RESUME
BUKU
Judul :
Percik-percik Kesufian
Pengarang :
Drs. Achmad Suyuti
Penerbit :
Pustaka Amani
Tempat
Terbit :
Jakarta
Tahun
Terbit :
1996
Tebal
Halaman : 327 Halaman
Bab
1: Pengantar Sufisme
Tasawuf
merupakan jalan seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu yang baik dan
buruk, ataupun yang terpuji. Kedudukan tasawuf dalam islam adalah sebagai ilmu
agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral dan tingkah laku yang merupakan
substansi islam. Secara filsafat, sufisme lahir dari salah satu komponen dasar
agama islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Jika iman melahirkan ilmu kalam,
islam melahirkan ilmu syariat, maka ihsan melahirkan ilmu akhlaq atau tasawuf.
Tujuan dari mempelajari ilmu tasawuf adalah mengamalkan serta mempelajari ilmu
tasawuf untuk mencapai makrifat Allah, yaitu mampu memandang Allah dengan
pengelihatan batin, atau mencapai maqam ihsan.
Sarana
inti yang dituju ilmu tasawuf ialah: (1) At-Takhalli minar radzail
(membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dam hina), (2) At-Tahalli
bil fadhail (menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji), dan (3) At-Tabarri
‘amma siwallah (memurnikan hati dari apa saja selain Allah). Sehingga
menempuh jalan tasawuf bukanlah perjalanan singkat, melainkan perjalanan panjang
dalam menyempurnakan akhlaq.
Bab
2: Eksistensi Manusia
Manusia
dilahirkan untuk menjadi khalifah-Nya sebagai rahmat lil ‘Alamin menurut
tingkatan atau maqamnya masng-masing. Jika manusia senantiasa bertafakkur
dengan akal dan hati nurani yang dalam, niscaya ia akan menyadari bahwa
kehadirannya di muka bumi bukan sekedar pelengkap atau untuk bermain sandiwara.
Sehingga pencarian akan makna hakikat hidup dan kehidupan ini adalah merupakan
kebutuhan pokok bagi manusia sebagaimana kebutuhan mencari makan dan tempat
tinggal serta kebutuhan fisik material lainnya. Manusia bukan sekedar apa yang
nampak secara fisik dan kasat mata, hakikat manusia terletak pada sesuatu yang
amat berharga dalam tubuh kasarnya, yaitu roh. Artinya, bahwa eksistensi
manusia adalah perpaduan antara jasad dan roh.
Bab
3: Riyadhah – Mujahadah
Mujahadah
artinya menekan hawa nafsu, keinginan-keinginan serta segala macam ambisi
pribadi. Ia merupakan proses perlawanan terhadap hawa nafsu, sebagaimana usaha
memerangi semua sifat dan prilaku buruk. Sehingga mujahadah dapat
diartikan membersihkan hawa nafsu dan
menghiasinya dengan cahaya keutamaan. Sedangkan riyadhah artinya adalah
latihan, latihan rohaniah dalam menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan
jasad. Latihan tersebut dilakukan dengan membersihkan dan mengosongkan jiwa
dari segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwa dengan berdzikir,
ibadah, beramal shaleh dan berakhlaq mulia.
Mujahadah
dan riyadhah yang dilakukan, baik dengan melakukan gerak anggota dzahir ataupun
kegiatan batin, akan dapat mendatangkan cahaya di dalam hati.mujahadah kaum
sufi banyak digerakkan oleh dorongan hati mereka hendak menemui Tuhannya, yang
karena itu dicarinya jalan taat tanpa kenal letih dan lesu. Untuk mencapai
kesempurnaan dari mempelajari tasawuf, maka kita harus melewati berbagai macam
maqam dan ahwal. Maqam adalah tingkat kedudukan hati, dan ahwal adalah gerak
hati manusia. Secara teknis, mawam adalah suatu istilah teknis dalam sufisme
yang berarti peringkat, dan ahwal yang artinya keadaan, yaitu suasana batiniah,
yang bergantung bukan pada sufi melainkan Tuhan. Langkah pertama dalam
menjalani perjalanan panjang riyadhah dan mujahadah adalah pertobatan, dengan
semurni-murninya dan sebaik-baiknya pertobatan.
