Ahad sore adalah jadwalku dan teman-teman mengelola salah satu
kegiatan kami, yaitu sanggar jalanan. Idenya sederhana, kami ingin bermakna dan
bermanfaat bagi umat, memberantas buta huruf al-Qur’an, serta berbagi bahagia
bersama mereka yang berjuang di jalanan setiap hari. Kenapa? Agar kami sadar
bahwa ada orang-orang yang tidak seberuntung kami, hingga kami bersyukur pada
Rabb semesta alam, dengan berbagi sebagian rezeki yang kami dapatkan. Walaupun
kadang tak sesuai dengan rencana, atau malah lebih sering tak sesuai rencana.
Ya begitulah mungkin, dinamika organisasi.
Sore ini, seperti
biasa aku datang paling awal, bukan tepat waktu! Tapi lebih banyak yang
terlambat daripada aku, atau mungkin yang lain tidak datang lagi. Langit mulai
muram, mendung hitam menghiasinya sore ini. “Untung aku bawa payung” gumamku
dalam hati. Aku duduk di bangku taman, tepat dibagian ujung taman kota. Aku
memilih pojokan agar tak terlalu banyak orang lalu lalang di depanku, aku
sedang ingin menyendiri sore ini. Satu persatu anak didik kami menghampiriku,
mengucap salam sambil menciumi tanganku, lantas duduk bersamaku menanti yang
lain. “kak, kakak yang lain mau datang?” Tanya seorang anak bernama Nita.
“InsyaAllah, mungkin mereka sedang dijalan menuju kemari” jawabku sambil
tersenyum. Tiga anak sudah duduk bersamaku, sama-sama menanti ditemani mendung
diatas langit.
Anak didik yang
lain ikut berdatangan, genap sudah tujuh orang yang datang, atau seluruh anak
yang kami bina di sanggar jalanan. Aku bingung, teman-temanku sendiri belum ada
yang terlihat batang hidungnya seorang pun, sementara anak-anak sanggar jalanan
telah berkumpul semua. “kriing, kriiing” handphone-ku berbunyi, ada
beberapa pesan masuk. “yas, maafin aku lagi ada keperluan, belum bisa ke sangggar”
satu pesan dari aldi. “yas, maaf banget yah, sebenarnya aku pengen sekali-kali
ke sanggar, tapi aku ada acara keluarga, maaf banget yah yas” satu pesan dari
Nova. Tiga pesan lainnya pun masuk, dengan isi pesan yang serupa meski dengan
redaksi yang berbeda. Lagi-lagi, sore ini aku mengajar anak-anak sendirian.
Entahlah, kenapa setiap hari ahad setiap orang mendadak jadi sibuk. “Apa aku
pengangguran jadi tidak ada kesibukan lain?” gumamku dalam hati.
“anak-anak, hari
ini belajarnya sama kak yasfa ya, kebetulan kakak-kakak yang lain sedang ada
kesibukan dan tidak bisa kesini” jelasku pada anak-anak sambil berusaha
tersenyum. “gapapa kak, kami senang ko’ walau berlajar sama kak yasfa saja”
teriak salah seorang anak bernama avi sambil tersenyum tulus kepadaku. Ah iya,
senyum anak-anak inilah yang selalu jadi penyemangatku setiap ahad, membuat
ahadku lebih bermakna dan menyenangkan.
“Sekarang belajar
apa kak?” Tanya nita. “kita mulai dari baca iqro dulu ya” jawabku sambil
tersenyum. “ayo siapa yang mau duluan?” tanyaku. “aku kak!” jawab serempak
sambil saling berebut ingin jadi yang pertama. Satu persatu anak membaca iqro
dihadapanku, sebenarnya bukan buku iqro seperti anak-anak lain punya. Kami
hanya mengandalkan kertas-kertas kosong di rumahku, lantas anak-anak menulis
huruf-huruf hijaiyah dan kalimat-kalimat bahasa arab. Hmmm, jadi entahlah ini
bisa disebut iqro atau bukan. Tapi, keterbatasan yang kami miliki tidak pernah
melunturkan semangat belajar kami. Kami tetap bahagia dan ceria, bisa belajar bersama
serta berbagi cerita satu sama lain.
