Rabu, 05 Februari 2014

Melawan Lupa!



Perkembangan Masyarakat Indonesia Masa Orde Baru
          Orde baru merupakan masa pemerintahan setelah pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh presiden Soeharto yang menggantikan presiden sebelumnya yaitu Ir.Soekarno. Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru adalah suatu orde yang mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD 1945.
          Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
Setelah Gerakan 30 September 1965 berhasil ditumpas dan rakyat tahu bahwa  dalang dari gerakan tersebut jelas PKI, kemarahan rakyat tidak dapat dibendung lagi. Pada awalnya masyarakat dari segala lapisan membentuk kesatuan-kesatuan  aksi sesuai dengan profesi masing (KAMI, KAPI, KASI, KADI, KAGI) yang memiliki tuntutan agar diadakan penyelesaian masalah politik seadil-adilnya, namun pemerintah sukarno tidak memberikan apresiasi atas tuntutan itu, maka masyarakat memperkuat barisanya dengan menggabungkan diri menjadi Front Pancasila.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat, pada tanggal 14 Oktober 1965, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Langkah yang dilakukan Soeharto adalah pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormas-ormasnya.
          Masyarakat yang tergabung dalam Front Pancasila mengadakan demonstrasi di jalan- jalan bahkan membentuk kabinet jalanan dan memacetkan lalu lintas. Pada tanggal 8 Januari 1966, mereka menuju Gedung Sekretariat Negara untuk mengajukan pernyataan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah tidak dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966, berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan tiga tuntutan yang disebut Tritura yang :
1.  Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya.
2.  Pembersihan Kabinet Dwikora.
3.  Penurunan harga-harga barang.
Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengadakan reshuffle kabinet Dwikora, dengan nama baru Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, yang oleh mahasiswa dinamakan Kabinet 100 Menteri. Kabinet tersebut dilantik pada tanggal 24 Februari 1966. Bersamaan dengan itu, para mahasiswa dan pelajar mengadakan demonstrasi sehingga terjadi bentrokan dengan Pasukan Cakrabirawa yang menyebabkan jatuhnya korban penembakan atas Arief Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia.
Menanggapi situasi yang semakin tidak terarah tersebut, pada tanggal 25 Februari 1966, Presiden Soekarno membubarkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang membuat semua kesatuan aksi  semakin marah. Untuk mengatasi krisis tersebut, pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno memanggil Front Pancasila, PNI pimpinan Ali Surachman, dan Partindo. Hasil pertemuan tersebut tidak memuaskan sebab tidak ada keputusan membubarkan PKI.
Pada tanggal 11 Maret 1966, diadakan sidang paripurna Kabinet Dwikora untuk mencari jalan keluar dari krisis. Akan tetapi di luar gedung, para demonstran melakukan pengempesan ban-ban mobil di jalan- jalan menuju istana. Sidang paripurna tetap berjalan. Pada waktu Presiden sedang berpidato, Brigjen Sabur memberi laporan bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal pada seragamnya. Melihat gelagat yang kurang baik tersebut, Presiden segera meninggalkan tempat sidang dengan diikuti oleh Waperdam I Dr. Soebandrio dan Waperdam III Chaerul, Saleh menuju Istana Bogor. Pimpinan sidang dilanjutkan oleh Waperdam II Dr. J. Leimena,kemudian sidang ditutup dan Dr. J. Leimena menyusul ke Bogor. Sore harinya Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud menyusul ke istana Bogor. Ketiga perwira tinggi TNI AD sebelum ke Bogor minta izin kepada Soeharto sebagai atasannya. Basuki Rahmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Soeharto untuk Presiden Soekarno. Soeharto menjawab "Sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya, beliau akan mengerti."
Di Istana Bogor, ketiga perwira tinggi tersebut mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soekarno.  Dalam pembicaraan tersebut tercetus pembuatan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian disebut SP11 Maret atau Supersemar kepada Soeharto.