Bab
4: Sifat-sifat Fisik
Ilmu
tasawuf sebagaimana sarana inti yang ditujunya salah satunya adlah mengosongkan
jiwa dari segala sifat-sifat jelek, sebelum diisi dengan sifat-sifat yang baik.
Setelah jiwa terbebas dari belenggu-belenggu sifat yang jelek, barulah diisi
dengan sifat-sifat yang baik, maka segala amal ibadah akan mudah diterima
disisi Allah. Sifat-sifat buruk yang dibuang dengan proses mujahadah dan
riyadhah, aka dapat mengehentikan munculnya perbuatan-perbuatan buruk yang
senantiasa menjauhkan jiwa dari Allah Swt. sifat-sifat fisik yang tercela
merupakan penghalang bagi sufi untuk meraih maqam tertinggi.
Sifat
tercela yang pertama adalah mencintai dunia. Cinta dunia merupakan penghalang
utama bagi kemuliaan akhirat, sebab ia bukan hanya sebagai sifat yang amat
buruk, tetapi ia menjadi sumber dari segala keburukan. Sehingga berangan-angan
perihal dunia saja, akan menjadi hijab bagi akhirat. Sebab segala bentuk
keduniaan adalah rintangan-rintangan yang memagari perjalanan manusia menuju
kedekatan kepada Allah ta’ala. Dunia sejatinya harus menjadi lading akhirat,
untuk kemudian nanti kita menuai buah kebaikan-kebaikan yang kita tanam di
dunia. Kehidupan dunia tidak lebih dari senda gurau, jika tak dimanfaatkan
untuk kebaikan akhirat.
Sifat
tercela yang kedua adalah sifat bakhil, boros, tamak, dan hasad. Orang yang
memiliki kesempuranaan akhlaq harus mampu menghindari hal-hal tersebut, dan
mengelola prilaku diri agar menjadi pribadi yang baik sesuai al-Qur’an dan
as-sunnah. Selanjutnya adalah menjaga ucapan, sebab ucapan atau mulut besar
adalah sarangnya dosa. Berkata baik atau diam adalah kunci dalam mengelola
ucapan agar tak menghasilkan lisan yang kotor oleh ucapan-ucapan buruk.
Terakhir adalah mengelola hati agar tak memproduksi riya, ujub, dan takabbur.
Karena sikap-sikap tersebut hanya akan mencelakakan manusia di dunia, hingga
pada akhirnya sengsara di akhirat sana.
Bab
5: Sifat-sifat Sufi
Setelah
mengosongkan dan membersihkan diri dari sikap-sikap tercela, maka selanjutnya
dalah menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, agar diri senantiasa
memproduksi kebaikan-kebaikan yang tertanam di dalam hati. Sifat baik yang
menghiasi diri seorang sufi Nampak dari kehidupannya yang sederhana, qana’ah,
tawadhu, haya’, dan saja’ah. Selanjutnya seorang sufi akan senantiasa mensyukuri
nikmat. Menjadikan setiap nikmat yang hinggap di dalam dirinya menjadi jalan
mengingat Allah, dan memahami kebesaran yang telah menciptakannya. Sehingga
seorang sufi akan senantiasa ikhlas dalam beramal, sebab ia sadar bahwa
semuanya adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Terakhir, seorang
sufi akan senantiasa memiliki sifat sabar dan tawakkal. Ia meyakini bahwa
pertolongan Allah itu akan hadir, dan takdir Allah adalah sebenar-benarnya
keadilan. Sehingga setelah berikhtiar secara maksimal, ia menyerahkan segala
sesuatunya kepada Allah ta’ala.
0 komentar:
Posting Komentar