Anak-anak ini
sebenarnya tak seberuntung diriku. Avi misalnya, ayah dan ibunya meninggal
dunia dalam kecelakaan, saat itu Ia masih sangat kecil. Kondisi keluarganya
yang dapat dikatakan miskin, membuat avi luntang-lantung di jalanan, berpindah
dari satu terminal ke terminal yang lain. Tidur beralas kardus, tanpa selimut
hangat apalagi segelas coklat panas sebelum tidur. Ia sehari-hari makan dari
mengamen, malah lebih sering tidak makan. Nita, tak jauh berbeda dengan Avi. Ia
tak tahu siapa ayah dan ibunya, yang Ia ingat hanya sejak kecil hidup di
jalanan, mengamen, berjualan seadanya, agar bisa tetap hidup meski penuh dengan
derita jika dilihat dari kacamata kita. Anak-anak yang lain bagaimana? Tak jauh
berbeda! Mereka harus bersusah payah demi sesuap nasi, melawan terik matahari,
menembus hujan, tak jarang dicaci dan dimaki oleh para pengendara bermotor.
Satu persatu anak
selesai membaca “iqro”, -jangan bayangkan iqro seperti kalian-.
Sedikit-sedikit, aku perbaiki bacaan mereka semampuku. Yah, aku pun sadar
bacaanku tak semerdu Syeikh Sudais, Imam Masjidil Haram, malah mungkin tak
semerdu bacaan Qur’an nenekku di kampung, tapi setidaknya aku lebih fasih
membaca al-Qur’an dibanding anak-anak ini. Aku tersenyum bahagia, anak-anak
sudah mulai baik bacaannya. Sudah hafal huruf hijaiyyah, bahkan sebagian sudah
siap untuk membaca al-Qur’an langsung. Selesai membaca iqro, kami lanjut
dengan me-muraja’ah hafalan surat-surat pendek, mulai dari surat an-Nas
hingga at-Takasur. Alhamdulillah, hafalan mereka pun mulai bertambah sedikit
demi sedikit. Tak apa, batu jika dihujani air setetes demi setetes, lama-lama
juga akan terkikis.
Gerimis tipis
mulai turun, tampias menghujani wajahku, membasahinya sedikit-sedikit.
“anak-anak ayo kita pindah ke sana!” ajakku sambil menunjuk kolong jalan.
Kebetulan, di kotaku banyak taman kota, salah satunya taman-taman kota dibawah
kolong jalanan, cocok sekali bagi kami para pembelajar jalanan agar memiliki
tempat berteduh. Hari ini, aku masih mengajar membaca dan menulis. Yah, di
sanggar ini kami hanya belajar hal-hal sederhana, utamanya apa yang mampu aku
ajarkan kepada mereka. Hari ini, mereka belajar menuliskan kisah mereka saat di
jalanan. Ada yang menulis “Aku sang Pejuang jalanan”, adapula yang menulis
judul “Pelangi di sudut lampu merah”. Ah judul-judul yang unik, menggambarkan
kisah mereka selama berjuang di jalanan. Tak terlihat sedikit pun raut
kesedihan di wajah mereka, mereka bahagia membuat pena menari-nari diatas
kertas.
“Ayo, siapa yang
mau menceritakan kisahnya di hadapan teman-teman?” tanyaku. Semua saling
melirik malu-malu, sampai akhirnya salah seorang anak berdiri dan berkata “Aku
kak yasfa!”. Avi pun maju ke depan, menceritakan kisahnya di hadapan kami
semua. “Aku memberi judul kisahku ini Pelangi di sudut lampu merah” ucapnya.
“Aku sebenarnya tak tahu seperti apa pelangi itu, pelangi yang kata orang
begitu indah, dengan tujuh warna-warni yang menghiasinya. Entahlah, aku hanya
tahu tiga warna, merah, kuning dan hijau. Tiga warna yang selalu menghiasi
hari-hariku di jalanan. Tapi….” Avi agak tercekat, matanya berkaca-kaca,
bibirnya bergetar berusaha melanjutkan ceritanya. “Tapi sore itu, aku
benar-benar melihat pelangi di sudut lampu merah” ucapnya sambil tersedu-sedu
menangis. “aku melihat pelangi, bukan sekedar pelangi. Atau mungkin lebih tepat
ku sebut ia malaikat, malaikat yang berbagi senyum denganku. Seperti pelangi
yang datang membawa bahagia setelah hujan. Pelangi itu tak terbentuk dari tujuh
warna. Pelangi itu berbentuk seorang pria, dengan celana katun hitam, baju koko
abu-abu dengan ransel di pundak. Ia berbagi ceria, bahagia, dan canda tawa
bersamaku. Ia sesosok pelangi yang hadir di sudut lampu merah, mengulurkan
tangannya, menggengam tanganku menuju bahagia. Muhammad Yasfa, Ialah pelangi di
sudut lampu merah” ucapnya sambil tersenyum dan berderai air mata.
