Apa kotaku bisa seperti dulu? Aku
jugatak tahu. Aku tak mau terjebak romantisme sejarah. Berangan-angan apa yang
telah menjadi masa lalu. Seperti nasihat kakekku. “hal terjauh dari diri
kita adalah waktu. Berangan ia kembali meski beberapa detik adalah impian
paling mustahil di dunia. Sebab ia terus melaju, tak pernah menanti diri yang
sibuk dalam lamunan”. Jika memang kenyataan seperti ini, kenapa tak kau
jadikan kenyataan menjadi indah, kau hiasi, kau perbaiki, daripada sibuk
mencinta masa lalu yang tak akan kembali, serta mengutuk sesuatu yang jelas di
hadapanmu. Ah entahlah..
Bis kota melaju perlahan.
Membersamai kemacetan, tenggelam di tengah-tengah lautan kendaraan. Beruntung.
Pemimpin kota baru saja memperbaiki angkutan umum kota. Di dalam bis, pendingin
ruangan memecah terik yang menyengat. “Dik, ongkosnya?” tagih kondektur
bis, memecah lamunanku. “ini pak” jawabku sambil memberikan ongkos
perjalanan.
Kondektur bis itu pergi. Menagih
ongkos para penumpang. Aku pun kembali tenggelam di depan jendela bis, menatap
satu dua pepohonan yang telah tumbuh besar. menatap lampu merah yang masih
setia menyala dengan warna merahnya. Menatap pak polisi berompi hijau sedang
merapihkan lalu lintas. Aku menatap itu semua, tapi hatiku entah terbang
kemana.
“Aisyah, apa kabar ia?” gumamku
dalam hati.
***
Aku sampai di halte bis 09. Lalu turun dari bis. Berjalan 50 meter
ke arah barat. Hari ini, jadwalku mengajar les salah seorang siswa kelas lima
sekolah dasar. Namanya Azzahra, biasa dipanggil Ara. Anak periang yang
sangat suka bermain bulutangkis. Ia salah satu murid terbaik di sekolahnya,
sejak kecil sudah sering juara lomba di daerah tempat tinggalnya. Aku juga tak
mengerti untuk apa ia ikut les. Ibunya pernah bicara padaku “Ibu ingin, Ara
tidak hanya cerdas akalnya, tapi juga cerdas hatinya”. Itulah mungkin, alasan
kenapa Ara les membaca al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran agama, agar hatinya
secerdas otaknya. Aku bahagia, memiliki murid seperti Ara.
Dari kejauhan, anak perempuan berkerudung abu melambai-lambai.
Dengan kacamata hitam dan senyumnya yang manis, ia berteriak menyapaku. “Assalamu’alaikum
kak Yasfa” ucapnya sambil tersenyum, manis sekali. “wa’alaikumsalam Ara
Shalihah” jawabku menjawab salam dan senyumnya. Aku selalu memanggilnya
shalihah. Karena menurut Psikologi pendidikan yang kupelajari, kalimat-kalimat
positif yang biasa diucapkan akan melahirkan hal yang positif pula. Sebab itu,
aku membiasakan mengucapkan shalihah, cerdas, dan kalimat-kalimat positif
lainnya.
“Ara apakabar?”
“Baik kak Yasfa, alhamdulillah. Kak Yasfa apakabar? Ara ingin
cerita nih sama kak Yasfa”
“Cerita apa ara?”
“cerita tentang olimpiade kak, Ara akan mewakili sekolah dalam OSN
tingkat kota”
“Wah, bagus dong. Murid kakak ternyata pintar juga ya..”
Ara cerita panjang lebar, kenapa ia dapat terpilih sebagai salah
satu perwakilan sekolah. Ia akan berjuang di olimpiade dalam bidang matematika.
Sejak kecil, menurut cerita ibunya, Ara memang sangat menyukai matematika. Ia
selalu bahagia menghitung angka-angka, selain dari bernyanyi dan membaca puisi.
Ara terpilih setelah mengikuti tes di sekolahnya. Ara mendapatkan nilai
tertinggi dari sekitar lima puluh orang yang mengikuti tes. Sebab itu, Ara
memintaku menambah jam lesnya dan menambahkan mata pelajaran matematika.
“hm, bagaimana yah. Kakak sibuk nih kalau harus mengurusi Ara” jawabku setengah bercanda dengan wajah pura-pura serius.
“ayolah kak, bantu Ara yah. Please…” pintanya sambil merajuk padaku dengan wajah setengah memelas.
“iya deh iya.. tapi, ada satu syarat yah..”
“apa itu syaratnya kak?”
“syaratnya, perbanyak shalat dan berdo’a pada Allah. Ara boleh
bermain, boleh jalan-jalan. Tapi jangan lupa shalat tepat waktu dan berdo’a
sama Allah yahh”
“siap laksanakan kak, insyaaAllah”
Sore itu berlalu dengan bahagia. Sebenarnya, aku pun belajar banyak
dari Ara. Tidak karena aku guru lesnya, hanya aku yang mengajari dan hanya Ara
yang belajar. Tetapi, aku dan Ara sama-sama belajar. Meski entah ia sadar atau
tidak, anak kelas lima sekolah dasar yang selalu menebar ceria, semangat
belajar, serta sopan dan santun pada orangtua. Aku jadi ingat seorang Ibnu
Abbas, ia adalah salah satu anak shaleh yang Rasul do’akan menjadi seorang
pemuda yang tafaqquh fiddin karena keshalehannya. Ara mungkin adalah Ibnu Abbas
versi wanita. Entahlah. Semoga ia pun memiliki tafaqquh fiddin itu, layaknya
seorang Ibnu Abbas.
