Rabu, 09 November 2016

Dimanakah Posisi wanita dalam Islam?

Pernahkah terbersit dalam benak kita, dimanakah sebenarnya wanita diposisikan dalam islam? Media seakan membangun citra bahwa wanita dalam islam diposisikan dibawah strara laki-laki. Kehidupannya dibatasi, pakaiannya dibatasi, dan lain-lain yang sebagian orang menganggap hal tersebut adalah sebuah kekangan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) seorang wanita. Banyak orang hari ini, memperjuangkan emansipasi wanita, memperjuangkan persamaan derajat antara kaum pria dan wanita. Seperti halnya wanita dapat menjadi pemimpin sebagaimana lelaki. Namun, benarkah demikian? Benarkah islam mengekang hak seorang wanita?
Menilik pada sejarah, kita telah dibuai oleh kisah heroik perjuangan kartini pada masanya atau juga tokoh wanita hari ini seperti malala. Mereka dianggap sebagai sosok wanita pejuang, yang memperjuangkan persamaan hak dan derajat antara pria dengan wanita. Sebagai bangsa Indonesia, kita juga pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita pertama, yaitu Megawati Soekarno Putri. Selain itu, ketentuan regulasi yang dibangun pun mengharuskan beberapa menteri, juga beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat diisi oleh Wanita, hal ini untuk memberikan ruang pada wanita untuk berjuang. Lantas, apakah yang demikian disebut kebebasan bagi seorang wanita? Sudahkah sejajar haknya dengan pria? Rasanya kita harus berfikir bersama, benarkah apa yang kita yakini selama ini.
Pertama, sebagai seorang manusia, kita diciptakan oleh Allah Swt. dengan satu kewajiban, yaitu beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنءسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ
            “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)
Ayat ini dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, maksud dari ayat ini adalah tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. bukan karena Allah Swt membutuhkan mereka. Mengenai firman Allah ta’ala illa liya’buduun, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Artinya melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara sukarela maupun terpaksa.” Definisi ibadah sendiri ialah:
اَلْعِبَادَةُ هِيَ اَلتَّقَرُّبُ اِلَى اللهِ تَعَالَى بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَالْعَمَلِ بِمَا أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ
            “Ibadah ialah mendekatkan (diri) kepada Allah Swt. dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengamalkan apa-apa yang dizinkan oleh agama”
Definisi ibadah teresebut, menjelaskan kepada kita mengenai fungsi ibadah itu sendiri, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama dalam beribadah, tidak dibedakan satu sama lain. Pria maupun wanita memiliki kesempatan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. tidak ada diskriminasi dan perbedaan dalam islam berkaitan dengan ibadah. Selama manusia itu melakukan atau mengerjakan amal shaleh, maka Allah akan senantiasa memberikannya kebaikan (pahala) atau ganjaran, serta dicatat sebagai pemberat amal menuju surga.
Allah Swt. berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاًة طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَنُوْا يَعْمَلُوْنَ
            “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. an-Nahl [16]: 97)
Posisi wanita dalam islam, berkaitan dengan ibadah tentunya adalah sama dengan pria. Sama-sama memiliki kesempatan untuk meraih derajat takwa, sama-sama dapat menjadi insan mulia karena amal shalih yang dikerjakannya.
