BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanian
merupakan sektor potensial bagi kehidupan manusia, sebab pertanian merupakan
produsen pangan yang memenuhi kebutuhan konsumsi manusia. Kebutuhan akan pangan
ini mutlak adanya untuk keberlangsungan hidup manusia. Konsumsi pangan
merupakan sumber energi dalam aktifitas manusia. Tanpa adanya energy yang
dihasilkan dari konsumsi pangan, aktifitas manusia tentunya akan terganggu.
Oleh sebab itu, pengembangan sektor pertanian harus terus dikembangkan untuk
pertanian yang lebih maju.
Keberhasilan
produksi pertanian dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah pengendalian
hama dan penyakit pada komoditi pertanian. Hama dan penyakit yang menyerang
komoditas pertanian dapat menyebabkan produksi pertanian yang menurun, bahkan
memungkinkan untuk mengalami gagal produksi. Pengendalian hama dan penyakit
terpadu harus dikembangkan dengan serius untuk meningkatkan produksi
pertaniaan.
Dewasa ini,
pertanian di Indonesia dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas
umumnya masih menggunakan senyawa kimia untuk memacu pertumbuhan, mengendalikan
organisme pengganggu tanaman (OPT) dan mengendalikan gulma. Budidaya seperti
ini dapat menimbulkan residu bagi produk, pengaruh negatif terhadap lingkungan
dan dampak lainnya yang dapat mengganggu kesehatan bagi manusia. Praktek
perlindungan tanaman konvensional sangat
tergantung pada penggunaan pestisida kimia sintetik. Pestisida kimia masih
dianggap sebagai teknik pengendalian OPT yang ampuh (Untung 2002). Selain meningkatkan biaya pengendalian,
penggunaan insektisida secara berlebih berdampak kurang baik terhadap
lingkungan, sehingga menimbulkan residu yang berlebih pada produk dan
mengganggu kesehatan (Nurawan dan Yati 2010).
Gaya hidup
sehat dan back to nature atau kembali ke alam membuat paradigma
masyarakat terkonsep pada pangan yang sehat dan alami. Akhir-akhir ini gaya
hidup sehat memang telah menyebar, keinginan untuk hidup sehat pun menjadi
prioritas. Sebab itu, pertanian organik yang ramah lingkungan dan sedikitnya
penggunaan bahan kimia menjadi pilihan
utama masyarakat dalam konsumsi pangan produk pertanian. Sebab itu, para
produsen berusaha mengejar pasar dengan mengusahakan pertanian ramah lingkungan,
seperti pertanian dengan menggunakan insektisida nabati, entomopatogen,
petrogenol, seks feromon dan bahan lain yang aman.
Menurut Samudra
(2010), pada dekade belakangan ini, telah banyak feromon serangga yang telah
dianalisa secara kimiawi. Namun pemanfaatannya sebagai salah satu teknik
pengendalian serangga hama yang potensial, masih sangat terbatas. Sebagai salah satu teknologi, feromon
dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama. Penggunaan feromon diharapkan
dapat mengurangi ketergantungan petani dalam penggunaan kimia untuk
pengendalian hama dan penyakit pada tanaulasiman. Penerapan inovasi teknologi
feromon seks dapat mengurangi penggunaan insektisida, menurunkan biaya
produksi, yang kemudian dapat meningkatkan pendapatan petani.
Bawang merah
sebagai salah satu komoditas pertanian juga dapat terganggu produksinya oleh
hama seperti Spodoptera exigua
atau ulat bawang. Pengendalian terhadap hama ini tentu harus dilakukan dengan
metode yang ramah lingkungan untuk menciptakan hasil pangan yang baik dan sehat
serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan-bahan kimia. Pengendalian seks
feromon diharapkan dapat mengendalikan populasi hama ulat bawang secara alami
Atas dasar
itulah, penulis mengambil judul “Pengendalian Hama Tanaman Spodoptera exigua
Menggunakan Seks Feromon”. Penulis berharap dengan makalah ini, menjadi
langkah kecil dalam memajukan pertanian di negeri ini. Memutus ketergantungan
berlebih terhadap bahan-bahan kimia dalam pengelolaan pertanian, dan
mengembangkan pertanian berbasis ramah lingkungan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, penulis mencoba merumuskan masalah yang akan
dibahas dalam karya ilmiah ini. Yaitu sebagai berikut:
1.
