja semuanya pada Allah, tugasku adalah mengemban amanah dakwah sebagai sebaik-baik umat. Jika pun senyum itu menyemai rindu, semoga rindu itu tumbuh  menjadi sesuatu yang Allah ridhai. Biarkan jalan rinduku, menjadi jalan yang Allah ridhai, agar aku menyemai rindu yang hakiki.

0 komentar:

Posting Komentar