***
Dedaunan bertebangan di udara. Daun-daun tua berguguran, diganti
daun muda yang bermekaran. Sore ini, aku mengajak Ara belajar di ruang terbuka.
Kebetulan, di kota ini terdapat banyak taman kota yang asri, cocok untuk
berjalan-jalan, bahkan belajar di alam terbuka. Aku memilih taman di pinggiran
utara kota, agar tak terlalu ramai dan lalu lalang manusia.
“Ara, kita mulai belajar dengan muraja’ah hafalan ya” ucapku.
“siap kak Yasfa..” jawab
Ara penuh semangat, dengan tangan menghormat seperti petugas upacara bendera.
“kita muraja’ah hafalan surat an-Naba” ajakku pada Ara.
“baik kak. A’udzubillahi minas syaithani ar-rajiim…” Isti’adzah Ara memulai bacaan al-Qur’annya.
Semilir angin menambah syahdu bacaan Ara. Aku menikmati ayat demi
ayat yang mengalir dari bibir kecilnya. Bacaannya indah sekali. Hatiku gemetar.
Ada tetesan bahagia di sudut-sudut mataku. Menatap malaikat kecilku yang telah
pandai melantukan surat cinta Allah bagi manusia. Semoga setiap ayat yang
mengalir dari bibirnya, menancap dalam di dasar hati, menjiwai setiap langkah
dalam hidupnya. Aamiin ya mujibassailin…
“Ara tahu kisah tentang setetes air yang mengikis batu besar?” tanyaku pada Ara.
“belum kak, kisah tentang apa itu?” Tanyanya dengan raut wajah keheranan.
“Dahulu, konon ada seorang santri yang telah belajar
bertahun-tahun. Entah berapa lama, yang jelas lama sekali ia belajar. Namun, ia
merasa dirinya tetap bodoh dan tak mengerti apa-apa. Hingga pada akhirnya, ia
memutuskan menyerah dan hendak kembali pulang ke kampung halamannya. Ia pun
pergi, berpamitan pada asatidz disana untuk kembali ke kampung halamannya.
Selepas berpamitan, ia pun pulang ke kampung halamannya. Di tengah perjalanan,
hujan turun sangat deras. Santri itu pun akhirnya mencari tempat berteduh. Ia
menemukan gua di ujung jalanan, ia pun masuk dan menunggu hujan reda disana.
Ara tahu apa yang santri itu temukan di dalam gua?” tanyaku pada Ara.
“Apa kak? Monster ya?” tanyanya
dengan wajah begitu serius.
“Monsternya kan ada di depan kakak” jawabku dengan meliriknya sambil tertawa kecil.
“ih Kak Yasfa, Ara serius…..” jawabnya
kesal.
“bukan Ara, mana ada monster, memangnya film” jawabku sambil menahan tawa. “di dalam gua itu, ia menemukan sebuah
batu besar yang terkikis membentuk lubang cukup besar. dari atas dinding gua
tersebut, menetes air sedikit demi sedikit membasahi batu itu hingga
terbentuklah bulatan tersebut” ucapku melanjutkan cerita.
“Masa batu besar kalah oleh air kak? Apalagi air menetes sangat
sedikit..” Tanya Ara
keheranan mendengar ceritaku.
“Ara, pemuda itu pun berfikiran seperti Ara. Tapi, kemudian ia
sadar, bahwa memang tetesan air itu yang membuat lubang besar di dalam batu
tersebut. Ia lalu teringat tentang sebuah hadits Nabi, bahwa yang paling Allah
cintai adalah sebuah amalan yang dilakukan secara terus menerus walaupun hanya
sedikit. Ia pun akhirnya memutuskan kembali ke pesantren, dan sungguh-sungguh
belajar, meski ia harus belajar ratusan tahun”
“iya kak, betul. Ibu juga selalu bicara seperti itu. Membuang
sampah sembarangan, meski hanya sebungkus permen, lama-lama bungkusan itu bisa
menjadi gunungan sampah. Yang sedikit, jika dilakukan terus-menerus akan
menjadi banyak, baik itu kebaikan ataupun keburukan”
“nah, betul kata Ara. Ternyata murid kakak yang satu ini pintar
sekali ya..” jawabku sambil
mengacungi jempol.
“sebab itu, Ara jangan bosan belajar yah.. meski sedikit-sedikit,
insyaAllah esok lusa akan menjadi bukit…”
Ara tersenyum manis, mengamini ucapanku. Sore itu, kami pun belajar
matematika untuk kesiapan Ara mengikuti olimpiade. Meski kadang ia mengeluh
sulit, selalu kuingatkan kisah pemuda dan batu yang terkikis setetes air.
“anggap saja soal-soal ini seperti batu besar ara, sedikit-sedikit,
selama kita terus-menerus mencoba, lama kelamaan ia pun akan terkikis habis
Ara” ucapku memotivasi.
Langit senja telah terbit di ufuk barat. Aku menutup pembelajaran.
Lalu, mengajak Ara pulang ke rumah.
***
Sebulan berlalu…
Aku masih sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Menjelang tingkat
akhir ini, aku sibuk dengan lembaran-lembaran skripsi. Ia sudah seperti
istriku, siang dan malam setia menemani. Jari-jemariku dipaksa menari-nari
hingga tengah malam, mataku dipaksa memandang lebih lama dari biasanya.