Pengertian
Seks Feromon.
2.
Penerapan
Seks Feromon dalam budidaya bawang merah.
3.
Efektivitas
seks feromon dalam budidaya pertanian.
C. Tujuan
Adapun tujuan
dalam karya tulis ini adalah menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, yaitu sebagai
berikut :
1.
Mengetahui
seks feromon
2.
Mengetahui
penerapan seks feromon dalam budidaya bawang merah.
3.
Mengetahui
efektivitas penerapan seks feromon dalam budidaya pertanian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Seks Feromon
Feromon berasal
dari bahasa Yunani yakni pherein yang berarti membawa dan hormon yang berarti
membangkitkan gairah. Feromon diproduksi oleh kelenjar-kelenjar eksokrin dan
termasuk golongan semiochemical (Semeon dalam bahasa Yunani berarti suatu
signal) atau signal kimia. Signal kimia dibagi dua, yakni feromon dan
allelokimia atau substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke
lingkungannya yang memampukan organisme tersebut berkomunikasi secara
interspesifik. Feromon pada awalnya disebut ektohormon karena dikeluarkan oleh
kelenjar dan memiliki pengaruh fisiologi seperti hormon. Istilah tersebut
bersifat kontradiksi dengan feromon karena hormon adalah substansi yang
dikeluarkan secara internal untuk mempengaruhi organisme lain sedangkan feromon
dikeluarkan secara eksternal untuk bisa mempengaruhi serangga lain (Karlson dan
Luscher, 1959) dalam (Alouw,J., 2007).
Feromon adalah
zat kimia yang berasal dari endokrin dan digunakan oleh mahluk hidup untuk
mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok dan untuk membantu proses
reproduksi. Feromon merupakan senyawa yang dilepas oleh salah satu jenis
serangga yang dapat mempengaruhi serangga lain yang sejenis dengan adanya
tanggapan fisiologi tertentu. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar
tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis
(satu spesies). Secara umum, proses perkawinan serangga dipengaruhi oleh seks
feromon yang diproduksi oleh serangga betina untuk menarik serangga jantan (Allison
dan Carde 2007).
Feromon adalah
substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke lingkungannya untuk
mengadakan komunikasi secara intraspesifik dengan individu lain. Feromon
bermanfaat dalam monitoring populasi maupun pengendalian hama (Alouw, 2006).
Feromon seks merupakan salah satu alat untuk memantau populasi hama dan
sekaligus dapat digunakan untuk menekan serangan hama. Hal ini dapat dilakukan
diantaranya dengan memadukan feromon seks dan komponen pengendali lainnya
(Millar et al., 1996; Cheng et al.,1996)
Secara umum,
proses perkawinan serangga dipengaruhi oleh feromon seks yang diproduksi oleh
serangga betina untuk menarik serangga jantan. Hasil penelitian pada beberapa
spesies Lepidoptera di Jepang menunjukkan, feromon seks merupakan hasil proses
biosintesis (pheromone biosynthesis activating neroupeptida) pada subeosuphageal
ganglion dan digunakan serangga betina untuk menarik jantan (Kawai et al.
2007). Mekanisme dalam feromon seks berbeda di antara spesies (Wang 2008).
Feromon seks
memiliki sifat yang spesifik untuk aktivitas biologis, di mana jantan atau
betina dari spesies yang lain tidak akan merespons terhadap feromon yang
dikeluarkan betina atau jantan dari spesies yang berbeda. Para peneliti telah
mengenali lebih dari 1.600 feromon pada berbagai serangga, termasuk serangga
hama. Karena telah teridentifikasi, feromon dapat dibuat dalam jumlah besar
secara sintetis. Feromon sintetis umumnya digunakan sebagai perangkap serangga
(Yahya 2004).
