Perkembangan Masyarakat Indonesia Masa Orde Baru
Orde
baru merupakan masa pemerintahan setelah pemerintahan orde lama yang dipimpin
oleh presiden Soeharto yang menggantikan presiden sebelumnya yaitu Ir.Soekarno.
Orde Baru adalah suatu tatanan
seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kepada
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan kata
lain, Orde Baru adalah suatu orde yang mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi
pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara dengan dilandasi oleh semangat dan
jiwa Pancasila serta UUD 1945.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11
Maret (Supersemar) sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
Setelah Gerakan 30 September 1965 berhasil ditumpas dan
rakyat tahu bahwa dalang dari gerakan tersebut jelas PKI, kemarahan
rakyat tidak dapat dibendung lagi. Pada awalnya masyarakat dari segala lapisan
membentuk kesatuan-kesatuan aksi sesuai dengan profesi masing (KAMI, KAPI,
KASI, KADI, KAGI) yang memiliki tuntutan agar diadakan penyelesaian masalah
politik seadil-adilnya, namun pemerintah sukarno tidak memberikan apresiasi
atas tuntutan itu, maka masyarakat memperkuat barisanya dengan menggabungkan
diri menjadi Front Pancasila.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pimpinan Angkatan
Darat, pada tanggal 14 Oktober 1965, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto
diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Langkah yang dilakukan
Soeharto adalah pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormas-ormasnya.
Masyarakat yang tergabung dalam Front Pancasila mengadakan
demonstrasi di jalan- jalan bahkan membentuk kabinet jalanan dan memacetkan
lalu lintas. Pada tanggal 8 Januari 1966, mereka menuju Gedung Sekretariat
Negara untuk mengajukan pernyataan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah tidak
dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966, berkumpul di halaman
gedung DPR-GR untuk mengajukan tiga tuntutan yang disebut Tritura yang :
1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya.
2. Pembersihan Kabinet Dwikora.
3. Penurunan harga-harga barang.
Untuk mengatasi krisis yang terjadi,
pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengadakan reshuffle kabinet
Dwikora, dengan nama baru Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, yang oleh mahasiswa
dinamakan Kabinet 100 Menteri. Kabinet tersebut dilantik pada tanggal 24
Februari 1966. Bersamaan dengan itu, para mahasiswa dan pelajar mengadakan
demonstrasi sehingga terjadi bentrokan dengan Pasukan Cakrabirawa yang
menyebabkan jatuhnya korban penembakan atas Arief Rahman Hakim, mahasiswa
Universitas Indonesia.
Menanggapi situasi yang semakin
tidak terarah tersebut, pada tanggal 25 Februari 1966, Presiden Soekarno
membubarkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang membuat semua
kesatuan aksi semakin marah. Untuk mengatasi krisis tersebut, pada
tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno memanggil Front Pancasila, PNI
pimpinan Ali Surachman, dan Partindo. Hasil pertemuan tersebut tidak memuaskan
sebab tidak ada keputusan membubarkan PKI.
Pada tanggal 11 Maret 1966, diadakan
sidang paripurna Kabinet Dwikora untuk mencari jalan keluar dari krisis. Akan
tetapi di luar gedung, para demonstran melakukan pengempesan ban-ban mobil di
jalan- jalan menuju istana. Sidang paripurna tetap berjalan. Pada waktu
Presiden sedang berpidato, Brigjen Sabur memberi laporan bahwa di luar istana
terdapat pasukan tanpa tanda pengenal pada seragamnya. Melihat gelagat yang
kurang baik tersebut, Presiden segera meninggalkan tempat sidang dengan diikuti
oleh Waperdam I Dr. Soebandrio dan Waperdam III Chaerul, Saleh menuju Istana
Bogor. Pimpinan sidang dilanjutkan oleh Waperdam II Dr. J. Leimena,kemudian
sidang ditutup dan Dr. J. Leimena menyusul ke Bogor. Sore harinya Mayjen Basuki
Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud menyusul ke istana Bogor.
Ketiga perwira tinggi TNI AD sebelum ke Bogor minta izin kepada Soeharto
sebagai atasannya. Basuki Rahmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari
Soeharto untuk Presiden Soekarno. Soeharto menjawab "Sampaikan saja bahwa
saya tetap pada kesanggupan saya, beliau akan mengerti."
Di Istana Bogor, ketiga perwira
tinggi tersebut mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soekarno. Dalam
pembicaraan tersebut tercetus pembuatan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang
kemudian disebut SP11 Maret atau Supersemar kepada Soeharto.
Supersemar dijadikan Letjen Soeharto
sebagai dasar untuk mengambil tindakan demi menjaga terjaminnya keamanan dan
ketertiban umum, serta menjamin keselamatan dan kewibawaan Presiden Soekarno.
