Kamis, 17 November 2016

THAHARAH Bagian Pertama


Thaharah menurut bahasa adalah bersuci (an-nazhafat), sedangkan menurut istilah adalah menghilangkan atau membersihkan hadats dan menghilangkan najis[1]. Thaharah terbagi kepada dua macam, yaitu taharah ma’nawi yang berarti membersihkan aqidah, ibadah, akhlaq, dan amal perbuatan dari syirik, khurafat, dan bid’ah. Sedangkan yang kedua adalah tharah hissiyyat yang berarti membersihkan dari hadats kecil dan hadats besar, serta membersihkan pakaian, badan, dan tempat shalat dari najis.

            Alat untuk bersuci atau tharah ialah air dan tanah. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ
“dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu” (Q.S. al-Anfaal [8]: 11)
Firman Allah ta’ala tersebut menjelaskan kedudukan air sebagai alat bersuci. Hal ini senada dengan firman Allah ta’ala dalam surat al-Furqon ayat keempat puluh delapan, yang menjelaskan mengenai air sebagai alat bersuci. Oleh sebab itu, kita berwudhu, mandi, dan kegiatan tharah lainnya menggunakan air, karena ia merupakan alat untuk bersuci. Rasulullah saw. juga menjelaskan dalam sabdanya, yaitu:
إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya” (Hadits Riwayat Imam yang tiga dan dishahihkan Ahmad)[2]
Dalam hadits yang lain, dijelaskan keadaan air yang suci yaitu:
الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
            “Air itu mensucikan, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu pun, kecuali apabila berubah baunya, warnanya, atau rasanya dengan najis yang terkena padanya” (Sunan al-Baihaqy al-Kubra 1: 259 no. 1159 dari shahabat abu Umamah)
            Hadits-hadits di atas menjelaskan kedudukan air yang mensucikan, kecuali jika air itu telah berubah baunya, rasanya, atau warnanya dikarenakan terkena oleh sesuatu yang najis, maka ia tidak dapat digunakan untuk bersuci.
            Selain air, tanah juga dapat digunakan sebagai alat untuk bersuci. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Jika kamu sakit, atau berpergian, atau salah seorang diantara kamu buang air, atau kamu telah bercampur dengan istri, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah yang bersih” (Q.S. an-Nisa [4]: 43)
Ketika tidak ditemukan air untuk melakukan thaharah, maka diperbolehkan dengan tanah yang bersih untuk melakukan thaharah atau bersuci. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah tersebut, yang menjelaskan kedudukan tanah sebagai alat bersuci yang kedua jika tidak menemukan air.
Kedudukan thaharah ini sangat penting bagi seorang muslim, sebab shalat tidak dapat dilakukan kecuali dalam keadaan suci. Orang yang memiliki hadats tentu tidak sah shalatnya, sebab syarat sahnya shalat adalah suci atau bersih dari hadats. Hadats sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu; hadats besar berupa haidh, nifas, jima’, dam ihtilam (mimpi basah). Sedangkan hadats kecil berupa kentut, kencing, buang hajat, dan keluar madzy. Hadats besar hanya dapat dibersihkan dengan mandi, jika tidak ditemukan air maka diperbolehkan bertayammum. Sedangkan hadats kecil dapat dibersihkan dengan berwudhu. Sehingga dalam shalat, kedudukan wudhu berlaku hukum wasail yakni wajib. Sebagaimana kaidah usul fiqih, amru bi syaiin amru bi wasailihi, memerintah kepada sesuatu berarti memerintah kepada wasailnya. Sebab itu, hukum wudhu menjadi wajib agar diri menjadi suci untuk melaksanakan shalat.