Mentari mulai menampakkan diri di ufuk timur. Hangatnya menerpa
seisi bumi. Selain skripsi, aku juga masih sibuk mempersiapkan Ara untuk
olimpiade. Selain menguatkan pengetahuannya, aku juga berusaha menguatkan
mentalnya. Aku selalu berkata padanya “Ara, tugas kita adalah ikhtiar dan
berdo’a, sisanya adalah urusan Allah yang Maha Kuasa”. Aku ingin ia
berjuang bukan untuk sekedar juara. Bukan sekedar prestise. Meski Ara baru
kelas lima sekolah dasar, tetapi aku yakin ia murid yang cerdas, yang akan
mampu menangkap apa yang kusampaikan.
Pagi ini, aku pergi ke rumah pak Joko terlebih dahulu. Entahlah,
ada perlu apa pak Joko denganku. Kemarin malam selepas shalat isya berjama’ah
di masjid, ia memintaku untuk datang pagi hari ke rumahnya. Ia hanya bilang ada
yang ingin dibicarakan denganku, tapi entah apa, aku pun tak tahu.
Pak Joko adalah salah satu jama’ah masjid di dekat tempat
tinggalku. Usianya mungkin sekitar empat puluh tahun. Ia salah seorang Insinyur
teknik arsitektur. Ayahku bilang, masjid di ujung kampung pun adalah buah karya
dari Pak Joko. Aku mengenalnya karena sering bertemu di masjid. bacaan
al-Qur’annya indah, beberapa kali ia sering menjadi Imam shalat berjama’ah. Aku
banyak belajar darinya, tentang kehidupan, urusan kuliah, dan lain sebagainya.
Sebab, pak Joko orang yang ramah dan menyenangkan diajak bicara.
Pak Joko sebenarnya bukan warga asli kampung ini, hanya ia telah
menetap disini kurang lebih sepuluh tahun, jadi sudah seperti warga asli
disini. aku mengenalnya sejak sekolah dasar, sudah seperti ayah sendiri. “Assalamu’alaikum
warahmatullahi wa barakatuh…” aku mengucap salam sambil mengetuk pintu
rumahnya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh… masuk Nak” jawab Pak Joko.
“iya pak Joko, selamat pagi”
“pagi Nak Yasfa. Silahkan duduk nak, mau minum apa?”
“tidak usah pak, saya sedang shaum insyaAllah…”
“Oh begitu, maafkan bapak. Bapak kira sedang tidak shaum”
“iya pak, tidak apa-apa. Tenang saja, saya tidak mudah tergoda oleh
teh hangat di pagi hari” jawabku sambil
tersenyum.
“wah saya mau kasih kopi loh nak, masih tidak tergoda juga?” tanyanya sambil tertawa.
“kalau kopi, mungkin dibungkus saja pak. Buat begadang malam, kan
lumayan” jawabku sambil tertawa juga.
Pagi itu rumahnya agak sepi. Hanya ada pak Joko dan isterinya. Aku
duduk berdua di ruang tamu, mengobrol dengan pak Joko. Kami mengobrol tentang
banyak hal. Begitulah, kalau sudah mengobrol dengan Pak Joko, bisa mengobrol
tentang banyak hal. Seperti sedang mengobrol dengan google yang memiliki banyak
pengetahuan.
“Oh iya pak, ada apa ya bapak tiba-tiba meminta saya datang ke
rumah pagi ini?” tanyaku sedikit
heran, setelah hampir setengah jam kami mengobrol.
“maaf kalau membuatmu penasaran.. menyita waktumu yang sedang sibuk
ya”
“loh tidak apa-apa pak, kalau butuh bantuan, insyaAllah saya bantu
pak”
“Maaf sebelumnya menyita waktumu. Sebelumnya, bapak boleh
bertanya?”
“silahkan bapak, mau bertanya apa?”
“apa nak Yasfa sudah memiliki calon istri?”
Aku tergagap. Tiba-tiba ditanya seperti itu. Aku berusaha menguasai
diri.
“memangnya kenapa bapak? Kok tiba-tiba bertanya seperti itu..”
“begini nak, keponakan bapak, namanya Salamah. Tahun ini, ia akan
lulus Kuliah, sama seperti nak Yasfa. Bapak diminta kedua orangtuanya untuk
mencarikan calon suami yang baik akhlaknya untuk Salamah. Tiba-tiba bapak
teringat nak Yasfa. Kalau nak Yasfa belum memiliki calon istri, bapak hendak
mengenalkan Salamah pada nak Yasfa” jelas
pak Joko tentang maksudnya pagi ini.
Hatiku bergetar, ujian apa yang Allah timpakan kepadaku. Seperti
halilintar di tengah siang, menyambar tepat ke ubun-ubun. Aku terdiam sejenak,
menarik nafas panjang sebelum menjawab maksud Pak Joko.
“Bapak, Yasfa tahu. Maksud dan tujuan bapak itu baik. Salamah,
insyaAllah adalah seorang wanita yang baik pula, tergambar dari seperti apa pak
Joko yang Yasfa kenal sangat baik hati. Tapi……” aku berhenti sejenak, menarik nafas. Merangkai kata demi kata di
dalam hati agar tak menyakiti hati siapapun.
“tapi Yasfa telah lebih dulu menentukan pilihan pak. Setahun yang
lalu, dalam istikharah Yasfa, Allah tetapkan hati Yasfa untuk memilih seorang
wanita. Meski tidak ada ikatan antara Yasfa dan wanita tersebut, tidak ada
komunikasi, tapi Yasfa telah berjanji untuk menjaga hati Yasfa. Menyerahkan
penjagaan wanita itu pada Allah, sebaik-baik penjaga hati seorang manusia. Oleh
karena itu, apapun yang terjadi esok hari, yang jelas hari ini Yasfa hanya
ingin menjaga hati untuk apa yang telah Yasfa pilih. Yasfa selalu berdo’a agar
Allah senantiasa terus menjaga hati Yasfa tetap berada dalam fitrah,
menyerahkan takdir pada sang penulis takdir. Mohon maaf, hati Yasfa tidak bisa
menerima wanita lain. Yasfa hari ini ingin belajar mencintai Illahi Rabbi,
mencintai Rasul-Nya, mencintai Ilmu serta mengamalkannya. Yasfa yakin, salamah
keponakan bapak adalah wania yang baik, yang akan dipersatukan dengan lelaki
yang baik pula” jelasku pada
pak Joko.
“kalau seperti itu, bukannya nak Yasfa tidak terbebani ikatan
apapun? Dan bebas memutuskan menikah dengan siapa? Tanya pak Joko.
“benar bapak, yasfa memang tidak terikat apapun, juga tidak terbebani
apapun. Tetapi… Yasfa telah berjanji menjaga hati. Allah-lah yang menentu
hingga kapan Yasfa menjaga hati. Yang jelas, hari ini yasfa ingin menjaga hati
untuk jalan yang telah Yasfa pilih. Semoga bapak bisa memaklumi keputusan Yasfa
ini…”
“sebenarnya bapak sangat ingin menjodohkanmu dengan keponakan
bapak. Namun, bapak tidak bisa memaksa, Nak Yasfa telah memiliki pilihan dan
azam yang kuat. Sungguh beruntung wanita yang kelak bersanding dengan nak
Yasfa. Bapak do’akan semoga hatimu tetap berada dalam fitrah. Niat baikmu
terjaga dalam do’a. semoga siapapun yang berjodoh denganmu nanti, adalah wanita
yang mendekatkan langkahmu menuju surga-Nya…”
“aamiin, aamiin ya Rabbal ‘alamin” Lirihku mengamini do’anya.
***
Bis kota berjalan perlahan. Menyusuri jalanan kota sambil mencari
satu dua penumpang di pinggir jalan. Mataku memandang ke luar jendela bis.
Menatap satu dua pepohonan yang menari tertiup angin. Fikiranku belum
sepenuhnya menyatu dengan jasadku. Niatan pak Joko padaku berkelabat di
fikiran. Aku takut menyakiti hatinya dengan keputusanku. Aku tahu ada guratan
kecewa di wajahnya. Tapi.. perkara hati tak bisa dipaksa. Janjiku adalah
amanahku, yang harus kupegang erat-erat.
Aku menghela nafas. “Pak Joko pasti bisa memahami maksudku,
insyaAllah” bisikku dalam hati. Bis terus melaju, melewati taman kota, lalu
berbelok ke arah alun-alun kota. Di halte 08 aku turun. Hari ini, aku ingin
menenangkan diri dengan apa yang terjadi pagi tadi. Aku mohon izin terlambat
pada ibunda Ara, dan memulai les selepas shalat isya.
Aku berjalan ke arah air mancur kota. Duduk di bahu kolam.
Menikmati cipratan kecil air yang membasahi wajah. Hari ini adalah hari kerja,
pusat kota tidak seramai akhir pekan. Aku dapat dengan puas menikmati keindahan
kota ini. Bercengkrama dengan alam, dan menerbangkan setiap jengkal kegelisahan
dalam hati.
Matahari meninggi, mengirimkan hangat yang semakin memanas. Aku
berteduh ke sudut taman, berdiam di atas pohon yang rindang. Aku berharap angin
menerbangkan seluruh kecemasan dan kegelisahanku, terbang hingga ke luar
atmosfer bumi, hancur ditelan oleh tekanan udara di semesta. “Allahuakbar…
Allahuakbar” kumandang adzan menggema, memecah lamunanku.
Aku bergegas menuju masjid terdekat. Bersimpuh dalam sujud,
merangkai rindu dalam do’a. “Allahku, aku berlindung dari segala ujian
dunia. Jauhkan aku dari apa yang menjauhkanku dari-Mu. Dekatkan aku, dengan apa
yang mendekatkanku pada-Mu. Sirnahkan kegelisahan dalam hati hamba, musnahkan
segala penyakit di dalam hati hamba. Murnikan hati hamba hanya untuk Engkau.
Merajut tali temali cinta pada Illahi Rabbi. Ya Allah, ya Rahman ya Rahiim.
Bimbinglah jalan hamba, langkah hamba agar tetap dalam fitrahmu, terjaga dalam
setiap jengkal do’a yang kuterbangkan ke arsy-Mu.”
“a’udzubillahi min fitnatin nisaa.. aku berlindung pada Engkau dari
fitnah wanita..” kututup
rangkaian do’aku pada-Nya.
***
Setengah Sembilan malam…
Malam ini, aku dan Ara belajar tidak terlalu lama. Ara kubiarkan
istirahat, mempersiapkan fisik dan mentalnya, bukan hanya sekedar pengetahuannya
saja. Ruang tamu rumah Ara lengang. Menyisakan teh hijau hangat yang asapnya
masih mengepul ke udara. Aku meminum teh hijau itu perlahan, menghangatkan
setiap sendi dalam tubuhku yang diterpa dinginnya angin malam.
“Nak Yasfa kenapa? Seperti sedang banyak fikiran?” Tanya ibunda Ara padaku.
Ibunda Ara memang sudah seperti ibuku sendiri. Sepertinya, ia dapat
membaca tanda tanya dalam wajahku.
“tidak ada apa-apa bu” jawabku
meyakinkan.
“Nak, jangan sungkan sampaikan segala keluh kesah kepada ibu. Yasfa
sudah ibu anggap sebagai anak sendiri, jadi tidak perlu malu. Yasfa tidak
seperti biasanya, dan ibu tahu itu.” Tanya
ibunda Ara.
“sebenarnya tidak apa-apa bu, hanya permasalahan kecil. Pagi tadi,
salah seorang tetangga berniat menjodohkan Yasfa dengan saudaranyaa. Tapi Yasfa
menolak.”
“lalu kenapa?”
“Yasfa hanya takut menyakiti perasaan bapak tersebut…”
“Yasfa, urusan hati adalah piilihanmu. Setiap pilihan pasti ada
yang menyukai atau tidak. Tapi ingat, yang menjalani pilihan adalah dirimu
sendiri, bukan orang lain. Selama pilihan kita karena Allah, serahkan segalanya
pada ketentuan Allah, apa dan bagaimana akhirnya. Jangan takut, bapak itu akan
memahami keputusan Yasfa. insyaAllah..”
“Iya bu, insyaAllah.. terimakasih untuk nasihatnya. Bekal berharga
untuk kehidupan Yasfa. Jangan bosan menasehati Yasfa ya bu…”
Malam itu, langit tak hanya berhiaskan bintang-bintang. Tetapi
bertabur sejuta nasihat, diselimuti oleh jutaan hikmah di dalamnya.
***
Tak terasa, persiapan selama tiga bulan telah berlalu. Hari ini,
Ara akan berikhtiar dalam olimpiade matematika. “Berdo’alah, berikhtiarlah,
dan serahkan sisanya pada Sang Penulis Takdir” ucapku menyemangatinya
sambil menepuk bahunya. Ara mengangguk, mengamini ucapanku. Aku dan ibunda Ara
keluar ruangan. Menyisakan Ara sendiri, bertemankan soal-soal di atas meja.
Ibunda Ara terlihat cemas. Tangannya berpelukan, menyimpul
jari-jemari menjadi kepalan. “tidak perlu tegang ibu, berdo’a saja” ucapku
menenangkan. Aku membaca buku kesukaanku, menghilangkan ketegangan menanti Ara
yang sedang berjuang di dalam. Kalimat demi kalimat kusantap habis.
Kulempar pandangan ke sekeliling. Memandangi orang-orang yang
sama-sama tegang menanti anaknya, muridnya, yang sedang berjuang di olimpiade.
Juara pertama di lomba ini akan berlomba di level provinsi mewakili kota ini.
Terang saja, setiap orang mempersiapkan dengan baik untuk mengikuti olimpiade
ini. Salah seorang Pembina yang bertemu di gerbang tadi bahkan mengatakan mempersiapkan
anak didiknya sejak setahun yang lalu. Luar biasa.
Detik jarum jam terasa berputar begitu lambat. Ibunda Ara sudah tak
sabar, mundar-mandir mengintip ke ruangan. “kenapa lama sekali yah? Apa
soalnya sangat sulit?” Tanya ibunda Ara. “kalau soalnya sulit, tinggal
hitung kancing saja. Nanti ketemu jawabannya” jawabku sambil tertawa
memandangi ibunda Ara yang terlihat gelisah. “nak Yasfa ini ada-ada saja ah,
ibu kan serius” jawabnya sambil menahan tawa.
Lima jam berlalu…
Pintu ruangan terbuka. Berbondong-bondong peserta keluar dengan
wajah semerawut. Anak-anak sekolah dasar yang lucu-lucu ini seperti baru
tertimpa gundukan batu dari ketinggian seribu kaki. Aku menatap anak perempuan
paling belakang. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum. “Ibu, Kak Yasfa” teriaknya
memanggil. Ara berbeda dengan yang lain, wajahnya lebih cerah. Ia seperti baru
memakan eskrim di tengah cuaca yang panas.
“bagaimana soalnya Ara” Tanya
ibundanya.
“Susah lah bu, kalau tidak susah bukan olimpiade namanya” jawabnya sambil tertawa.
“tapi kamu seperti tidak kesulitan Ara?” Tanya ibunya heran.
“kata kak Yasfa, tak perlu diambil pusing. Kalau dibawa pusing,
nanti soalnya jadi memusingkan. kata kak Yasfa, anggap saja setiap soal seperti
badut yang dapat membuat kita tertawa. Betul kak?” Tanya Ara kepadaku.
Aku mengangguk mengacungi jempol. “tenang saja bu, jika
rezekinya juara, insyaAllah akan juara” jawabku.
Aku, Ara, dan ibundanya pergi menuju masjid untuk melaksanakan
shalat dzuhur berjama’ah. Setelah itu kami pergi ke kantin untuk makan siang.
Ara menceritakan keadaan di dalam ruangan. Katanya ruangannya cukup bagus,
dingin oleh pendingin ruangan. Ia melihat anak-anak lain wajahnya begitu
serius, bahkan cenderung ekspresi wajahnya membuat ia ingin tertawa melihatnya.
“tadi ada yang lucu loh bun. Ekspresinya lucu sekali. Dahi berkerut
seperti foto kakek tua penemu teori relativitas. Bibirnya tak mau diam seperti
komat-kamit membaca mantra. Yang lain malah ada yang tertidur, mungkin karena
saking pusingnya dengan soal-soal matematika”
jelas ara panjang lebar.
“kalau Ara bagaimana?” tanyaku
padanya.
Ara tersenyum lebar. “sama-sama pusing kak” jawabnya sambil
tertawa.
Kami pun tertawa bersama. Ara terlihat lebih tenang dibanding
peserta lain. Ia seperti tak membawa beban apapun. Tak terasa makanan yang kami
pesan telah habis semua. Lima belas menit lagi, pengumuman pemenang akan segera
diumumkan. Kami bergegas memasuki aula acara.