Munculnya Supersemar tetap menjadi bahan perdebatan sampai saat ini, apakah
murni kehendak Presiden Soekarno ataukah disertai tekanan-tekanan dari pihak
luar. Namun sampai akhir masa kekuasaannya, Presiden Soekarno tidak pernah
mencabut Supersemar meski dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1966,
Presiden Soekarno mengatakan bahwa Supersemar bukan merupakan pengalihan
kekuasaan pemerintahan. Akan tetapi, legitimasi dari MPRS memperkuat Supersemar
sebagai landasan yuridis formal.
Sebagai pengemban Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil langkah-langkah sebagai berikut.
1.
Membubarkan PKI yang diperkuat dengan Keputusan
Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No. 1/ 3/1966 tanggal 12 Maret 1966.
2.
Mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 tanggal 18 Maret 1966
yang di dalamnya berisi nama 15 orang menteri yang dinilai tersangkut G 30
S/PKI dan diragukan etika baiknya.
3.
Membentuk Kabinet Dwikora pada tanggal 27 Maret 1966 yang
disempurnakan. Tokoh-tokoh yang duduk di dalam kabinet ini adalah mereka yang
bebas tidak terlibat dalam G 30 S/PKI.
4.
Membersihkan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh
pimpinan MPRS dan DPRGR yang diduga terlibat G 30 S/PKI.
5.
Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif,
sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.
Selanjutnya pada tangal 20 Juni - 5
Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum IV di Jakarta. Sidang tersebut
menghasilkan berbagai keputusan penting, yang merupakan langkah-langkah pokok
dalam usaha mengadakan koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan yang
dilakukan dalam masa Orde Lama. Ketetapan penting dalam sidang tersebut adalah
Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Pangti
ABRI/PBR/Mandataris/MPRS (Tap ini mengukuhkan Supersemar) dan Ketetapan MPRS
No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera.
Kabinet Ampera terdiri dari tiga unsur, yaitu
1. Pimpinan, yaitu Presiden.
2. Pembantu Pimpinan, yang terdiri atas
lima orang Menteri Utama yang secara bersama merupakan Presidium dengan Letjen
Soeharto, Menteri Utama bidang Hankam, sebagai Ketua Presidium.
3. Anggota-anggota kabinet, yang
terdiri atas 24 orang menteri yang masing- masing memimpin departemen di bawah
koordinasi Presidium Kabinet, melalui Menteri Utama yang membawahi bidang-
bidang yang bersangkutan.
Dalam Sidang Umum IV MPRS ini,
Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggung-jawaban berjudul Nawaksara.
Namun MPRS memandang isi pertanggung¬jawaban tersebut tidak memenuhi harapan
rakyat sebab tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden selaku mandataris
MPRS mengenai G30S/PKI beserta epilognya. Oleh karena itu, Presiden diminta
oleh Ketua MPRS A.H. Nasution agar melengkapi pidato tersebut. Pada tanggal 10
Januari 1967, Presiden menyampaikan naskah pelengkap Nawaksara. Pelengkap
Nawaksara ditolak oleh MPRS sebab tidak memenuhi Tritura.
Pada tanggal 1 Februari 1967,
Soeharto mengajukan konsep yang mungkin dapat digunakan dalam mempermudah
penyelesaian situasi konflik. Konsep itu berisi tentang pernyataan bahwa
presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang
SP11 Maret. Akan tetapi, Presiden Soekarno tidak menyetujui konsep tersebut.
Tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkumpul untuk membicarakan konsep
yang telah disusun sebelum diajukan kepada Presiden Soekarno.
Akhirnya dengan perubahan-perubahan
kecil, konsep tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20
Februari 1967. Pada hari Kamis tanggal 23 Februari 1967, Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan negara kepada Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap.
MPRS No. IX Tahun 1967. Kemudian pada tanggal 7 Maret - 12 Maret 1967,
diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Jakarta yang menetapkan Tap. No.
XXXIII/MPRS/ 1967 untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik
kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan
negara. MPRS juga mengeluarkan Tap. No. IX/MPRS/1966 tentang pengangkatan
Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden yang
baru oleh MPR hasil pemilu nantinya. Pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal
Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai pejabat presiden sehingga
berakhirlah kekuasaan Soekarno dan digantikan oleh Soeharto sebagai era baru
memasuki masa Orde Baru.
Kemudian disusul dengan lahirnya
Ketetapan MPRS No. XLIV/ MPRS/1968 yang isinya mengangkat Jenderal Soeharto
sebagai presiden Republik Indonesia sampai presiden baru hasil pemilihan umum
ditetapkan. Dengan demikian, selesai sudah peralihan kekuasaan pemerintahan
Presiden Soekarno-kepada Presiden Soeharto.
