Rabu, 09 November 2016

Pengendalian Hama Tanaman Spodoptera exigua ‎ Menggunakan Seks Feromon



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor potensial bagi kehidupan manusia, sebab pertanian merupakan produsen pangan yang memenuhi kebutuhan konsumsi manusia. Kebutuhan akan pangan ini mutlak adanya untuk keberlangsungan hidup manusia. Konsumsi pangan merupakan sumber energi dalam aktifitas manusia. Tanpa adanya energy yang dihasilkan dari konsumsi pangan, aktifitas manusia tentunya akan terganggu. Oleh sebab itu, pengembangan sektor pertanian harus terus dikembangkan untuk pertanian yang lebih maju.

Keberhasilan produksi pertanian dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah pengendalian hama dan penyakit pada komoditi pertanian. Hama dan penyakit yang menyerang komoditas pertanian dapat menyebabkan produksi pertanian yang menurun, bahkan memungkinkan untuk mengalami gagal produksi. Pengendalian hama dan penyakit terpadu harus dikembangkan dengan serius untuk meningkatkan produksi pertaniaan.
Dewasa ini, pertanian di Indonesia dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas umumnya masih menggunakan senyawa kimia untuk memacu pertumbuhan, mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan mengendalikan gulma. Budidaya seperti ini dapat menimbulkan residu bagi produk, pengaruh negatif terhadap lingkungan dan dampak lainnya yang dapat mengganggu kesehatan bagi manusia. Praktek perlindungan tanaman  konvensional sangat tergantung pada penggunaan pestisida kimia sintetik. Pestisida kimia masih dianggap sebagai teknik pengendalian OPT yang ampuh (Untung 2002).  Selain meningkatkan biaya pengendalian, penggunaan insektisida secara berlebih berdampak kurang baik terhadap lingkungan, sehingga menimbulkan residu yang berlebih pada produk dan mengganggu kesehatan (Nurawan dan Yati 2010).
Gaya hidup sehat dan back to nature atau kembali ke alam membuat paradigma masyarakat terkonsep pada pangan yang sehat dan alami. Akhir-akhir ini gaya hidup sehat memang telah menyebar, keinginan untuk hidup sehat pun menjadi prioritas. Sebab itu, pertanian organik yang ramah lingkungan dan sedikitnya penggunaan bahan kimia menjadi pilihan  utama masyarakat dalam konsumsi pangan produk pertanian. Sebab itu, para produsen berusaha mengejar pasar dengan mengusahakan pertanian ramah lingkungan, seperti pertanian dengan menggunakan insektisida nabati, entomopatogen, petrogenol, seks feromon dan bahan lain yang aman.
Menurut Samudra (2010), pada dekade belakangan ini, telah banyak feromon serangga yang telah dianalisa secara kimiawi. Namun pemanfaatannya sebagai salah satu teknik pengendalian serangga hama yang potensial, masih sangat terbatas.  Sebagai salah satu teknologi, feromon dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama. Penggunaan feromon diharapkan dapat mengurangi ketergantungan petani dalam penggunaan kimia untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaulasiman. Penerapan inovasi teknologi feromon seks dapat mengurangi penggunaan insektisida, menurunkan biaya produksi, yang kemudian dapat meningkatkan pendapatan petani.
Bawang merah sebagai salah satu komoditas pertanian juga dapat terganggu produksinya oleh hama seperti  Spodoptera exigua atau ulat bawang. Pengendalian terhadap hama ini tentu harus dilakukan dengan metode yang ramah lingkungan untuk menciptakan hasil pangan yang baik dan sehat serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan-bahan kimia. Pengendalian seks feromon diharapkan dapat mengendalikan populasi hama ulat bawang secara alami
Atas dasar itulah, penulis mengambil judul “Pengendalian Hama Tanaman Spodoptera exigua Menggunakan Seks Feromon”. Penulis berharap dengan makalah ini, menjadi langkah kecil dalam memajukan pertanian di negeri ini. Memutus ketergantungan berlebih terhadap bahan-bahan kimia dalam pengelolaan pertanian, dan mengembangkan pertanian berbasis ramah lingkungan.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mencoba merumuskan masalah yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini. Yaitu sebagai berikut:
1.      Pengertian Seks Feromon.
2.      Penerapan Seks Feromon dalam budidaya bawang merah.
3.      Efektivitas seks feromon dalam budidaya pertanian.