Hatiku luluh,
meleleh mendengar kalimat terakhirnya. Aku tak memberikan apapun, tapi aku
diumpakan bagai pelangi, yang memberi bahagia dan ceria bersama mereka. Sontak
ku peluk Avi, dan mencium ubun-ubunnya. Wanita kecil berusia tujuh tahun,
ibarat peri kecil yang berbagi bahagia denganku, mengajariku arti kehidupan
yang sesungguhnya. Sore itu, satu persatu anak menceritakan kisahnya. Kami
tertawa bersama, mendengar kisah-kisah lucu mereka saat di jalanan. Ada yang
kecebur ke got, ada yang masuk kubangan, ada yang mengamen di depan mobil, dan
ternyata mobil kosong yang sedang parkir. Sore itu, dibawah tampias hujan,
menjadi sore yang begitu indah. Gemericik hujan disisi taman menjadi melodi
yang amat merdu, menemani sore kami menanti senja.
Langit di ufuk
barat mulai memerah, perlahan senja menutupi langit, ditemani gerimis hujan
yang ikut turun. Perlahan, gema adzan terdengar ke seluruh penjuru taman,
menyeru orang-orang beriman untuk rukuk dan sujud kepada Rabb-nya. Aku pun
mengajak anak-anak ke masjid di ujung jalan, untuk shalat maghrib berjama’ah.
Kami pun mengambil wudlu, ku perbaiki beberapa anak yang belum benar
berwudlunya. Dimanapun, dalam keadaan apapun, jadikanlah ia media pembelajaran
yang baik, begitulah nasihat guruku saat di pondok dulu.
Kami pun shalat
berjama’ah, rukuk dan sujud, berdo’a memohon kebaikan pada Rabb semesta Alam,
Allah Swt. selepas shalat dan dzikir, disertai shalat sunnah rawatib, kami pun
menutup pembelajaran hari ini dengan berdo’a dan membaca kembali
hafalan-hafalan surat pendek kami. Satu persatu anak pun menyalamiku, dan pamit
pergi. Avi jadi anak yang terakhir menyalamiku, sambil tersenyum ia mengecup
tanganku dan berkata “Kak Yasfa, makasih yah”. “makasih untuk apa?” jawabku
sambil tersenyum. “Makasih karena kakak mau berkumpul bersama kami, mengajari
kami banyak hal. Avi tahu, kakak mungkin sama sibuknya seperti teman-teman
kakak yang lain. Tapi…. Kakak menjadikan kami sebagai bagian dari kesibukan
kakak. Makasih yah kak, aku sayang kakak karena Allah” jawabnya sambil
tersenyum. Pyaaarrrrr!!! Hatiku seakan diketuk begitu keras, kalimat Avi begitu
menyentuh, tak kuasa aku membendung tangis. Tak terasa mataku berkaca-kaca,
pelupuk mataku basah oleh bahagia. Aku memeluk Avi dan menciuminya. “kakak juga
sayang Avi karena Allah”.
Hari itu, aku
duduk di selasar masjid, memandangi hamparan bintang ditengah gulita. Allahku,
maafkan aku yang kadang tak sepenuh hati berjuang di jalan-Mu. Maafkan hamba
yang penuh alfa, yang lebih banyak mengeluh daripada bersyukur….
Aku Malu
berorganisasi, jika tak sekuat tenaga mencurahkan dzikir dan fikir dalam
berjuang.
Aku malu
berorganisasi, jika aku lalai pada setiap amanah yang tersemat di pundakku.
Aku malu
berorganisasi, jika tak bertotalitas dan loyalitas dalam jalan juang
organisasi ini…
Aku malu
berorganisasi, jika tak berbagi makna dan manfaat terhadap sesama…
Aku malu
berorganisasi, jika diri masih kalah oleh hawa nafsu.
“Allahku, Aku
berjanji akan selalu mengemban amanah ini dengan penuh totalitas. Andai ada
yang berjuang di jalan-Mu seribu orang manusia, maka aku akan memastikan bahwa
salah satunya adalah aku. Bahkan jika hanya ada seorang yang berjuang di
jalan-Mu, maka aku akan pastikan bahwa itu adalah aku. Dan jika tidak ada
lagi yang berjuang di jalan-Mu, maka itu pertanda aku syahid di jalan
perjuangan ini” tegasku dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar