Jumat, 20 Mei 2016

Memaknai Kebangkitan


           
Kebangkitan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kebangunan atau menjadi sadar. Kebangkitan nasional dimulai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, dimana ditandai dengan bangkitnya rasa dan semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, yang tidak pernah muncul selama penjajahan berkuasa dan bumi pertiwi ini dikuasai oleh Belanda dan Jepang (www.indoberita.com). Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kebangkitan nasional adalah sadarnya bangsa ini untuk bangkit dan bersatu memperjuangkan masa depan bangsa Indonesia.

            Hari ini, tepat 20 Mei 2016 diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Setiap instansi pemerintahan, sekolah, dan lain-lainnya ikut merayakan suka cita kebangkitan nasional. Peringatan hari kebangkitan nasional adalah upaya untuk mengingatkan segenap bangsa tentang perjuangan para pendahulu dalam memerdekakan negeri ini. Utamanya dengan terciptanya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang menjadi pijakan awal kebangkitan Indonesia, ruh dari perjuangan bangsa melepaskan diri dari penjajahan yang tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan.
            Islam mengajarkan kita untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah orang-orang terdahulu, “Perhatikanlah kesudahan orang-orang yang terdahulu” begitulah kiranya firman Allah ta’ala yang mengingatkan kita akan pentingnya arti sejarah bagi kehidupan manusia. Sejarah itu mengakar dan menjadi pondasi bagi manusia menentukan arah langkahnya ke depan. Sejatinya, kebangkitan ini tidak bisa hanya didasarkan pada ingat dan memperingati, atau sekedar menjadikan suatu tanggal sebagai ceremonial kebangkitan bangsa, akan tetapi semua hanya wacana ceremonial dan ritual tahunan yang acapkali pada akhirnya hanya menjadi “acara kenegaraan” yang harus ada.
            Pantas jika sahabat Umar bin Khattab menolak saran dari salah seorang yahudi, yang menganjurkan umat muslim merayakan ayat yang terakhir kali turun. Sejatinya, memperingati ayat yang turun tersebut bukan menjadikan tanggalnya menjadi sesuatu yang istimewa, melainkan menjadikan setiap ayat tersebut memenuhi hati dan amal, tidak hanya pada hari-hari tertentu tetapi setiap hari dalam hari-hari seorang muslim. Maka begitu pula memaknai kebangkitan, bangsa ini tak akan pernah mencapai kebangkitan jika kebangkitan tersebut hanya sekedar ceremonial tahunan. Akan tetapi bagaimana memaknai kebangkitan dengan kesadaran diri untuk mengabdi pada negeri, bukan hanya pada tanggal-tanggal tertentu, melainkan menjadikan hari-hari kita sebagai kebangkitan diri menuju pribadi yang lebih baik.
            Memaknai kebangkitan, teringat pada sabda Rasulullah saw. yang menjelaskan bahwa hari-hari seorang muslim harus terus bangkit, karena dari hari ke hari seorang mukmin harus menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Saat hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka kita adalah orang-orang yang beruntung. Saat hari ini sama dengan kemarin, maka kita adalah orang-orang yang merugi. Saat hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka kita adalah orang-orang yang celaka. Maka memaknai kebangkitan, kebangkitan tidak hanya dibangun pada satu hari tertentu, tetapi bagaimana kita bangkit setiap harinya, menjadikan setiap hari kita terus lebih baik.
            Kebangkitan itu dimulai dari kebangkitan diri kita, kondisi suatu bangsa tak akan pernah berubah tanpa dimulai dari perubahan diri sendiri. Memaknai kebangkitan, maka kita mulai bangkit dari diri sendiri. Para pelajar harus bangkit, bangkit dalam mencari ilmu dan mempersiapkan ilmu untuk terjun di masyarakat. Para pekerja harus bangkit, bangkit dalam bekerja, karena bekerja bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk peradaban negeri yang lebih baik. Siapapun dirimu, apapun profesimu, bangkitlah menjadi pribadi yang lebih baik. Memaknai kebangkitan, bangkitlah setiap hari tanpa perlu menunggu hari kebangkitan itu. Bergerak atau tergantikan!


Bandung, 20 Mei 2016.
pkl. 22.54 wib.


Elfa Muhammad Ihsan Al Aufa

0 komentar:

Posting Komentar