Kedua, dalam kaitan keduniaan, sesungguhnya islam telah mengangkat derajat seorang wanita. Dimasa jahiliyyah, wanita begitu terdiskriminasi oleh keadaan, memiliki wanita merupakan sebuah aib dan hal yang tidak menyenangkan. Wanita seperti barang dagang yang diperjual belikan, habis manis sepah dibuang, begitu kiranya ungkapan bagi wanita dimasa jahiliyyah. Baru ketika islam dating, wanita diangkat derajatnya dan dimuliakan oleh Allah Swt. tidak lagi laki-laki lebih mulia, tetapi amal dan perbuatan manusia yang menentukan kemuliaan dirinya. Allah Swt. mengisahkan bagaimana kedudukan perempuan pada masa jahiliyyah melalui firman-Nya, yaitu:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya kabar yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketauhilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (Q.S. an-Nahl [16]: 58-59)
Begitulah kiranya ayat tersebut menjelaskan posisi wanita di zaman jahiliyyah, begitu rendah dan terhinakan, bahkan seorang wanita tak berhak atas sepeser pun harta waris. Lantas apakah islam mengekang seorang wanita? Tentu kita semua tahu bahwa jawabannya adalah tidak. Kehadiran islam malah menyelamatkan kaum wanita, mengangkat derajat dan menjadikannya insan yang mulia.
Pandangan masyarakat terhadap wanita nyatanya berbeda-beda. Ajaran Manu di India menganggap bahwa orang kehilangan kehormatan karena wanita, asal permusuhan adalah wanita, maka hendaknya wanita itu dijauhi. Di era modern sepersti sekarang pun, tak jarang wanita dianggap begitu rendah, hanya menjadi tontonan, pajangan, maupun permainan. Pakaian yang memperlihatkan auratnya, bahkan sehelai benang terkadang tak menutupi tubuhnya. Semua itu dibalut dengan gelar ratu-ratuan, yang sebenarnya malah memposisikan wanita sebagai seorang budak dunia. Lantas yang seperti itukah keadilan? Begitukah yang dikata sebagai emansipasi wanita?
Sejatinya, islam begitu melindungi wanita dan menjaga kehormatannya. Bahkan sebaik-baik perhiasan dunia, tidak lain adalah seorang wanita sholehah. Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk menghormati wanita, menghormati ibu kita, bahkan hingga beliau mengulangi perintahnya untuk memuliakan ibu hingga tiga kali, yang menandakan begitu pentingnya peran seorang wanita (ibu) dalam islam, yang pantas untuk dihormati dan dimuliakan.
Ajaran islam memerintahkan agar wanita menutup auratnya dengan baik, bahkan perintah untuk tak menampakan sedikit pun lekuk tubuhnya. Menutup aurat bukan hanya sekedar tentang berkerudung, menutup rambut atau kepala, tetapi menutup aurat adalah perkara menutup seluruh tubuh yang tak halal dilihat oleh yang bukan muhrim, dari ujung kaki hingga ujung kepala (lihat Q.S. an-Nur [24]: 30-31). Karena tak sembarang orang dapat menatap wanita, tak sembarang orang dapat menyentuhnya, sebab wanita begitu mulia dan pantas dimuliakan. Bahkan Rasulullah Saw. menegaskan lebih baik ditusuk timah panas pada ubun-ubunnya, daripada menyentuh yang bukan mahramnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. menjelaskan mengenai batasan aurat bagi seorang wanita, yaitu:
dari ‘Aisyah r.a.: sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Rasulullah Saw. dengan memakai pakaian tipis. Lalu Rasulullah Saw. berpaling darinya dan beliau bersabda: ‘hai Asma! Sesungguhnya seorang wanita yang sudah baligh tidak boleh terlihat auratnya kecuali ini dan ini, dan Nabi Saw berisyarat (menunjuk) ke wajah dan kedua telapak tangannya.” (H.R. Abu Daud, 2:393)
Hadits tersebut menjelaskan bagaimana pentingnya seorang wanita menutup auratnya, dan hanya diperbolehkan terlihat wajah dan telapak tangannya. Menutup aurat tersebut adalah salah satu hal dalam islam yang mengisyaratkan kemulian seorang wanita. Lantas kenapa wanita malah ingin membuka auratnya? Mengatakan menutup aurat adalah mengekangnya, membatasi hak asasinya. Atau berdalih belum siap, atau juga berdalih menjilbabi hati sebelum menjilbabi diri. Wahai para wanita, mungkin jilbab tak menjadi tanda kesholehan seseorang, tapi wanita sholehah tak mungkin membuka dan menampilkan auratnya. Lanntas dari sisi mana islam tak adil memposisikan wanita?