1.1 Gambar Diangkatnya Presiden
Soeharto.
Untuk mempelancar tugas penguasa
baru, maka MPRS mengeluarkan ketetapan baru, yaitu Tap No. XLI/MPRS/1968
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan dengan tugas pokok melaksanakan program
yang
disebut Panca Krida, yaitu
1.
menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi.
2.
menyusun dan melaksanakan Repelita.
3.
melaksanakan pemilu.
4.
mengembalikan keamanan dan ketertiban masyarakat dengan
mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI menindas setiap penyelewengan terhadap
Pancasila dan UUD 1945.
5.
melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh
aparatur negara.
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik
garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik di Eropa Timur
sering disebut lustrasi, dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal
dilakukan dengan menggelar Mahkamah
Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan
Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang
terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan
dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen
penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong
Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol.
Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara
efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya
mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang
didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang
adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep
pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad
II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa
tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak
lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI,
dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
1.2 Presiden Soeharto saat bertani.
Eksploitasi sumber daya Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan
dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Berikut perkembangan masyarakat pada
masa orde baru yaitu:
1.
Penataan Kehidupan Politik.
Kehidupan politik di Indonesia pada
masa orde lama mengalami situasi yang teramat panas, memicu konflik yang
berkepanjangan. Terjadi dualisme kepemimpinan antara soekarno dan soeharto.
Pada masa orde lama dibentuk kabinet ampera berdasarkan Keputusan Presiden No.
163 tanggal 25 Juli 1966. Dalam kabinet
tersebut presiden tetap dipegang oleh soekarno sekaligus sebagai pimpinan
kabinet. Namun, pada 11 Oktober 1966 terjadi perombakan kabinet Ampera yang
menjadikan Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai perdana menteri. 12
Maret 1967, diambil lah kekuasaan secara mutlak dari presiden Soekarno dan
menjadikan Soeharto sebagai penggantinya. Sehingga terjadi kehidupan politik
yang stabil di Indonesia.
2.
Membentuk Kabinet Pembangunan.
Tugas kabinet pembangunan ini adalah
Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, Menyusun dan melaksanakan Pemilihan
Umum, Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September, Membersihkan aparatur
Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.
3.
Pembubaran PKI dan Organisasi Massanya.
Untuk menjaga stabilitas negara, maka
pada masa pemerintahan orde baru dilakukan pembersihan atas PKI. Karena PKI
dianggap bertanggung jawab pada peristiwa G30-S PKI.
4.
Penyederhanaan Partai Politik.
Dengan alasan menjaga stabilitas
negara, diberlakukan penyederhanaan partai politik. Partai politik dibagi tiga,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang
merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
Dan ketiga Golongan Karya.
5.
Pemilihan Umum.
Selama masa Orde Baru
pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu
yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu
memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.
Pada Pemilu 1997 yang
merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh
74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh
5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan
suara dengan hanya mendapat11 kursi. Hal tersebut disebabkan adanya konflik
intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI
Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP .Penyelenggaraan.
Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan
Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan
dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum,
bebas, dan rahasia).
Namun, dalam kenyataannya
Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu yaitu Golkar.Kemenangan
Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997
menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi
oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik
Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh
anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan
usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.
6.
Intervensi Terhadap Warga Tionghoa.
Warga keturunan Tionghoa
juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1966, warga keturunan dianggap sebagai
warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh
komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang
mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga
ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin
dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan
untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar
berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang
Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih
5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme
di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan
dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia
politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Itulah sedikit mengenai
perkembangan masyarakat pada masa orde baru. Disisi lain orde baru memiliki
kelebihan, dengan stabilnya perekonomian, juga stabilnya keadaan politik
Indonesia kala itu. Namun, dibalik itu semua, banyak hak warga negara yang
diambil. Kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, juga
transparansi pemerintahan. Serta
pembangunan ekonomi yang tidak merata, akibat PAD yang tidak disalurkan secara
merata ke seluruh daerah.
1.3.
Mundurnya Presiden Soeharto
.
1.4.
Demonstrasi Rakyat di Gedung DPR.
Orde baru akhirnya runtuh
pada 21 Mei 1998, setelah terjadi demonstrasi besar-besaran dimana-mana. Rakyat
menuntut kebebasan reformasi, serta perekonomian yang lebih baik setelah
terjadi Inflasi yang begitu besar. Akhirnya, 21 Mei 1998 tersebut Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh wakilnya, B.J.
Habibie
0 komentar:
Posting Komentar