Ada hal yang perlu diperhatikan sebelum shalat terkait dengan thaharah, yaitu menghilangkan najis sebelum shalat. Sebab, najis ini tidak boleh terbawa shalat baik pada badan, pakaian, maupun tempat shalat. Yang termasuk najis tersebut ialah air kencing, kotoran manusia, darah haidh, darah nifas, dan madzy. Hal-hal tersebut yang termasuk kepada najis tidak boleh terbawa dalam shalat, sehingga penting untuk memperhatikan diri sebelum shalat, agar tidak ada najis yang terbawa.
Setelah memastikan tidak ada najis yang terbawa dalam shalat, hal yang penting selanjutnya adalah berwudhu. Wudhu adalah mencuci dan mengusap anggota badan tertentu untuk menghilangkan hadats kecil[3]. Pekerjaan-pekerjaan yang wajib dalam wudhu adalah mencuci atau mengusap anggota wudhu sampai batas tertentu yaitu mencuci muka atau wajah, mencuci tangan sampai sikut, mengusap kepala, dan mencuci kaki sampai mata kaki. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
            “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dua mata kaki..” (Q.S. al-Maidah [5]: 6)
            Di dalam ayat tersebut dijelaskan bagian-bagian anggota tubuh yang harus dibersihkan atau berwudhu. Tidak ada sedikitpun bagian yang terlewati, sebab sekecil apapun yang terlewati, bahkan meski hanya seujung jari, hal tersebut dapat menjadi jalan kita menuju neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم قوما وأعقابهم تلوح فقال: ويل للأعقاب من النار أسبغوا الوضوء
“Rasulullah saw. melihat suatu kaum yang tumit-tumitnya tidak tercuci. Maka beliau bersabda; celaka dari api neraka karena tumit-tumitnya (tidak tercuci). Sempurnakanlah olehmu wudhu.” (Sunan Abi Dawud 1: 70 no. 156)[4]
Oleh karena itu, perhatikanlah wudhu dan sempurnakanlah. Jangan sampai ada bagian yang terlewat sekecil apapun, sebab sempurnanya wudhu adalah langkah awal dari sempurnanya shalat seseorang.
            Di dalam wudhu terdapat pekerjaan-pekerjaan sunnat, selain dari yang wajib diatas. Pekerjaan-pekerjaan sunnat sebelum wudhu ialah:
1)      Membaca basmalah
Rasulullah saw bersabda, “tidak sah shalat sesorang yang tidak berwudhu, dan tidak sempurna wudhu seseorang yang tidak menyebut nama Allah (bismillahirrahmanirrahim) di permulaan wudhu” (Sunan Abi Dawud 1: 25 no. 101)
2)      Mencuci tangan, berkumur-kumur, dan menghirup air ke hidung tiga kali.
3)      Menyela-menyela diantara jari-jari dan kaki.
4)      Menyela-nyela janggut
5)      Menggosok gigi
6)      Mencuci dua kali-dua kali atau tiga kali-tiga kali kecuali mengusap kepala
7)      Mendahulukan anggota badan yang kanan
Pekerjaan-pekerjaan wajib sudah sepatutnya kita perhatikan dalam kegiatan tharah berwudhu. Begitu pun dengan sunnah-sunnahnya agar tidak ditinggalkan, sebab yang membenci sunnah adalah bukan golongan umat Rasulullah saw. memperbaiki dan memperhatikan tata cara thaharah adalah upaya kita menyempurnakan ibadah shalat kita, agar bernilai amal shalih di hadapan Allah. Wallahua’lam bish shawab.
Sumber:
1.      Risalah Shalat Dewan Hisbah PP. Persis
2.      Subulussalam Syarh Bulughul Maram
3.      Kitab bulughul Maram


[1] Risalah Shalat Dewan Hisbah PP. Persis hal. 3.
[2] Kitab Bulughul Maram kitab tharah bab air hadits no. 2.
[3] Risalah Shalat Dewan Hisbah PP. Persis hal. 9.
[4] Risalah Shalat Dewan Hisbah PP. Persis hal. 10.

0 komentar:

Posting Komentar