Wajah-wajah tegang kembali menyelimuti seisi ruangan. Mungkin hanya
aku dan Ara saja yang malah asyik bercanda. Menertawakan hal-hal lucu selama
olimpiade. Seorang bapak berkumis tebal, berperawakan besar maju ke depan
podium. Ia membuka acara penutupan olimpiade hari ini.
“anak-anakku yang bapak banggakan. Ananda adalah putra-putri
terbaik bangsa. Kehadiran ananda disini adalah buktinya. Menang dan kalah
adalah hal yang biasa, tetapi keberanian untuk mencoba adalah bukti ananda
semua telah bermental juara” bapak
itu panjang lebar mengutarakan nasihat untuk anak-anak muda ini. Meski masih
sekolah dasar, pembinaan dan pengkaderan harus segera dimulai katanya. Seperti
menanam padi, ia dirawat dan dijaga bukan hanya ketika telah dewasa, tapi ia
dirawat dan dijaga sejak masih menjadi bibit. Begitu pula dengan menyiapkan
generasi ke depan, generasi yang lebih baik, harus dimulai sedini mungkin.
Selepas untaian nasihat ia utarakan. Ia membacakan juara-juara dari
setiap cabang mata pelajaran. Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, dan yang
terakhir matematika.
“Juara ketiga Olimpiade Matematika, ananda Riza Ahmad” ucap bapak berkumis tebal, disambut gemuruh tepuk tangan.
“Juara kedua, ananda Azrial Qolbi” gemuruh tepuk tangan kembali menggema.
“dan Juara Pertama, ananda ……” ia
terdiam sejenak. Membiarkan kami menahan nafas dan ketegangan. Ara menunduk,
berdo’a yang terbaik.
“Azzahra Aira” ucap bapak
berkumis tebal dengan lantang.
Ara terdiam. Ia bingung. Apa namanya yang disebut. “Hei, jangan
bengong saja. Ara juara tuh, maju sana” ucapku sambil menyiku bahunya. “eh
iya kak, itu nama Ara yah” jawabnya kikuk. Ia maju ke depan podium. Ia
masih menyangka ini mimpi, eksprepesinya di depan podium seperti orang
kebingungan, lucu sekali. Anak kelas lima sekolah dasar itu seperti tak
percaya, seakan hujan tiba-tiba turun di gurun sahara.
“Alhamdulillah..” lirih
ibunda Ara.
“Selamat ya bu… Yasfa ikut senang dengan keberhasilan Ara” jawabku.
“terimakasih nak Yasfa, sudah membantu Ara sejauh ini” ucap ibunda Ara.
“Yasfa juga berterimakasih pada ibu, sudah memberikan kesempatan
mengenal Ara” jawabku sambil
tersenyum.
“bagaimana rencana Yasfa setelah lulus kuliah?” Tanya ibunda Ara ditengah gemuruh tepuk tangan pada para juara.
“Seperti yang Yasfa sampaikan pada ibu, Yasfa akan mencoba beasiswa
kuliah S2 ibu. Do’akan semoga semuanya lancar bu”
“InsyaAllah, jangan lupa tengok Ara yah, terus berikan semangat
untuk Ara”
“Iya ibu, insyaAllah. Meski setelah ini Yasfa mohon izin untuk
tidak mengajar les Ara, Yasfa akan tetap terus menengok Ara. Melihat
perkembangannya. Lagipula Ara juga perlu belajar mandiri, sebelum nanti tinggal
di asrama setelah lulus sekolah dasar” jelasku
padanya.
Aku menatap ada butiran air mata yang mengalir jatuh dari kedua
matanya. Ia sudah seperti ibuku, hari ini tentu adalah hari yang membahagiakan
karena Ara juara. Tetapi, sekaligus hari penuh kesedihan bagiku, karena ini
kali terakhir aku mengajar Ara. “Jazakallah khair Yasfa, tidak ada yang
dapat ibu berikan untuk membalas apa yang Yasfa lakukan” lirihnya.
“jangan bosan menasehati Yasfa ya bu. Jangan lupa memberi kabar” Ucapku padanya.
***
Senja terbit di ufuk barat. Ibunda Ara mengajak aku dan Ara makan
bersama di salah satu rumah makan di tengah kota. Ayah Ara yang baru pulang
dari Kota sebelah pun ikut makan bersama. Katanya, ini hadiah untuk Ara yang
telah berhasil berjuang dan berani mencoba. Aku dan Ara terlihat seperti adik
kakak. Sehingga orang yang melihat pasti menyangka kami adalah keluarga besar.
“Bagaimana rasanya jadi juara?” Tanya
ayah Ara.
“rasanya campur aduk yah. Seneng, kaget, pokoknya campur-campur deh
yah” ucap Ara dengan nada antusias.
“Keren yah anak ayah yang ini” ucap
ayah Ara.
“Juara, tak boleh jadi jumawa. Tetap semangat untuk terus belajar,
karena diatas langit selalu ada langit yang lebih tinggi Ara” tambahku.
“Siap kak, asal kak Yasfa terus siap mengajar Ara yahh” jawab Ara.
Aku terdiam. Aku belum berbicara pada Ara bahwa aku akan berhenti
menjadi guru lesnya. Aku tak bisa menahan kedua mataku untuk tak berkaca-kaca.
Aku menunduk terdiam. Merangkai kata untuk menjelaskan pada Ara.
“Ara…” aku tergagap
melanjutkan ucapanku. “Ara, setelah ini, Ara harus belajar mandiri yah.
Kakak izin dulu untuk tidak mengajar les Ara, kakak harus segera selesaikan
kuliah kakak. Tapi insyaAllah, kakak akan selalu menengok Ara. Kalau Ara nakal,
nanti kakak datang untuk menggetok kepala Ara” jelasku berusaha tersenyum.
Ara terdiam menatapku. Tatapan adik kepada kakaknya. Ada kesedihan
di sudut-sudut matanya. “Kak yasfa kan bisa kuliah sambil mengajar Ara? Ara
akan menghadapi olimpiade tingkat provinsi kak..” protesnya kepadaku.
“kakak Yakin Ara mampu. Kemenangan Ara bukan karena kakak, tapi
atas izin Allah. Belajar dengan siapapun, Ara pasti bisa. Semangat Ara” ucapku memotivasinya.
Ia memelukku erat. Seakan tidak mau kehilangan kakaknya.
Sebenarnya, aku tidak ingin ada tangisan, tapi air mata itu tak bisa dibendung.
Ia keluar saat hati mengizinkan, bukan akal atau logika. “Semangat ya Ara,
jangan menyerah” lirihku kepada Ara.
Jadilah malam itu sebagai malam kemenangan Ara di olimpiade,
sekaligus malam perpisahan aku dengan Ara. Aku mengucap terimakasih kepada ayah
dan ibunda Ara, aku juga berterimakasih pada Ara, aku berterimakasih karena
telah diterima dengan baik di keluarga ini. Mereka sudah seperti ayah dan ibuku
sendiri, dan Ara sudah seperti adikku sendiri.
“Ara selalu mengingatkan kakak pada teman kakak, namanya Aisyah. Ia
teman kakak yang baik hati. Seperti Ara, Aisyah juga memiliki mimpi dan
cita-cita yang tinggi. Kacamatanya, sama seperti kacamata Ara. Nanti, kalau ada
kesempatan kakak ingin mengenalkan teman kakak kepada Ara.” Bisikku padanya.
Ara memang selalu mengingatkanku pada Aisyah. Semangatnya,
perjuangannya, persis sama. Semoga Allah merahmati keduanya, dua orang terbaik
yang telah memberikan banyak pelajaran hidup kepadaku.
“InsyaAllah, semoga Ara juga bisa sebaik teman kakak yang bernama
Aisyah. Kakak jangan lupakan Ara yah..” jelas
Ara.
“tentu, siapa yang bisa melupakan anak selucu Ara. Yang jika
tersenyum ada lesung di kedua pipinya” jawabku.
Ara tersenyum mendengar ucapanku. Anak kelas lima sekolah dasar itu
mulai mengikhlaskan kepergianku. Malam itu, kami tutup dengan foto bersama.
Untuk kenang-kenangan Ara dan juga aku. Agar kerinduan terpotret dalam bingkai
kehidupan.
“Aisyah, kau tahu, anak didikku yang begitu mirip denganmu hari ini
juara olimpiade. Bagaimana kabarmu? Apa kau juga mampu mematri mimpimu diatas
langit?” gumamku dalam hati.
***
Setumpuk kertas skripsi menemaniku siang ini. Selesai bimbingan
dengan dosen pembimbing, aku memutuskan untuk melepas penat di salah satu
tebing di ujung kota. Aku berjalan menuju halte 04, menanti bis kota. Kondisi
halte tidak terlalu ramai. Sebab belum masuk jam pulang sekolah ataupun pulang
kantor. Aku terduduk di sudut halte sambil memperhatikan coretan-coretan dosen
pembimbing dalam skripsiku.
Lima belas menit menanti, bis kota segera datang. Aku melangkah
masuk, mencari kursi kosong dekat jendela. Seperti biasa, aku senang menatap
keluar jendela, memandangi pemandangan kota yang tak pernah membuatku bosan.
Aku memilih kursi di baris ketiga, tepat di pinggir jendela. Dari pintu masuk
bis, aku menatap lelaki yang tak asing. Aku tak memakai kacamataku, jadi tak
tampak begitu jelas dalam pandanganku.
Lelaki itu duduk di sampingku..
“Assalamu’alaikum Yasfa” ucap
Pak Joko.
“Wa’alaikumussalam. Yasfa kira siapa pak” jawabku sambil tersenyum.
“bapak izin pulang lebih cepat, ada keperluan keluarga” jelas pak Joko.
“mobilnya kemana pak? Biasanya bapak ke kantor menaiki mobil
pribadi” tanyaku heran.
“mobilnya sedang diservis. Jadilah bapak naik kendaraan umum. Tapi,
lumayan juga bisnya. Tidak seperti jaman bapak kuliah, bisnya reot dan tidak
ada pendingin ruangan.” Jawabnya
sambil tertawa kecil.
“Oh begitu pak. Yasfa kira sengaja ingin merasakan jadi orang
biasa” ucapku tertawa kecil.
“kamu ini, naik apapun sama saja, sama-sama orang biasa bukan” jawabnya tak mau kalah sambil tertawa kecil.
Kami mengobrol panjang lebar. Tentang kuliah, tentang kehidupan,
dan tentang segala apapun yang terlintas di dalam benak. Aku iseng bertanya
pada Pak Joko “sebenarnya kepentingan apa yang bisa membuat pak Joko izin meninggalkan
pekerjaan yang sangat dicintai?” tanyaku sambil tersenyum lebar, iseng saja
bertanya.
“kau ingat tawaran bapak tempo hari, untuk mengenalkanmu dengan
salamah?” Tanya pak Joko.
Aku tertunduk, apa hubungannya dengan hal itu. “iya pak,
memangnya kenapa?” jawabku.