Feromon dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yaitu sebagai perangkap masal, mengganggu perkawinan (matting
distruption) dan bila feromon sebagai atraktan dikombinasikan dengan
insektisida dapat bersifat sebagai pembunuh (attracticide) (Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 2007). Seks feromon dapat juga dimanfaatkan
sebagai:[1]
(1) alat
monitor keberadaan dan perkembangan populasi serangga hama di lapangan,
(2) untuk
penangkapan massal serangga jantan
(3) membantu
proses penyebaran entomopatogen
Berdasarkan
data yang ada, penggunaan seks feromon telah sukses mengendalikan beberapa jenis
serangga hama. Hal ini dapat diasumsikan, bahwa penggunaan feromon dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang
potensial, karena mempunyai beberapa keunggulan seperti dapat diaplikasikan
dengan taktik pengendalian non toksik/pengendalian biologi, mengurangi
penggunaan insektisida, sehingga teknologi dan strategi aplikasi feromon ke
depan sangat prospektif (Samudra 2006). Keistimewaan penggunaan seks feromon
adalah kemampuannya untuk menarik serangga dalam jumlah yang sangat besar.
B. Jenis-jenis Feromon
Sutrisno
(2008), feromon dapat dibedakan menjadi beberapa jenis,yaitu:
1.
Feromon
jejak
Merupakan
feromon yang digunakan untuk menunjukan arah kelompok/koloni suatu serangga.
Contohnya pada rayap, individu rayap yang berada didepan mengeluarkan feromon
penanda jejak (trail following pheromone) yang dapat dideteksi oleh rayap yang
ada dibelakangnya.
2.
Feromon
alarm
Merupakan
feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang
datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa
membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni.
3.
Feromon
agregasi
Feromon
agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau
pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan
feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung,
oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang
berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian
(agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang
bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdayayang
sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya.
4.
Feromon
Penanda Wilayah
Merupakan
feromon yang digunakan oleh serangga untuk mempertahankan wilayah sebarnya dari
serangga yang lain.
5.
Feromon
Sex
Feromon
sex merupakan suatu zat kimia yang diseksresikan
oleh binatang khususnya serangga, yang mempengaruhi perilaku individu lain dari
spesies yang sama, dan sering berfungsi sebagai atraktan bagi lawan jenis
kelaminnya.
C. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Budidaya Bawang Merah
Budidaya
bawang merah tidak terlepas dari hama atau organisme pengganggu tanaman yang
senantiasa menyerang tanaman bawang merah. Serangan hama pada tanaman bawang
merah tentu akan menghasilkan kerugian, terutama serangan dalam skala yang
besar. salah satu hama pengganggu tanaman bawang merah adalah Spodoptera
exigua atau ulat bawang.
Spesies
Spodoptera exigua memiliki warna coklat kehijauan. Spesies ini tidak
berbulu dan merupakan hama nocturnal yang aktif di malam hari dan bersembunyi
di siang hari. Spesies ini memiliki sayap depan berwarna kelabu gelap dan sayap
belakang berwarna agak putih. Serangan Spodoptera exigua ini dapat menurunkan
produksi bawang merah dan mengakibatkan kerugian.
Berikut
klasifikasi hama Spodoptera exigua, yaitu:
1.
2. Filum : Arthropoda
3. Kelas : Insecta
4. Ordo : Lepidoptera
5. Famili : Noctuidae
6. Genus : Spodoptera
7. Species :Spodoptera exigua Hubner.
Spodoptera
exigua atau ulat
bawang ini banyak menyerang bagian daun pada tanaman. Gejala serangan hama ini
pada tanaman bawang merah ditandai dengan timbulnya bercak-bercak putih transparan
pada daun. Setelah menetas dari telur, ulat muda segera melubangi bagian ujung
daun lalu masuk ke dalam daun bawang, akibatnya ujung daun nampak berlubang
atau terpotong. Ulat akan menggerek permukaan bagian dalam daun, sedang
epidermis luar ditinggalkannya. Akibat serangan tersebut daun bawang
terlihat menerawang tembus cahaya atau terlihat bercak-bercak putih, akhirnya
daun menjadi terkulai.
D. Penerapan Seks Feromon dalam Pengendalian Hama pada Bawang Merah
Feromon
diproduksi dan dilepas ke alam oleh serangga untuk mempengaruhi serangga lain
yang sejenis (satu spesies atau kelompok). Berdasarkan perilaku yang
ditimbulkan oleh feromon maka feromon digolongkan ke dalam beberapa jenis.
Apabila feromon digunakan dalam sistem perilaku kawin maka feromon tersebut
digolongkan sebagai feromon seks. Pada ulat bawang, feromon seks diproduksi
oleh serangga betina dewasa, khususnya pada malam hari, untuk mengundang
serangga jantan dewasa untuk datang dan kawin. Peranan feromon seks dalam
perilaku perkawinan tersebut telah diteliti, dikembangkan dan dimanfaatkan
untuk memanipulasi dan memerangkap serangga jantan dewasa.
Pengendalian hama Spodoptera
exigua dengan feromon seks telah dilakukan di beberapa Negara, seperti Thailand
dan Jepang. Feromon seks ini memiliki potensi yang besar dalam mengendalikan
hama secara massal dan mengacaukan sistem perkawinan. Di Indonesia sendiri,
salah satu yang telah mengembangkan feromon seks untuk pengendalian hama Spodoptera
exigua telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen). Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian telah melakukan serangkaian penelitian sejak tahun 2003.
Penelitian
yang dilakukan oleh BB Biogen ini meliputi perilaku perkawinan, isolasi dan
identifikasi komponen (senyawa) aktif, respons serangga jantan terhadap
komponen aktif, pengembangan formula feromon seks, uji daya tarik formula
feromon di lapang, pengembangan jenis perangkap, dan pemanfaatan feromon untuk
pengendalian ulat bawang. Dalam pengembangan formula feromon seks, BB Biogen
berhasil membuat feromon seks yang efektik dalam mengendalikan hama Sposoptera
exigua.
Keefektifan
dari feromon seks buatan BB Biogen ini dibuktikan dengan keberhasilannya
menangkap 148 ngengat jantan dewasa, jauh lebih baik dibandingkan feromon seks
buatan jepang yang hanya menangkap 18 ngengat jantan dewasa saja. Hal ini
menunjukkan keefektifan dari feromon seks buatan BB Biogen ini, dan menunjukkan
kecocokan formula feromon seks untuk populasi ngengat di Indonesia. Formula
buatan BB Biogen ini kemudian dinamakan dengan feromon-exi.
Feromon
seks mulai diaplikasikan saat tanaman berumur satu minggu, untuk selanjutnya
pemasangan kedua dilakukan saat tanaman berumur 27 hari. Perangkap feromon
berupa stoples plastik yang dirancang khusus, di mana di bagian atas
digantungkan senyawa feromon seks dan pada bagian bawahnya diiisi dengan air
sabun. Perangkap feromon ditempatkan pada pinggiran tanaman bawang, secara acak
dan berjarak 15 m dari masing-masing perangkap. Perangkap feromon ditempatkan
pada ketinggian 30 cm di atas permukaan tanah.
Penggunaan feromon exi sebagai alat
pemantau pada pengendalian hama Spodoptera exigua dianjurkan sebagai
berikut:
1)
Kebutuhan
perangkap per hektar sebanyak 5 buah
yang dipasang secara diagonal.
2)
Pengamatan
populasi ngengat pada perangkap dilakukan pada saat berumur 7 HST (hari setelah
tanam) dengan interval 3 hari.
3)
Jika
populasi ngengat Spodoptera exigua mencapai > 30
ekor/perangkap/3 hari maka tanaman disemprot dengan insektisida yang
dianjurkan.
E. Efektivitas Feromon Seks dalam Pengendalian Hama Spodoptera exigua
Feromon seks adalah salah satu teknologi pertanian dalam
pengendalian hama tanaman, yang diantaranya digunakan dalam pengendalian hama Spodoptera
exigua. Pengembangan teknologi feromon seks bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas pengendalian hama tanaman yang efisien dan ekonomis. Berikut
beberapa keunggulan penggunaan feromon seks dalam pengendalian hama tanaman,
yaitu:
1)
mengurangi
penggunaan insektisida.
Penggunaan
feromon seks yang berbahan alami dapat menurunkan tingkat ketergantungan petani
terhadap kebutuhan pestisida, insektisida, dan bahan-bahan kimia lainnya dalam
pengendalian hama tanaman. Sehingga pertanian yang terbentuk adalah pertanian
sehat dan produk pertanian ramah lingkungan.
2)
Menurunkan
Biaya Produksi
Penggunaan
feromon seks relatif murah dan terjangkau oleh petani. Selain itu pembuatan
perangkap dapat menggunakan bahan-bahan sederhana atau limbah rumah tangga
seperti topless makanan yang dapat dimanfaatkan, sehingga biaya produksi dapat
lebih murah dibanding penggunaan perangkap lampu. perangkap feromon bekerja
selama musim tanam, dan tenaga kerja sebatas untuk pemasangan dan penambahan
air deterjen pada perangkap.
3)
Penggunaannya
relatif Aman
Penggunaannya
aman sebab bahannya tidak beracun dan spesifik menangkap satu jenis hama
tanaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam budidaya pertanian. Pengendalian hama dan penyakit tanaman
akan berdampak pada keberhasilan budidaya mulai dari awal hingga akhir yaitu
hasil produksi. Pengembangan teknologi pengendali hama dan penyakit tentu
menjadi sebuah hal yang penting untuk menjadi kajian serius. Penggunaan seks
feromon merupakan salah satu pengembangan teknologi pengendalian hama dan
penyakit pada tanaman. Berdasarkan pembahasan di atas, didapatkan beberapa
kesimpulan, yaitu:
1.
Feromon
adalah zat kimia yang berasal dari endokrin dan digunakan oleh mahluk hidup
untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok dan untuk membantu proses
reproduksi. Seks feromon dimanfaatkan dalam mengendalikan pertumbuhan hama,
diantaranya Spodoptera exigua dengan mengacaukan sistem perkawinannya.
2.
Feromon seks pada budidaya bawang merah mulai
diaplikasikan saat tanaman berumur satu minggu, untuk selanjutnya pemasangan
kedua dilakukan saat tanaman berumur 27 hari. Perangkap feromon berupa stoples
plastik yang dirancang khusus, di mana di bagian atas digantungkan senyawa
feromon seks dan pada bagian bawahnya diiisi dengan air sabun. Perangkap
feromon ditempatkan pada pinggiran tanaman bawang, secara acak dan berjarak 15
m dari masing-masing perangkap. Perangkap feromon ditempatkan pada ketinggian
30 cm di atas permukaan tanah.
3.
Feromon
seks efektif dalam pengendalian hama karena hama yang dituju tertuju jelas pada
satu spesies, selain itu aplikasinya ramah lingkungan dan lebih ekonomis
sehingga sesuai untuk diterapkan pada budidaya pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
ET., Pasetriyani. 2010. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan
Wilayah Vol. 2 No. 1 Desember 2010. Bandung: Universitas Bandung Raya
Haryati, Yati dan Agus Nurawan. 2009. Peluang Pengembangan Feromon
Seks dalam Pengendalian Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua) pada bawang merah.
Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009.
Hashemi, Seyed Mehdi. 2015. Influence of Pheromone Trap Color
and Placement on Catch of Male Potato Tuber Moth, Phthorimaea operculella
(Zeller, 1873). 2015, Vol. 7, Issue 1 June 2015 pp. 45-50.
JIN Rong, LIU Nai-yong, LIU Yan, DONG Shuang-lin. 2014. A Larval
Specific OBP Able to Bind the Major Female Sex Pheromone Component in
Spodoptera exigua (Hübner).10.1016/S2095-3119(14)60849-2
Mujiono, Kadis. April 2015. The Sex Pheromone Content of The
Spodoptera Exigua (Hubner) Under Artificial and Natural Diets. Internat.
J. Sci.
Eng., Vol. 8(2)2015:146-150.
Subchev, Mitko. 2014. Sex Pheromone Communication in the Family
Zygaenidae (Insecta: Lepidoptera): a Review. Acta zool. bulg., 66 (2), 2014:
147-157.
Tempat penjualannya dimana itu ya ??
BalasHapus