MATA
AIR KEHIDUPAN
Takdir
Allah merupakan ketentuan yang teramat pasti, yang kadang manusia tak akan
pernah bisa memperkirakannya sedikit pun. Apa yang terjadi bukanlah apa yang
kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan. Namun, terkadang manusia melihat
takdir Allah Swt hanya dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandang manusia.
Sehingga tak jarang, manusia men-judge
takdir Allah sebagai ketidak adilan, karena apa yang terjadi tidak seperti apa
yang diharapkan. Setidaknya, itulah yang pernah aku alami dan bahkan sebagian
orang pun mengalami hal yang sama dengan ku, menganggap apa yang terjadi
sebagai sebuah ketidak adilan Tuhan.
Tepat
6 tahun silam, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, aku merasakan
bagaimana pahitnya kenyataan. Bagaimana Allah menakdirkan hal yang paling
kutakuti, takdir yang membawaku pada muara keputus asaan. Tepat 6 tahun silam,
aku mendapati kenyataan hasil ujian nasionalku yang sangat amat buruk, nilai
yang kudapat sangat jauh dari harapanku selama ini. Sesaat dalam benak ini, aku
menganggap Allah amat tak adil dalam memberikan takdir. Orang-orang yang tidak
serius belajar, mencontek, mendapatkan nilai yang sangat baik, bahkan diatas
rata-rata. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar, malah
mendapatkan nilai yang sangat amat kecil, bahkan dibawah rata-rata.
Yah,
tepat 6 tahun silam aku menganggap Allah itu tak adil padaku. Dan mungkin
sebagian orang yang mengalami kekecewaan dalam hidup pun merasakan hal yang
sama, menganggap Allah tak adil pada hidupnya, dan bahkan pada dirinya. Memang
jika mata manusia yang memandangnya, seakaan kekecewaan yang kita alami adalah
sebuah ketidak adilan Tuhan. Namun, jika kaca mata iman yang dipergunakan,
niscaya semua yang terjadi memiliki hikmah tersendiri,hikmah yang terkadang
baru kita sadar kelak kemudian.
Seiring
berjalannya waktu, menyadarkanku tentang kasih sayang Allah yang begitu besar
kepadaku. Kasing sayang Allah yang mengantarkanku pada mata air kehidupan. Tepat setelah
kejadian itu, nilaiku tak bisa membawaku masuk ke sekolah negeri, sekolah yang
saat itu begitu aku idamkan. Pada akhirnya, kedua orangtuaku memutuskan untuk
memasukkanku ke pesantren, yang kelak kemudian aku amat bersyukur karena aku
mengenal sebuah nama yang memberikan arrti begitu besar pada hidupku, pesantren!.
Saat
itu, aku memilih untuk masuk ke Pesantren Persatuan Islam 110 Manba’ul Huda,
pesantren yang kemudian mengukir kisah indah dalam hidup ini. Manba’ul Huda,
sebuah nama yang begitu indah. Manba’ul artinya mata air dan Huda artinya
petunjuk, hingga banyak asatidz yang berkata, “kami berharap kalian mendapatkan
petunjuk hidup disini”. Nama memang sebuah doa, hingga pesantren ini
benar-benar menjadi mata air petunjuk bagiku, dan mungkin bagi sekian banyak
santri yang menimba ilmu di mata air ini.
Awalnya,
hati ini tak pernah menerima takdir Allah ini,.awalnya, semua terasa berat tuk
dijalani. Detik seakan menit, menit seakan jam, jam seakan hari, hari seakan
bulan, bulan seakan tahun. Waktu berjalan begitu lambat, langkah kaki seakan
berderap begitu lambat, lebih lambat dari siput yang berjalan. Tetapi, saat ini
aku sadar, masa enam tahun yang teramat singkat, masa yang menjadi bagian
penting dalam hidup ini. Masa yang mengajarkanku tentang arti hidup yang
sesungguhnya.
Seiring
berjalannya waktu, aku sadar takdir Allah membawaku mengenalNya. Jika saja 6
tahun lalu aku mendapatkan nilai yang besar, nilai yang diatas rata-rata, entah
apa aku akan merasakan nikmatnya meneguk mata air kehidupan. Butuh waktu,
hingga akhirnya aku menerjemahkan takdir Allah sebagai sebuah keadilan, kasih
sayang yang membawaku mencintaiNya. Di Pesantren Persatuan Islam 110 Manba’ul
Huda lah, mata air petunjuk itu benar-benar mengalir dalam diri ini, yang
sekarang kurasakan sebagai mata air kehidupan. Pesantren tidak hanya mengajarkanmu
pendidikan formal, yang berkutat tujuannya pada nilai saja, atau angka-angka
yang tertera dalam selembar kertas itu. Tapi lebih dari itu, pendidikan
pesantren mengajarkan aqidah sebagai pondasi hidup. Akhlaqul karimah sebagai
buah kebaikan. Pendidikan moral yang mengajarkan arti kehidupan lebih dari
sekedar angka atau status, tetapi pendidikan tentang manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia, bahkan manusia dengan alam.
Sejak
saat itu, aku sadar bahwa kecerdasan tak bisa terukur oleh angka, moral tak
bisa dinilai hanya dengan sekedar prestise semu. Tapi lebih dari itu, kehidupan
tak hanya butuh angka-angka yang terkadang kita agungkan, aqidah dan akhlaq lah
yang menggambarkan dirimu sebenarnya. Tak bisa pintar hanya sekedar pintar,
cerdas hanya sekedar cerdas, karena manusia seperti itu sudah sangat banyak dan
tak terhitung jumlahnya. Tapi dunia butuh orang cerdas yang beriman dan
berakhlaq, orang pintar yang beriman dan berakhlaq. Maka apa yang kita anggap
baik, belum tentu baik untuk kita, sebagaimana termaktub pada surat cinta Allah
untuk manusia:
“…
boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh
jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 216)
Sadarlah,
apa yang terjadi adalah apa yang terbaik bagi kita. Apa yang terjadi adalah
bentuk kasih sayang Allah agar kita lebih dekat dengan-Nya. Sejatinya, baik
kesenangan ataupun kesedihan yang menimpa kita, yang terpenting adalah apakah
kesenangan dan kesedihan itu membawa kita lebih dekat padaNya. Waktu telah
menjawab keraguanku, sungguh Allah Maha Adil dengan takdirnya, membawaku pada mata air petunjuk, mata air kehidupan.
Tetaplah bersabar pada takdir Allah, tetap berdoa, dan jangan berputus asa dari
rahmat Allah Swt. Karena mata air kehidupan, datang dari mana saja, selama kita
yakin pada takdir Allah.
0 komentar:
Posting Komentar