Supersemar dijadikan Letjen Soeharto sebagai dasar untuk mengambil tindakan demi menjaga terjaminnya keamanan dan ketertiban umum, serta menjamin keselamatan dan kewibawaan Presiden Soekarno. Munculnya Supersemar tetap menjadi bahan perdebatan sampai saat ini, apakah murni kehendak Presiden Soekarno ataukah disertai tekanan-tekanan dari pihak luar. Namun sampai akhir masa kekuasaannya, Presiden Soekarno tidak pernah mencabut Supersemar meski dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno mengatakan bahwa Supersemar bukan merupakan pengalihan kekuasaan pemerintahan. Akan tetapi, legitimasi dari MPRS memperkuat Supersemar sebagai landasan yuridis formal.
Sebagai pengemban Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto mengambil langkah-langkah sebagai berikut.
1.     Membubarkan PKI yang diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No. 1/ 3/1966 tanggal 12 Maret 1966.
2.     Mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 tanggal 18 Maret 1966 yang di dalamnya berisi nama 15 orang menteri yang dinilai tersangkut G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya.
3.     Membentuk Kabinet Dwikora pada tanggal 27 Maret 1966 yang disempurnakan. Tokoh-tokoh yang duduk di dalam kabinet ini adalah mereka yang bebas tidak terlibat dalam G 30 S/PKI.
4.     Membersihkan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPRGR yang diduga terlibat G 30 S/PKI.
5.     Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif, sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.
Selanjutnya pada tangal 20 Juni - 5 Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum IV di Jakarta. Sidang tersebut menghasilkan berbagai keputusan penting, yang merupakan langkah-langkah pokok dalam usaha mengadakan koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan dalam masa Orde Lama. Ketetapan penting dalam sidang tersebut adalah Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris/MPRS (Tap ini mengukuhkan Supersemar) dan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera.
Kabinet Ampera terdiri dari tiga unsur, yaitu
1.     Pimpinan, yaitu Presiden.
2.     Pembantu Pimpinan, yang terdiri atas lima orang Menteri Utama yang secara bersama merupakan Presidium dengan Letjen Soeharto, Menteri Utama bidang Hankam, sebagai Ketua Presidium.
3.     Anggota-anggota kabinet, yang terdiri atas 24 orang menteri yang masing- masing memimpin departemen di bawah koordinasi Presidium Kabinet, melalui Menteri Utama yang membawahi bidang- bidang yang bersangkutan.
Dalam Sidang Umum IV MPRS ini, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggung-jawaban berjudul Nawaksara. Namun MPRS memandang isi pertanggung¬jawaban tersebut tidak memenuhi harapan rakyat sebab tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden selaku mandataris MPRS mengenai G30S/PKI beserta epilognya. Oleh karena itu, Presiden diminta oleh Ketua MPRS A.H. Nasution agar melengkapi pidato tersebut. Pada tanggal 10 Januari 1967, Presiden menyampaikan naskah pelengkap Nawaksara. Pelengkap Nawaksara ditolak oleh MPRS sebab tidak memenuhi Tritura.
Pada tanggal 1 Februari 1967, Soeharto mengajukan konsep yang mungkin dapat digunakan dalam mempermudah penyelesaian situasi konflik. Konsep itu berisi tentang pernyataan bahwa presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang SP11 Maret. Akan tetapi, Presiden Soekarno tidak menyetujui konsep tersebut. Tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkumpul untuk membicarakan konsep yang telah disusun sebelum diajukan kepada Presiden Soekarno.
Akhirnya dengan perubahan-perubahan kecil, konsep tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Februari 1967. Pada hari Kamis tanggal 23 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan negara kepada Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap. MPRS No. IX Tahun 1967. Kemudian pada tanggal 7 Maret - 12 Maret 1967, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Jakarta yang menetapkan Tap. No. XXXIII/MPRS/ 1967 untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara. MPRS juga mengeluarkan Tap. No. IX/MPRS/1966 tentang pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden yang baru oleh MPR hasil pemilu nantinya. Pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai pejabat presiden sehingga berakhirlah kekuasaan Soekarno dan digantikan oleh Soeharto sebagai era baru memasuki masa Orde Baru.
