Sabtu, 21 Mei 2016

Sehidup Seperjuangan, Sehidup Sepenanggungan.



Pagi ini saya membaca beberapa buku, salah satunya buku kisah tentang salman alfarisi, seorang sahabat yang penuh perjuangan dalam mencari kebenaran tuhannya, yaitu Allah swt. buku karangan Syahril A. Latif ini menceritakan perjalanan singkat seorang salman alfarisi dari mulai proses pencarian kebenaran, hingga bertemu Rasulullah dan menyaksikan kebenaran-kebenaran ucapan Rasulullah di masa yang akan datang. Sebenarnya saya sudah pernah membacanya, tapi saat hendak membereskan buku-buku yang bertebaran, entah kenapa rasanya ingin kembali mengulang bacaan tentang kisah seorang salman alfarisi. Mengulang bacaan sejatinya tidak sia-sia, meski secara dzahir bacaanmu tak bertambah, bisa saja pemahamanmu yang bertambah atas bacaan tersebut.

            Tepat saat membuka halaman 27 dari buku tersebut, dikisahkan tentang pertemuan salman alfarisi dengan Nabi Muhammad saw. saat itu, Rasulullah baru saja sampai di Madinah, sementara salman sedang bekerja pada majikannya. Salman yang sebelumnya berguru pada orang shalih, diberikan tanda-tanda tentang akan hadirnya seorang utusan Allah, dengan ciri-cirinya sebagai tanda kebenaran kerasulannya. Salman pun bergegas menemui nabi dengan membawa kurma, lalu ia berikan kepada rombongan nabi tersebut, “Tuan-tuan adalah perantau yang baru tiba. Saya mempunyai sedikit kurma untuk melepaskan dahaga. Bersama ini saya sedekahkan untuk anda”. Nabi pun menerimanya, dan memberikannya kepada para sahabat, lalu memerintahkan untuk memakannya dengan mengucapkan bismillah, sementara nabi sama sekali tidak memakannya. Salman pun bergumam dalam hati “Ini tanda pertama kerasulannya, ia tidak menerima sedekah”.
            Setelah itu, salman pun kembali memberikan kurma pada nabi, namun kali ini salman memberikannya sebagai hadiah. Nabi pun menerimanya, dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya dengan mengucap bismillah, lalu nabi pun ikut memakannya. Maka jelaslah tanda kedua kerasulannya bagi seorang salman alfarisi, bahwa nabi tidak menerima sedekah, tetapi ia menerima hadiah. Terakhir, salman melihat cap tandan kerasulannya di bahu Rasulullah, dan semenjak itu salman pun bersyahadat dan masuk islam. Ia resmi bersaudara dengan seluruh umat muslim, persaudaran yang diikat oleh agama Allah. Sehidup, seperjuangan. Sehidup, sepenanggungan.
            Singkat cerita, umat muslim dihadapkan pada sebuah peperangan melawan orang-orang kafir. Salman alfarisi sebagai seorang muslim pun merasa terpanggil untuk berjihad di jalan Allah, namun sayang seribu sayang, dirinya yang masih budak terikat oleh izin majikannya yang seorang yahudi. Akhirnya, salman pun gagal mengikuti peperangan karena dilarang oleh majikannya. Kemudian, salman pun menceritakan hal itu kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun memerintahkan salman untuk menemui majikannya, dan minta untuk dibebaskan dengan mahar berapapun. Awalnya yahudi tersebut menolak, hingga dua tahun berlalu, akhirnya yahudi tersebut bersedia membebaskan salman dengan tebusan 40 tail emas murni, dan salman harus menanam 300 pohon kurma hingga tumbuh besar.
            Salman pun kembali mendatangi Rasulullah, ia mencerintakan persyaratan pembebasannya kepada Rasullah. Maka, para sahabat pun dikumpulkan dan dimintai bantuan untuk membantu salman menjadi manusia merdeka. Para sahabat yang telah dipupuk imannya, disirami dengan ketakwaan, membuat mereka ringan tangan bahu membahu untuk menolong saudaranya, yaitu salman alfarisi. Dalam waktu yang singkat, akhirnya terkumpulah 40 tail emas murni dan 300 bibit pohon kurma. Rasulullah dan para sahabat pun membantu menanam bibit kurma itu di kebun yahudi tersebut, tanpa ada penghalang antara Rasul dan para sahabat, tidak memandang tinggi atau rendah diantara sesama, mereka saling membantu menanam pohon kurma untuk membebaskan saudaranya. Singkat cerita, pohon-pohon kurma itu pun tumbuh subur tanpa cacat sedikit pun, dan salman akhirnya menjadi manusia yang merdeka.
            Demikianlah ikatan persaudaraan dan persahabatan yang diikat oleh kalimat “laa ilaha illallahu”, dibalut oleh iman dan takwa, serta disemai dengan benih kasih sayang ukhuwwah islamiyyah. Ikatan persaudaraan seperti itulah yang menguatkan barisan umat islam, bukan hanya persaudaraan senasab, tetapi juga persaudaraan sekasab dan seperjuangan. Tanpa melihat latar belakang salman, para sahabat rela menolong saudaranya seiman, dengan harta dan diri mereka sendiri, dan itulah indahnya ukhuwwah islamiyyah. KH. E. Abdurrahman dalam bukunya Al-Ibroh menjelaskan, bahwa kalimat ikhwatun adalah persaudaraan yang diikat dengan tali agama Allah, dan ikatan ini akan lebih kuat dibanding dengan ikatan persaudaraan yang diikat hanya dengan nasab. Oleh sebab itu, dasarkanlah tali ukhuwwah kita karena Allah ta’ala, agar ia terikat kencang, seperti kencangnya tali persaudaraan salman alfarisi dengan sahabat-sahabat Rasul yang lainnya. sehingga kita menjadi saudara, sahabat, yang sehidup seperjuangan, dan sehidup sepenanggungan. Wallahua’lam.

0 komentar:

Posting Komentar