C.    Tujuan

Adapun tujuan dalam karya tulis ini adalah menjawab rumusan masalah  yang telah dikemukakan diatas, yaitu sebagai berikut :
1.      Mengetahui seks feromon
2.      Mengetahui penerapan seks feromon dalam budidaya bawang merah.
3.      Mengetahui efektivitas penerapan seks feromon dalam budidaya pertanian

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Seks Feromon

Feromon berasal dari bahasa Yunani yakni pherein yang berarti membawa dan hormon yang berarti membangkitkan gairah. Feromon diproduksi oleh kelenjar-kelenjar eksokrin dan termasuk golongan semiochemical (Semeon dalam bahasa Yunani berarti suatu signal) atau signal kimia. Signal kimia dibagi dua, yakni feromon dan allelokimia atau substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke lingkungannya yang memampukan organisme tersebut berkomunikasi secara interspesifik. Feromon pada awalnya disebut ektohormon karena dikeluarkan oleh kelenjar dan memiliki pengaruh fisiologi seperti hormon. Istilah tersebut bersifat kontradiksi dengan feromon karena hormon adalah substansi yang dikeluarkan secara internal untuk mempengaruhi organisme lain sedangkan feromon dikeluarkan secara eksternal untuk bisa mempengaruhi serangga lain (Karlson dan Luscher, 1959) dalam (Alouw,J., 2007).
Feromon adalah zat kimia yang berasal dari endokrin dan digunakan oleh mahluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok dan untuk membantu proses reproduksi. Feromon merupakan senyawa yang dilepas oleh salah satu jenis serangga yang dapat mempengaruhi serangga lain yang sejenis dengan adanya tanggapan fisiologi tertentu. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies). Secara umum, proses perkawinan serangga dipengaruhi oleh seks feromon yang diproduksi oleh serangga betina untuk menarik serangga jantan (Allison dan Carde 2007).
Feromon adalah substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke lingkungannya untuk mengadakan komunikasi secara intraspesifik dengan individu lain. Feromon bermanfaat dalam monitoring populasi maupun pengendalian hama (Alouw, 2006). Feromon seks merupakan salah satu alat untuk memantau populasi hama dan sekaligus dapat digunakan untuk menekan serangan hama. Hal ini dapat dilakukan diantaranya dengan memadukan feromon seks dan komponen pengendali lainnya (Millar et al., 1996; Cheng et al.,1996)
Secara umum, proses perkawinan serangga dipengaruhi oleh feromon seks yang diproduksi oleh serangga betina untuk menarik serangga jantan. Hasil penelitian pada beberapa spesies Lepidoptera di Jepang menunjukkan, feromon seks merupakan hasil proses biosintesis (pheromone biosynthesis activating neroupeptida) pada subeosuphageal ganglion dan digunakan serangga betina untuk menarik jantan (Kawai et al. 2007). Mekanisme dalam feromon seks berbeda di antara spesies (Wang 2008).
Feromon seks memiliki sifat yang spesifik untuk aktivitas biologis, di mana jantan atau betina dari spesies yang lain tidak akan merespons terhadap feromon yang dikeluarkan betina atau jantan dari spesies yang berbeda. Para peneliti telah mengenali lebih dari 1.600 feromon pada berbagai serangga, termasuk serangga hama. Karena telah teridentifikasi, feromon dapat dibuat dalam jumlah besar secara sintetis. Feromon sintetis umumnya digunakan sebagai perangkap serangga (Yahya  2004).
Feromon dapat dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu sebagai perangkap masal, mengganggu perkawinan (matting distruption) dan bila feromon sebagai atraktan dikombinasikan dengan insektisida dapat bersifat sebagai pembunuh (attracticide) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007). Seks feromon dapat juga dimanfaatkan sebagai:[1]
(1) alat monitor keberadaan dan perkembangan populasi serangga hama di lapangan,
(2) untuk penangkapan massal serangga jantan
(3) membantu proses penyebaran entomopatogen
Berdasarkan data yang ada, penggunaan seks feromon telah sukses mengendalikan beberapa jenis serangga hama. Hal ini dapat diasumsikan, bahwa penggunaan feromon dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang potensial, karena mempunyai beberapa keunggulan seperti dapat diaplikasikan dengan taktik pengendalian non toksik/pengendalian biologi, mengurangi penggunaan insektisida, sehingga teknologi dan strategi aplikasi feromon ke depan sangat prospektif (Samudra 2006). Keistimewaan penggunaan seks feromon adalah kemampuannya untuk menarik serangga dalam jumlah yang sangat besar.

