Tetes
embun masih setia melekat di ujung dedaunan, mentari baru terbangun dari tidur
lelapnya semalam. Pagi ini, aku dan guruku hendak melakukan perjalanan panjang.
Kami hendak pergi kemana? Entahlah, aku pun tak tahu kami hendak kemana. Aku hanya
duduk tertegun di kursi mobil, memandangi jalan yang asing, tak pernah kutemui
sebelumnya. “Kita hendak kemana ustadz?” tanyaku padanya. “duduk saja dan
nikmati perjalanan, nanti juga kau mengerti” jawabnya. Aku hanya diam, tak
kembali bertanya, karena aku tahu bahwa guruku tak akan membawaku ke tempat
yang salah, kelak kemudian aku dapat memetik hikmah dari perjalanan ini.
Lekat-lekat kuperhatikan jalan dari
jendela mobil, jalannya meliuk-liuk ibarat naga di film-film yang kutonton. Terhampar
sawah hijau dan pegunungan yang indah, membuat lukisan alam ini begitu sempurna
bak surga dunia. Aku hanya tertegun “Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah
membuat keindahan di bumi ini” lirihku dalam hati. Sepanjang perjalanan, kami
tak banyak berbincang, guruku memilih beristirahat dengan memejamkan mata,
mungkin ia lelah dengan segala rutinitas perjuangannya. Aku tersenyum memandang
wajahnya, ia sosok guru yang sederhana, mengajar kami dengan keteladanan,
selalu tersenyum pada siapapun yang dijumpainya.
Berjam-jam perjalanan kugunakan
untuk memandangi lukisan alam nan indah sepanjang jalan yang kami lewati. Sesekali
aku memotret jalan dengan kamera handphone di tangan, agar keindahan ini bias dirasakan
pula sahabat-sahabatku di pesantren. Sebenarnya, masih ada misteri dalam
benakku, “apa sebenarnya tujuan guruku ini? Aku hendak dibawa kemana” tanyaku
dalam hati. Lalu aku bergumam kembali “kenapa aku ragu, memang sejak kapan
guruku ini menyakitiku. Aku yakin, ia hendak mengajarkan keteladanan dalam
perjalanan panjang ini”.
Setelah berjam-jam perjalanan, akhirnya
kami sampai di suatu perkampungan. Entah apa namanya, disini tak terlalu ramai,
lalu lalang mobil pun jarang, tak seperti kota tempat tinggalku, setiap hari
penuh sesak oleh kendaraan. Tak jarang, bias berjam-jam kami dijemur matahari
karena macet. Tapi, tempat ini begitu berbeda, hening, damai, dan sejuk ibarat surga.
Kami pun berjalan menuju masjid bercat biru, biru muda persis seperti biru
langit. Kami pun menunaikan shalat dzuhur, dijama’ qashar dengan ashar karena
kami dalam kondisi safar.
“kenalkan, ini santri saya” ucap
guruku, mengenalkanku pada kawannya. “assalamu’alaikum, kenalkan nama saya fatih”
ucapku memperkenalkan diri. Kutatap wajahnya, perawakannya tinggi berkacamata,
berkumis, dan berjenggot, senyumnya begitu ramah menyapa kami. “wa’alaikumussalam,
senang dapat berkenalan dengan nak fatih” jawabnya sambil tersenyum ramah. Kami dibawa
berkeliling desa, dikenalkan satu tempat ke tempat yang lain, dikenalkan pad
satu warga ke warga yang lain.
“ustadz, sebenarnya hendak apa kita
disini?” tanyaku sambil berbisik. “kita hendak beramal sholeh, berusaha menjadi
sebaik-baik umat” jawab guruku. “sebaik-baik umat?” tanyaku heran. “ya, kau
ingat saja firman Allah dalam surat ali ‘imran ayat 110” jawab guruku singkat
sambil tersenyum lembut. “kenapa ali ‘imran?” tanyaku dalam hati yang penuh Tanya.
Kami pun terus berjalan mengelilingi desa, desa yang sungguh menawan, sejuk
oleh hamparan sawah di kanan kiri, segar oleh sungai yang mengalir dari hulu ke
hilir.
“nak fatih sudah siap?” Tanya lelaki
berkacamata itu. “siap untuk apa?” tanyaku heran. “nak fatih kan akan tinggal
disini selama sebulan, membantu saya dan warga desa disini” jawabnya sambil
tersenyum. Aku bingung, tak mengerti apa maksudnya. Seakan tahu akan
kebingunganku, guruku pun menjelaskan “anakku, seharunya akulah yang tinggal
disini selama sebulan, namun kau tahu bukan, fisikku tak muda lagi, fikiranku
tak setajam dulu, belum lagi urusan pesantren yang tak bisa ditinggalkan. Oleh sebab
itu, engkaulah yang akan menggantikan posisiku disini nak. Engkau akan mengajar
dan mengabdi disini, tak lama, hanya satu bulan saja”. “tapi ustadz….” Keluhku pada
guruku. “nak, apakah engkau hendak mengecewakan orangtua ini?” tanyanya. Aku pun
diam membisu, tak bisa berucap apa-apa lagi. Lelaki berkacamata itu pun
menjabat tanganku, “selamat datang di desa kami, senang berkenalan dengan nak fatih”
ucapnya.
Adzan ashar pun memenuhi ruang-ruang
kosong itu, menyeruak ke seluruh desa memanggil manusia memenuhi undangan
tuhannya. Aku memutuskan berjalan-jalan lagi, mencoba menenangkan fikiran
tentang kenyataan di hadapanku ini. “apa aku mampu?” gumamku dalam hati. Adzan ashar
hampir selesai, aku masih terus berjalan, melewati rumah-rumah. Saat pandanganku
mengarah ke depan, mataku tertegun pada seorang wanita dengan mukena abu-abu,
berkacamata putih berjalan menuju masjid. “subhanallah, bidadari surgakah itu”
ucapku dalam hati. Wanita itu tersenyum, meski entah senyum itu untukku atau
bukan, tapi senyum itu begitu indah dan menawan. Seakan-akan aku memohon pada
waktu untuk berhenti sejenak, ingin rasanya aku lebih lama memandang
senyumannya. Ia pun melewatiku, berjalan menuju masjid bercat biru langit.
Aku masih tersenyum-senyum, serasa
melihat bidadari jatuh dari surga. “anakku, kenapa engkau tersenyum-senyum
sendiri?” Tanya guruku sambil menepuk bahu. “eh ustadz, tidak kenapa kenapa
ustadz” jawabku singkat sambil salah tingkah mencoba menguasai diri. “nak,
maafkan gurumu ini yang tanpa izinmu memintamu menggantikanku. Tapi, hanya
engkau yang aku percaya mampu mengemban amanah ini. Ikhlaskan hatimu hanya kepada
Allah, biarkan Ia menuntunmu dalam jalan perjuangan ini”. “insyaAllah ustadz, fatih
tahu jika ini keputusan ustadz, maka ini yang terbaik untuk fatih. Fatih berharap
dapat memetik hikmah dalam perjalanan dakwah ini” jawabku singkat.
Hari semakin sore, aku dan guruku
pamit pada lelaki berkacamata itu. Hendak pulang ke kota kami untuk
mempersiapkan segalanya, “insyaAllah, anakku akan kembali bulan depan ke desa
ini” jelas guruku pada lelaki berkacamata. “kami sangat menanti kehadiran nak fatih,
semoga Allah menakdirkan pertemuan kita” jawab pria berkacamata itu. Akhirnya,
aku dan guruku pulang, kembali ke kota kami.
Sepanjang perjalanan pulang, senyum
itu masih melekat dalam benakku. “apa yang kurasakan?” tanyaku dalam hati. “perasaan
apa yang kurasa?” tanyaku kembali dalam hati. “ikhlaskan dirimu dalam jalan
perjuangan, kembalikan segalanya pada Allah” tegasku dalam hati. Sepanjang perjalanan
aku beristighfar, memohon ampunan dan petunjuk atas perasaanku. Sadar atau
tidak, tapi senyum itu telah menyemai rindu dalam hati. Meski aku tak
tahu, apa rindu itu akan berbalas atau tidak. Kembalikan saja semuanya pada
Allah, tugasku adalah mengemban amanah dakwah sebagai sebaik-baik umat. Jika pun
senyum itu menyemai rindu, semoga rindu itu tumbuh menjadi sesuatu yang Allah ridhai. Biarkan jalan
rinduku, menjadi jalan yang Allah ridhai, agar aku menyemai rindu yang
hakiki.
0 komentar:
Posting Komentar