Kemudian disusul dengan lahirnya Ketetapan MPRS No. XLIV/ MPRS/1968 yang isinya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia sampai presiden baru hasil pemilihan umum ditetapkan. Dengan demikian, selesai sudah peralihan kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno-kepada Presiden Soeharto.
300px-Suhartoappointedpresident
1.1 Gambar Diangkatnya Presiden Soeharto.
Untuk mempelancar tugas penguasa baru, maka MPRS mengeluarkan ketetapan baru, yaitu Tap No. XLI/MPRS/1968 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan dengan tugas pokok melaksanakan program yang
disebut Panca Krida, yaitu
1.          menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi.
2.          menyusun dan melaksanakan Repelita.
3.          melaksanakan pemilu.
4.          mengembalikan keamanan dan ketertiban masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI menindas setiap penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
5.          melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik di Eropa Timur sering disebut lustrasi, dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
1.2 Presiden Soeharto saat bertani.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Berikut perkembangan masyarakat pada masa orde baru yaitu:
1.     Penataan Kehidupan Politik.
Kehidupan politik di Indonesia pada masa orde lama mengalami situasi yang teramat panas, memicu konflik yang berkepanjangan. Terjadi dualisme kepemimpinan antara soekarno dan soeharto. Pada masa orde lama dibentuk kabinet ampera berdasarkan Keputusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966.  Dalam kabinet tersebut presiden tetap dipegang oleh soekarno sekaligus sebagai pimpinan kabinet. Namun, pada 11 Oktober 1966 terjadi perombakan kabinet Ampera yang menjadikan Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai perdana menteri. 12 Maret 1967, diambil lah kekuasaan secara mutlak dari presiden Soekarno dan menjadikan Soeharto sebagai penggantinya. Sehingga terjadi kehidupan politik yang stabil di Indonesia.
2.     Membentuk Kabinet Pembangunan.
Tugas kabinet pembangunan ini adalah Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum, Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September, Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.
3.     Pembubaran PKI dan Organisasi Massanya.
Untuk menjaga stabilitas negara, maka pada masa pemerintahan orde baru dilakukan pembersihan atas PKI. Karena PKI dianggap bertanggung jawab pada peristiwa G30-S PKI.
4.     Penyederhanaan Partai Politik.
Dengan alasan menjaga stabilitas negara, diberlakukan penyederhanaan partai politik. Partai politik dibagi tiga, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. Dan ketiga Golongan Karya.
5.     Pemilihan Umum.
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh 5,43 %dengan peroleh 27 kursi. Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat11 kursi. Hal tersebut disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP .Penyelenggaraan.
 Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun, dalam kenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu yaitu Golkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
6.     Intervensi Terhadap Warga Tionghoa.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1966, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Itulah sedikit mengenai perkembangan masyarakat pada masa orde baru. Disisi lain orde baru memiliki kelebihan, dengan stabilnya perekonomian, juga stabilnya keadaan politik Indonesia kala itu. Namun, dibalik itu semua, banyak hak warga negara yang diambil. Kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, juga transparansi  pemerintahan. Serta pembangunan ekonomi yang tidak merata, akibat PAD yang tidak disalurkan secara merata ke seluruh daerah.
1.3. Mundurnya Presiden Soeharto
.
1.4. Demonstrasi Rakyat di Gedung DPR.
Orde baru akhirnya runtuh pada 21 Mei 1998, setelah terjadi demonstrasi besar-besaran dimana-mana. Rakyat menuntut kebebasan reformasi, serta perekonomian yang lebih baik setelah terjadi Inflasi yang begitu besar. Akhirnya, 21 Mei 1998 tersebut Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh wakilnya, B.J. Habibie

0 komentar:

Posting Komentar