B.     Jenis-jenis Feromon

Sutrisno (2008), feromon dapat dibedakan menjadi beberapa jenis,yaitu:
1.      Feromon jejak
Merupakan feromon yang digunakan untuk menunjukan arah kelompok/koloni suatu serangga. Contohnya pada rayap, individu rayap yang berada didepan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang dapat dideteksi oleh rayap yang ada dibelakangnya.
2.      Feromon alarm
Merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni.
3.      Feromon agregasi
Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdayayang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya.
4.      Feromon Penanda Wilayah
Merupakan feromon yang digunakan oleh serangga untuk mempertahankan wilayah sebarnya dari serangga yang lain.
5.      Feromon Sex
Feromon sex merupakan suatu zat kimia yang diseksresikan oleh binatang khususnya serangga, yang mempengaruhi perilaku individu lain dari spesies yang sama, dan sering berfungsi sebagai atraktan bagi lawan jenis kelaminnya.

C.    Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Budidaya Bawang Merah

Budidaya bawang merah tidak terlepas dari hama atau organisme pengganggu tanaman yang senantiasa menyerang tanaman bawang merah. Serangan hama pada tanaman bawang merah tentu akan menghasilkan kerugian, terutama serangan dalam skala yang besar. salah satu hama pengganggu tanaman bawang merah adalah Spodoptera exigua atau ulat bawang.
Spesies Spodoptera exigua memiliki warna coklat kehijauan. Spesies ini tidak berbulu dan merupakan hama nocturnal yang aktif di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Spesies ini memiliki sayap depan berwarna kelabu gelap dan sayap belakang berwarna agak putih. Serangan Spodoptera exigua ini dapat menurunkan produksi bawang merah dan mengakibatkan kerugian.
Berikut klasifikasi hama Spodoptera exigua, yaitu:
1.     

Kingdom   : Animalia
2.      Filum         : Arthropoda
3.      Kelas         : Insecta
4.      Ordo          : Lepidoptera                                      
5.      Famili        : Noctuidae
6.      Genus        : Spodoptera
7.   Species      :Spodoptera exigua Hubner.

Spodoptera exigua atau ulat bawang ini banyak menyerang bagian daun pada tanaman. Gejala serangan hama ini pada tanaman bawang merah ditandai dengan timbulnya bercak-bercak putih transparan pada daun. Setelah menetas dari telur, ulat muda segera melubangi bagian ujung daun lalu masuk ke dalam daun bawang, akibatnya ujung daun nampak berlubang atau terpotong.  Ulat akan menggerek permukaan bagian dalam daun, sedang epidermis luar ditinggalkannya.  Akibat serangan tersebut daun bawang terlihat menerawang tembus cahaya atau terlihat bercak-bercak putih, akhirnya daun menjadi terkulai.

