Senin, 23 Mei 2016

Bertemu yang di"Rindu"

         
Saat seseorang mencintai sesuatu, ia pasti akan senantiasa merindu untuk bertemu. Perhatikanlah dua orang insan yang saling mencinta, menanti ibarat siksaan, bertemu adalah anugerah bagi yang saling mencinta. Ketika hendak bertemu dengan yang dicinta dan dirindu, pastinya kita akan mempersiapkan segala hal saat bertemu dengannya, pakaian yang rapih, parfum yang wangi, diri yang bersih, dan persiapan-persiapan lainnya saat hendak bertemu yang dicinta dan dirindu. Persiapan itu adalah bukti cinta dan merindunya kita, sehingga kita ingin tampil sempurna saat bertemu dengan yang dicinta dan dirindu.

            Tinggal hitungan hari, kita akan berjumpa dengan bulan yang dirindu, ialah bulan ramadhan. Bulan dimana pahala berlipat ganda, bulan dimana al-Qur’an diturunkan, bulan dimana do’a senantiasa diijabah, dan beribu keutamaan lain yang menyertainya. Para shahabat sangat merindu bulan ramadhan, mereka tersenyum bahagia saat ramadhan semakin dekat. Mereka senantiasa mempersiapkan dengan diri dengan sebaik-baik persiapan, agar saat berjumpa melahirkan atsar yang baik, dan menjadi pribadi muslim yang lebih baik.
            Ramadhan adalah bulan yang istimewa dan penuh keutamaan, Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ »
Dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “apabila datang bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu surge dan ditutup pintu-pintu neraka, serta dibelenggunya syaithan”. (shahih muslim kitab as-shiyam bab fadli syahri ramadhana hadits no. 2547)
Sabda Rasulullah saw. tersebut menggambarkan keutamaan dari bulan yang dirindu, yaitu bulan ramadhan. Karena pada bulan ini, pintu-pintu surga dibuka selebar-lebarnya, dan pintu-pintu neraka ditutup. Tinggal bagaimana kita menjadikan ibadah shaum kita, benar-benar menjadi pembuka pintu-pintu surga.
            Andai kita menghitung usia kita, sudah berapa kali kiranya kita berjumpa dengan bulan ramadhan?. Apa yang kita raih dari setiap ramadhan ke ramadhan yang lain. Jangan sampai saat kita berjumpa dengan yang dirindu, tak melahirkan kecintaan yang hakiki, sebagai buah dari rindu yang membuncah. Rasulullah saw. mengingatkan kita untuk jangan sampai bulan ramadhan tak membuahkan ampunan bagi kita yang melaluinya. Rasulullah saw. bersabda:
رَغِمَ أَنْفَ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ شَهْرُ رَمَضَانَ ثُمَّ النْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
            “jatuh ke tanah hidung seseorang (rugi, celaka). Masuk kepadanya bulan ramadhan, tetapi ketika selesai ia tidak diampuni”. (Sunan at-Tirmidzi no. 3545)
Siapa yang memasuki bulan ramadhan, ia tidak melaksanakan ramadhan dan ibadah lainnya, maka ia pasti akan celaka, serta tidak mungkin mendapatkan ampunan. Seharusnya seorang muslim memanfaatkan bulan ramadhan untuk mendapatkan ampunan dari setiap dosa-dosanya, bukan malah mendapatkan celaka dari bulan yang penuh keberkahan. Selain itu, orang yang telah melalui bulan ramadhan pun dapat celaka, karena saat selesai bulan ramadhan ia tidak menjadi insan yang bertakwa dan lebih baik dari sebelumnya. Maka baginya kesia-siaan, karena setelah ramadhan ketakwaannya tidak bertambah.
            Pertemuan dengan yang dirindu, tentunya harus dipersiapkan dan dijalani dengan baik, agar rindu itu menghasilkan buah manis kecintaan kepada Allah ta’ala. Oleh karena itu, persiapan bertemu dengan yang dirindu harus optimal dan semaksimal mungkin. Pertama, kita harus mempersiapkan diri kita sebelum memasuki bulan ramadhan dengan persiapan fisik yang baik, agar saat menjalani ramadhan kita tidak mengalami kepayahan. Bagi yang belum terbiasa shaum, maka dapat membiasakan diri untuk shaum di bulan sya’ban dan bulan sebelumnya, baik shaum senin dan kamis, atau shaum sunnah yang lainnya. Namun, jika kondisi fisik kita sedang tidak sehat, maka sebaiknya kita tidak shaum dan memulihkan fisik kita, agar saat memasuki bulan ramadhan fisik kita berada dalam keadaan yang sehat.