“dia akhirnya menemukan seseorang yang dicintai. Besok, pihak
lelaki akan datang melamar. Lelaki itu kebetulan tinggal di kota ini. Karena
itu, lamaran pada Salamah dilakukan di rumah bapak. Kamu sih menolak, jadi sama
lelaki lain kan” jelasnya
sambil menertawaiku.
“bapak ini, sudah jodohnya dengan pemuda itu, bukan saya” jawabku sambil tertawa. Sekaligus terbit rasa lega, karena pundakku
tak terbebani lagi oleh harapan-harapan yang tak mampu kupikul.
“iya, kamu benar. Jodoh siapa yang tahu ya. Itu urusan gusti Allah.
Sekuat apapun bapak menjodohkanya denganmu, tetap saja jika tidak berjodoh
tidak menyatu. Sebaliknya, kita bisa saja jatuh hati dan berjodoh dengan orang
yang bahkan baru kita temui. Berjodoh dengan orang yang jarang kita temui.
Bahkan mungkin berjodoh dengan orang yang sangat jarang berkomunikasi dengan
kita. Ah entahlah, pusing bapak memikirkannya” jelasnya dengan wajah pura-pura serius, lalu tertawa kecil sambil
menyikut lenganku.
“iya pak, kita tidak pernah tahu kapan perasaan cinta itu hadir.
Kadang di waktu yang tak terduga, dan pada orang yang tak pernah kita kira.
Meski jarak ratusan kilometer memisahkan, jikalau berjodoh, semuanya tak bisa
jadi penghalang” jawabku
mendengar penjelasan pak Joko.
“kamu kok jadi curhat nak?”
tanyanya meledekku.
Aku tiba-tiba salah tingkah. Ucapanku jadi terbata-bata. “eh,
tidak kok pak. Tidak, tidak. Itu berdasarkan cerita-cerita teman” jawabku
berusaha menghilangkan kecurigaan pak Joko.
“iya deh, tidak perlu takut begitu menjelaskannya” jawabnya sambil tertawa.
Bis kota berhenti di halte 07. Pak joko berpamitan, hendak turun ke
sebuah toko, untuk membeli perlengkapan esok hari. “Bapak duluan yah,
assalamu’alaikum” pamit Pak Joko.
“iya bapak, silahkan. Wa’alaikumussalam.” Jawabku.
***
Dari atas tebing, aku dapat melihat seluruh kota. Rumah-rumah,
gedung-gedung perkantoran, apartemen, sekolah, kampus, semua terlihat jelas
dari atas tebing. Belum lagi pemandangan indah pegunungan di sekitar tebing
yang masih begitu asri. Awan putih di langit berkumpul, sesekali membentuk
seperti jerapah, sesekali seperti gajah. Indah sekali.
Aku selalu suka alam, tempat terbaik aku merindu dan merenung
tentang kekuasaan-Nya. Menerbangkan setiap jengkal lelah ke tepi langit. Aku
jatuh hati, selalu jatuh hati pada alam hijau nan permai. Skripsiku,
tugas-tugas, sejenak menguap ke udara. Berganti dengan oksigen murni di ruang
udara. Membuat hatiku lapang menerima kehidupan.
Satu demi satu takdir Allah terbuka. Butuh satu dua waktu untuk
memahami semuanya. Kadangkala, hikmah itu datang berbarengan dengan takdir,
namun kadangkala juga tidak, saat mata hati kita tak mampu melihat dari
berbagai sudut pandang. Aku bersyukur, Ara akhirnya mampu menjuarai Olimpiade
matematika tingkat kota. Satu harapan dalam pundakku terlepas, dan langkahku
dapat lebih ringan melangkah.
Pak Joko? Alhamdulillah. Pada akhirnya ia menemukan pemuda yang
lebih baik untuk keponakannya. Aku tak lagi memikul harapannya, dan satu lagi
harapan terlepas dari pundakku, langkahku menjadi lebih ringan.
Di semester akhir ini, harapanku dapat menyelesaikan kuliahku
dengan hasil yang memuaskan, dan dapat melanjutkan studi. Aku ingin terus
belajar. Aku ingin belajar mencintai penciptaku, sebelum ciptaan-Nya. Aku ingin
mencintai ilmu, sebab ia adalah wasilahku untuk mendapat cinta-Nya. Menikah?
Entahlah. Aku tak mau sibuk memikirkannya. Sebab Allah yang tahu, waktu yang
tepat dan terbaik untuk kita. Tugasku hanya terus berusaha menjadi lebih baik.
“Aisyah, aku memang terkadang merindukanmu. Tapi kutepis,aku tidak
ingin merindu apa yang belum halal kurindu. Aku tidak akan sibuk memikirkanmu,
aku tidak akan sibuk menjagamu. Sebab aku yakin, jika Allah berkehendak, hatiku
dengan hatimu akan menyatu jua” gumamku
dalam hati.
Aku selalu berdo’a pada Rabb semesta alam, untuk senantiasa menjaga
perasaan ini agar tetap dalam fitrah dan terjaga dalam do’a. ikatan antara aku
dan Aisyah adalah do’a, dan bagiku itulah sekuat-kuatnya ikatan. Sebab do’a
mampu mengubah yang mustahil, menjadi sebuah kenyataan. Aku melepas penjagaanmu
dalam setiap do’a yang mengalir dari lisanku, hingga jika Allah menakdirkan,
akan ada saat dimana aku menjemputmu dalam takwa.
*Cerpen ini merupakan trilogi dari cerpen berjudul "terjaga dalam doa".
0 komentar:
Posting Komentar