Hari ini, tepat 20 Mei 2016
diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Setiap instansi pemerintahan,
sekolah, dan lain-lainnya ikut merayakan suka cita kebangkitan nasional. Peringatan
hari kebangkitan nasional adalah upaya untuk mengingatkan segenap bangsa
tentang perjuangan para pendahulu dalam memerdekakan negeri ini. Utamanya dengan
terciptanya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang menjadi pijakan awal
kebangkitan Indonesia, ruh dari perjuangan bangsa melepaskan diri dari
penjajahan yang tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan.
Islam mengajarkan kita untuk
mengambil pelajaran dari kisah-kisah orang-orang terdahulu, “Perhatikanlah
kesudahan orang-orang yang terdahulu” begitulah kiranya firman Allah ta’ala
yang mengingatkan kita akan pentingnya arti sejarah bagi kehidupan manusia. Sejarah
itu mengakar dan menjadi pondasi bagi manusia menentukan arah langkahnya ke
depan. Sejatinya, kebangkitan ini tidak bisa hanya didasarkan pada ingat dan
memperingati, atau sekedar menjadikan suatu tanggal sebagai ceremonial
kebangkitan bangsa, akan tetapi semua hanya wacana ceremonial dan ritual
tahunan yang acapkali pada akhirnya hanya menjadi “acara kenegaraan” yang harus
ada.
Pantas jika sahabat Umar bin Khattab
menolak saran dari salah seorang yahudi, yang menganjurkan umat muslim
merayakan ayat yang terakhir kali turun. Sejatinya, memperingati ayat yang
turun tersebut bukan menjadikan tanggalnya menjadi sesuatu yang istimewa,
melainkan menjadikan setiap ayat tersebut memenuhi hati dan amal, tidak hanya
pada hari-hari tertentu tetapi setiap hari dalam hari-hari seorang muslim. Maka
begitu pula memaknai kebangkitan, bangsa ini tak akan pernah mencapai
kebangkitan jika kebangkitan tersebut hanya sekedar ceremonial tahunan. Akan tetapi
bagaimana memaknai kebangkitan dengan kesadaran diri untuk mengabdi pada
negeri, bukan hanya pada tanggal-tanggal tertentu, melainkan menjadikan
hari-hari kita sebagai kebangkitan diri menuju pribadi yang lebih baik.
Memaknai kebangkitan, teringat pada
sabda Rasulullah saw. yang menjelaskan bahwa hari-hari seorang muslim harus
terus bangkit, karena dari hari ke hari seorang mukmin harus menjadi lebih baik
dari hari sebelumnya. Saat hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka kita
adalah orang-orang yang beruntung. Saat hari ini sama dengan kemarin, maka kita
adalah orang-orang yang merugi. Saat hari ini lebih buruk dari hari kemarin,
maka kita adalah orang-orang yang celaka. Maka memaknai kebangkitan,
kebangkitan tidak hanya dibangun pada satu hari tertentu, tetapi bagaimana kita
bangkit setiap harinya, menjadikan setiap hari kita terus lebih baik.
Kebangkitan itu dimulai dari
kebangkitan diri kita, kondisi suatu bangsa tak akan pernah berubah tanpa
dimulai dari perubahan diri sendiri. Memaknai kebangkitan, maka kita mulai
bangkit dari diri sendiri. Para pelajar harus bangkit, bangkit dalam mencari
ilmu dan mempersiapkan ilmu untuk terjun di masyarakat. Para pekerja harus
bangkit, bangkit dalam bekerja, karena bekerja bukan hanya untuk diri sendiri
melainkan untuk peradaban negeri yang lebih baik. Siapapun dirimu, apapun
profesimu, bangkitlah menjadi pribadi yang lebih baik. Memaknai kebangkitan,
bangkitlah setiap hari tanpa perlu menunggu hari kebangkitan itu. Bergerak atau
tergantikan!
Bandung, 20 Mei 2016.
pkl. 22.54 wib.
Elfa Muhammad Ihsan Al Aufa
0 komentar:
Posting Komentar