            Kedua, luruskanlah niat dalam menjalani ibadah shaum. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًاغُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِيْهِ
Siapa yang shaum ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. (shahih al-Bukhari kitab al-iman bab shaum Ramadhan ihtisaban minal iman no. 38)
Dalam hadits tersebut, Rasulullah saw. menyinggung dua hal penting dalam menjalani ibadah shaum, yaitu imanan (iman) dan ihtisaban (mengharap keridhaan dan pahala-Nya). Di dalam hadits-hadits yang semakna, Rasulullah saw. pun menyematkan dua kalimat tersebut, yang menandakan pentingnya keduanya dalam menjalani ibadah shaum. Perkara niat dalam menjalani ibadah adalah sesuatu hal yang penting, karena muara yang dituju tergantung tempat keberangkatan awal kita. Inilah kenapa para ulama salaf seringkali mencamtumkan hadits tentang niat pada permulaan kitab-kitabnya, karena niat adalah pondasi penting dalam sebuah amal.
            Ibadah shaum tentunya akan maksimal dan diberi ganjaran oleh Allah ta’ala selama ia didasarkan pada keimanan dan pengharapan terhadap keridhaan Allah ta’ala. Saat ibadah shaum dijalani sebagai formalitas belaka, atau sekedar ritual tahunan, maka ibadah shaum ini tidak akan melahirkan apapun, kecuali lapar dan dahaga. Sesungguhnya amat merugi, manusia yang hanya mendapatkan haus dan lapar dari shaumnya, tetapi tidak mendapatkan sedikitpun ampunan dari shaumnya, karena shaumnya hanya sekedar formalitas ibadah, tidak diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah ta’ala.
            Ketiga, memaknai shaum bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga bershaum amal dan hati. Sehingga setelah selesai ramadhan, terlahir hati yang lebih lembut dan bersih. Rasulullah saw. bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ الَّغْوِوَالرَّفَثِ
        Shaum itu bukan dari makan dan minum. Hanyasanya shaum itu dari laghwu (perbuatan sia-sia) dan rafats (perkataan tidak senonoh). (al-mustadrak ‘ala as=shahihain kitab as-shaum no. 1520)
Sabda Rasulullah saw. tersebut menjelaskan bahwa shaum bukan hanya sekedar ibadah menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perbuatan yang sia-sia dan perkataan yang jelek. Seringkali kita melihat, orang yang shaum bermalas-malasan, sekian banyak waktunya diisi dengan tidur, atau menghabiskan waktunya dengan perbuatan yang sia-sia. Ramadhan seharusnya menjadi bulan dimana kita lebih giat dalam beribadah, lebih giat dalam mencari ilmu, dan lebih bersemangat dalam mencari keridhaan Allah ta’ala. Selain itu, orang shaum pun harus menjaga ucapannya, jangan sampai ia shaum namun berucap kata-kata yang kasar atau bahkan tidak senonoh. Oleh karena itu, selesai ramadhan harusnya terlahir pribadi yang giat dalam beribadah dan terjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan seorang muslim. Terlahir manusia yang lembut hatinya dengan dzikir, istiqomah dirinya dalam kebaikan, dan mengisi hari-harinya dengan kebaikan.
            Keempat, memaksimalkan segala ibadah di bulan ramadhan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, yaitu meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Maka sebaliknya dari berbuat sia-sia adalah kita memaksimalkan segala bentuk ibadah di bulan ramadhan. Sehingga kita akan terbiasa melaksanakannya setelah ramadhan, oleh karena itu banyak yang menyebut bulan ramadhan sebagai bulan tarbiyyah atau pembelajaran, dimana kita dibiasakan untuk memaksimalkan ibadah kita. Ada begitu banyak amalan di bulan ramadhan yang bernilai istimewa, diantaranya Qiyam ramadhan (tarawih), Tadarus al-Qur’an, berdo’a, dan ibadah-ibadah lainnya.
            Di bulan ramadhan, kita dibiasakan untuk melaksanakan qiyam ramadhan atau tarawih. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًاغُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِيْهِ
            Siapa yang qiyam ramadhan (berdiri untuk shalat malam) ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. (shahih al-bukhari no. 37 dan 2009; shahih muslim 1815-1816)
Sabda Rasulullah saw. ini menegaskan tentang keutaman qiyam ramadhan, dimana ia akan melahirkan ampunan atas dosa-dosa kita yang telah lalu. Maka amat merugi orang yang melaksanakan shaum, bertemu dengan bulan yang dirindu, tetapi tidak menghidupkan qiyam ramadhan.
            Tadarus al-Qur’an, ini pun tidak kalah pentingnya untuk dihidupkan di bulan suci Ramadhan. Tadarus yang arti asalnya “menghapus” merupakan amaliah terhadap al-Qur’an yang tujuan utamanya “menghapus” tulisan al-Qur’an dalam mushhaf dan mengalihkannya ke dalam hati, akal, pikiran, dan amal perbuatan.[1] Oleh karena itu, perlu dibumikan kembali membaca al-Qur’an, memindahkannya dari mushhaf ke dalam hati-hati manusia. Jika interaksi kita sangat minim dengan al-Qur’an, maka bagaimana ia akan meresap ke dalam hati.
            Berdo’a, manusia tidak akan terlepas dari kebutuhan dan pengharapan, sejatinya setiap pengharapan itu harus digantungkan kepada Allah ta’ala, sehingga manusia tidak akan terlepas dari do’anya kepada Allah ta’ala. Di dalam ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban ibadah shaum, terselip firman-Nya tentang kedekatan-Nya dengan pengabulan do’a-do’a manusia. maka sudah sepantasnya orang yang beriman memaksimalkan do’anya di sepanjang Ramadhan. Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang penuh keberkahan, maka untuk meraih sukses di dalamnya, maksimalkanlah segala bentuk ibadah di bulan suci Ramadhan.
            Kelima, menyempurnakan Ramadhan dengan zakat fithri. Zakat fithri ini adalah kewajiban bagi setiap muslim, bahkan bayi yang dalam kandungan berusia lebih dari 4 bulan pun wajib dibayar zakatnya. Ibadah zakat ini menjadi penyempurna dari ibadah ramadhan, andai kita mudah melaksanakan shaum, membaca al-Qur’an, dan ibadah-ibadah lainnya, namun kita abai terhadap zakat maka ia tak akan pernah mencapai derajat ketaqwaan sebagai tujuan dari ibadah shaum ramadhan.
            Terakhir, menjaga keistiqomahan kita setelah shaum ramadhan. Pertanda diterimanya ibadah shaum ramadhan terlihat di sebelas bulan ramadhan. Apakah ia menjadi insan yang ramadhani (muslim taat di bulan ramdhan saja) atau muslim rabbani (muslim yang taat karena Rabbnya, dimanapun dan kapanpun). Betapa banyak kita lihat, pada bulan suci ramadhan orang-orang ramai menutup aurat, menutup tempat-tempat maksiat, namun selesai ramadhan mereka kembali kepada kejahiliyyahan. Maka yang demikian adalah pertanda kegagalan dari ibadah shaum ramadhan yang dijalaninya. Oleh karena itu, perlu bagi kita menjaga keistiqomahan diri kita di sebelas bulan setelah ramadhan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
            Siapa yang shaum ramadhan kemudian menyertakannya dengan enam hari di bulan syawwal, maka ia seperti shaum setahun. (Shahih Muslim)
            Langkah pertama setelah selesai ramadhan adalah dengan shaum syawwal. Hal ini menjadi langkah awal dalam menjaga keistiqomahan kita dalam beribadah kepada Allah setelah selesai bulan ramadhan. Shaum syawwal ini menjadi sangat penting, utamanya untuk menjaga ketakwaan kita agar tetap berbekas selepas ramadhan berlalu. Selepas syawwal, kita harus mampu menghidupkan ibadah-ibadah sunnah, untuk menjaga keimanan kita tetap berada pada puncak keimanan. Maka tetaplah ber-Ramadhan, di sebelas bulan setelah ramdhan.
            Bertemu dengan yang dirindu adalah keinginan setiap insan. Namun, ada yang menghasilkan cinta yang hakiki setelah bertemu dengan yang dirindu, tetapi adapula yang gagal membuahkan cinta yang hakiki dalam kerinduannya. Maksimalkanlah pertemuan kita dengan bulan yang dirindu, jangan sampai ia berlalu tanpa melahirkan buah ketakwaan dalam dirimu.
Wallahua’lam.


[1] Dikutip dari buku kiat sukses ibadah ramadhan, karangan Nashruddin Syarief.

0 komentar:

Posting Komentar