D.    Penerapan Seks Feromon dalam Pengendalian Hama pada Bawang Merah

Feromon diproduksi dan dilepas ke alam oleh serangga untuk mempengaruhi serangga lain yang sejenis (satu spesies atau kelompok). Berdasarkan perilaku yang ditimbulkan oleh feromon maka feromon digolongkan ke dalam beberapa jenis. Apabila feromon digunakan dalam sistem perilaku kawin maka feromon tersebut digolongkan sebagai feromon seks. Pada ulat bawang, feromon seks diproduksi oleh serangga betina dewasa, khususnya pada malam hari, untuk mengundang serangga jantan dewasa untuk datang dan kawin. Peranan feromon seks dalam perilaku perkawinan tersebut telah diteliti, dikembangkan dan dimanfaatkan untuk memanipulasi dan memerangkap serangga jantan dewasa.
Pengendalian hama Spodoptera exigua dengan feromon seks telah dilakukan di beberapa Negara, seperti Thailand dan Jepang. Feromon seks ini memiliki potensi yang besar dalam mengendalikan hama secara massal dan mengacaukan sistem perkawinan. Di Indonesia sendiri, salah satu yang telah mengembangkan feromon seks untuk pengendalian hama Spodoptera exigua telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melakukan serangkaian penelitian sejak tahun 2003.
Penelitian yang dilakukan oleh BB Biogen ini meliputi perilaku perkawinan, isolasi dan identifikasi komponen (senyawa) aktif, respons serangga jantan terhadap komponen aktif, pengembangan formula feromon seks, uji daya tarik formula feromon di lapang, pengembangan jenis perangkap, dan pemanfaatan feromon untuk pengendalian ulat bawang. Dalam pengembangan formula feromon seks, BB Biogen berhasil membuat feromon seks yang efektik dalam mengendalikan hama Sposoptera exigua.
Keefektifan dari feromon seks buatan BB Biogen ini dibuktikan dengan keberhasilannya menangkap 148 ngengat jantan dewasa, jauh lebih baik dibandingkan feromon seks buatan jepang yang hanya menangkap 18 ngengat jantan dewasa saja. Hal ini menunjukkan keefektifan dari feromon seks buatan BB Biogen ini, dan menunjukkan kecocokan formula feromon seks untuk populasi ngengat di Indonesia. Formula buatan BB Biogen ini kemudian dinamakan dengan feromon-exi.
       Feromon seks mulai diaplikasikan saat tanaman berumur satu minggu, untuk selanjutnya pemasangan kedua dilakukan saat tanaman berumur 27 hari. Perangkap feromon berupa stoples plastik yang dirancang khusus, di mana di bagian atas digantungkan senyawa feromon seks dan pada bagian bawahnya diiisi dengan air sabun. Perangkap feromon ditempatkan pada pinggiran tanaman bawang, secara acak dan berjarak 15 m dari masing-masing perangkap. Perangkap feromon ditempatkan pada ketinggian 30 cm di atas permukaan tanah.
Penggunaan feromon exi sebagai alat pemantau pada pengendalian hama Spodoptera exigua dianjurkan sebagai berikut:
1)      Kebutuhan perangkap per hektar sebanyak  5 buah yang dipasang secara diagonal.
2)      Pengamatan populasi ngengat pada perangkap dilakukan pada saat berumur 7 HST (hari setelah tanam) dengan interval 3 hari.
3)      Jika populasi ngengat Spodoptera exigua mencapai > 30 ekor/perangkap/3 hari maka tanaman disemprot dengan insektisida yang dianjurkan.
                    