Mengapa wanita tak boleh menjadi pemimpin? Bukankah menjadi pemimpin adalah hak semua orang?
والرجل راع في أهله وهو مسئول عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها – رواه البخري –
            “Dan laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (H.R. al-Bukhari)
Sabda Rasulullah Saw. tersebut menjelaskan bahwa pemimpin adalah seorang laki-laki, dan wanita menjadi pemimpin bagi rumah suaminya dan juga anak-anaknya. Sejatinya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, yang butuh pemimpin (laki-laki) untuk meluruskannya. Tulang rusuk yang bengkok tersebut, jika dipaksakan untuk diluruskan, maka tulang rusuk itu akan patah, namun jika dibiarkan, maka tulang rusuk itu akan semakin bengkok. Sehingga wanita selalu butuh bimbingan dan nasihat untuk menjaga dirinya dalam kesempurnaan hidup, tak perlu menjadi pemimpin.
Jika kita baca dan fahami dalil-dalil tentang syarat dan seorang pemimpin, serta bagaimana wanita dalam islam, maka jelaslah pemimpin itu adalah seorang lelaki. Namun, dibalik sosok seorang pemimpin yang teguh dan sholeh, selalu terdapat wanita sholehah yang mendampingi dan menguatkannya. Seperti halnya khadijah, yang senantiasa menguatkan jalan dakwah Rasulullah Saw. banyak lelaki yang tersandung karena amanahnya, disebabkan istri-istri mereka yang ikut mendorongnya dalam dusta yang menghinakan. Wanita itu ibaratkan sebuah rem, bukan mempercepat atau memperlambat laju kendaraan, melainkan mengamankan perjalanan, dan menghindari marabahaya.
Lantas dimanakah posisi wanita dalam islam?
Posisi wanita dalam islam begitu mulia, mereka adalah madrasatul ‘ula atau sekolah pertama. Karena mereka yang mendidik dan melahirkan generasi pejuang islam. Para pemimpin dilahirkan dari Rahim mereka, dan mendapatkan pendidikan pertamanya dari seorang ibu. Anak yang sholeh dan sholehah , lahir dari Rahim wanita yang sholehah pula. Posisi wanita amatlah penting dalam islam, mereka yang bertugas mendidik anak, dan menjadikannya para kekasih Allah. Curahan kasih sayang seorang ibu, yang menempa seorang anak menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Pendidikan bukan dadakan, karena para ibulah yang hadir dan senantiasa berada pada garis terdepan pendidikan. Begitulah hakikatnya seorang wanita dalam islam, begitu mulia.
Terakhir, penulis cantumkan sebuah hadits, wasiat Rasulullah Saw. untuk para wanita, agar mereka masuk surga dari pintu mana pun yang diinginkan.
عَنَ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ : إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَا مَتْ شَهْرَهَا وَحَصِنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَآ ءَتْ – رواه الطبراني –
          “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw: ‘apabila seorang wanita mendirikan shalat lima waktu, mengerjakan shaum (Ramadhan) sebulan, memlihara kehormatan, dan taat kepada suaminya, ia akan masuk surge dari pintu mana saja ia suka. (H.R. Thabrani)
Wallahua’lam bi shawab.


Sumber Rujukan:
Abdurrahman, KH. E.2005.Al Ibroh. Bandung: Al Ibroh Islamic Propagation.
Ath-Tharsyah, Syaikh Adnan.2004.Menjadi Wanita Sukses dan Dicintai. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Dewan Hisbah.2013.Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) tentang Muamalah (masalah-masalah Kontemporer). Bandung: PersisPers
Zakaria, A.2003.Tarbiyah An Nisa Panduan Lengkap Wanita sholehah. Garut: ibn azka press.

0 komentar:

Posting Komentar