E.     Efektivitas Feromon Seks dalam Pengendalian Hama Spodoptera exigua

Feromon seks adalah salah satu teknologi pertanian dalam pengendalian hama tanaman, yang diantaranya digunakan dalam pengendalian hama Spodoptera exigua. Pengembangan teknologi feromon seks bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hama tanaman yang efisien dan ekonomis. Berikut beberapa keunggulan penggunaan feromon seks dalam pengendalian hama tanaman, yaitu:
1)      mengurangi penggunaan insektisida.
Penggunaan feromon seks yang berbahan alami dapat menurunkan tingkat ketergantungan petani terhadap kebutuhan pestisida, insektisida, dan bahan-bahan kimia lainnya dalam pengendalian hama tanaman. Sehingga pertanian yang terbentuk adalah pertanian sehat dan produk pertanian ramah lingkungan.
2)      Menurunkan Biaya Produksi
Penggunaan feromon seks relatif murah dan terjangkau oleh petani. Selain itu pembuatan perangkap dapat menggunakan bahan-bahan sederhana atau limbah rumah tangga seperti topless makanan yang dapat dimanfaatkan, sehingga biaya produksi dapat lebih murah dibanding penggunaan perangkap lampu. perangkap feromon bekerja selama musim tanam, dan tenaga kerja sebatas untuk pemasangan dan penambahan air deterjen pada perangkap. 
3)      Penggunaannya relatif Aman
Penggunaannya aman sebab bahannya tidak beracun dan spesifik menangkap satu jenis hama tanaman.




BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan suatu hal yang sangat penting dalam budidaya pertanian. Pengendalian hama dan penyakit tanaman akan berdampak pada keberhasilan budidaya mulai dari awal hingga akhir yaitu hasil produksi. Pengembangan teknologi pengendali hama dan penyakit tentu menjadi sebuah hal yang penting untuk menjadi kajian serius. Penggunaan seks feromon merupakan salah satu pengembangan teknologi pengendalian hama dan penyakit pada tanaman. Berdasarkan pembahasan di atas, didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Feromon adalah zat kimia yang berasal dari endokrin dan digunakan oleh mahluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok dan untuk membantu proses reproduksi. Seks feromon dimanfaatkan dalam mengendalikan pertumbuhan hama, diantaranya Spodoptera exigua dengan mengacaukan sistem perkawinannya.
2.      Feromon seks pada budidaya bawang merah mulai diaplikasikan saat tanaman berumur satu minggu, untuk selanjutnya pemasangan kedua dilakukan saat tanaman berumur 27 hari. Perangkap feromon berupa stoples plastik yang dirancang khusus, di mana di bagian atas digantungkan senyawa feromon seks dan pada bagian bawahnya diiisi dengan air sabun. Perangkap feromon ditempatkan pada pinggiran tanaman bawang, secara acak dan berjarak 15 m dari masing-masing perangkap. Perangkap feromon ditempatkan pada ketinggian 30 cm di atas permukaan tanah.
3.      Feromon seks efektif dalam pengendalian hama karena hama yang dituju tertuju jelas pada satu spesies, selain itu aplikasinya ramah lingkungan dan lebih ekonomis sehingga sesuai untuk diterapkan pada budidaya pertanian.



DAFTAR PUSTAKA

ET., Pasetriyani. 2010. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 No. 1 Desember 2010. Bandung: Universitas Bandung Raya
Haryati, Yati dan Agus Nurawan. 2009. Peluang Pengembangan Feromon Seks dalam Pengendalian Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua) pada bawang merah. Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009.
Hashemi, Seyed Mehdi. 2015. Influence of Pheromone Trap Color and Placement on Catch of Male Potato Tuber Moth, Phthorimaea operculella (Zeller, 1873). 2015, Vol. 7, Issue 1 June 2015 pp. 45-50.  
JIN Rong, LIU Nai-yong, LIU Yan, DONG Shuang-lin. 2014. A Larval Specific OBP Able to Bind the Major Female Sex Pheromone Component in Spodoptera exigua (Hübner).10.1016/S2095-3119(14)60849-2
Mujiono, Kadis. April 2015. The Sex Pheromone Content of The Spodoptera Exigua (Hubner) Under Artificial and Natural Diets. Internat. J.  Sci.  Eng., Vol. 8(2)2015:146-150.
Subchev, Mitko. 2014. Sex Pheromone Communication in the Family Zygaenidae (Insecta: Lepidoptera): a Review. Acta zool. bulg., 66 (2), 2014: 147-157.


[1] (Jackson 1992 dalam Permana dan Rostaman 2006).

1 komentar: