Pernahkah terbersit dalam benak kita, dimanakah sebenarnya wanita
diposisikan dalam islam? Media seakan membangun citra bahwa wanita dalam
islam diposisikan dibawah strara laki-laki. Kehidupannya dibatasi,
pakaiannya dibatasi, dan lain-lain yang sebagian orang menganggap hal
tersebut adalah sebuah kekangan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) seorang
wanita. Banyak orang hari ini, memperjuangkan emansipasi wanita,
memperjuangkan persamaan derajat antara kaum pria dan wanita. Seperti
halnya wanita dapat menjadi pemimpin sebagaimana lelaki. Namun, benarkah
demikian? Benarkah islam mengekang hak seorang wanita?
Menilik pada sejarah, kita telah dibuai oleh kisah heroik perjuangan
kartini pada masanya atau juga tokoh wanita hari ini seperti malala.
Mereka dianggap sebagai sosok wanita pejuang, yang memperjuangkan
persamaan hak dan derajat antara pria dengan wanita. Sebagai bangsa
Indonesia, kita juga pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita
pertama, yaitu Megawati Soekarno Putri. Selain itu, ketentuan regulasi
yang dibangun pun mengharuskan beberapa menteri, juga beberapa anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diisi oleh Wanita, hal ini untuk memberikan
ruang pada wanita untuk berjuang. Lantas, apakah yang demikian disebut
kebebasan bagi seorang wanita? Sudahkah sejajar haknya dengan pria?
Rasanya kita harus berfikir bersama, benarkah apa yang kita yakini
selama ini.
Pertama, sebagai seorang manusia, kita diciptakan oleh Allah Swt.
dengan satu kewajiban, yaitu beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman
Allah ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنءسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)
Ayat ini dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, maksud dari ayat ini
adalah tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah
Swt. bukan karena Allah Swt membutuhkan mereka. Mengenai firman Allah
ta’ala illa liya’buduun, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas: “Artinya melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah
kepada-Ku, baik secara sukarela maupun terpaksa.” Definisi ibadah
sendiri ialah:
اَلْعِبَادَةُ هِيَ اَلتَّقَرُّبُ اِلَى
اللهِ تَعَالَى بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ
وَالْعَمَلِ بِمَا أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ
“Ibadah ialah mendekatkan (diri) kepada Allah Swt.
dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya, serta mengamalkan apa-apa yang dizinkan oleh agama”
Definisi ibadah teresebut, menjelaskan kepada kita mengenai fungsi
ibadah itu sendiri, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. pria maupun
wanita mempunyai kesempatan yang sama dalam beribadah, tidak dibedakan
satu sama lain. Pria maupun wanita memiliki kesempatan beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah Swt. tidak ada diskriminasi dan perbedaan
dalam islam berkaitan dengan ibadah. Selama manusia itu melakukan atau
mengerjakan amal shaleh, maka Allah akan senantiasa memberikannya
kebaikan (pahala) atau ganjaran, serta dicatat sebagai pemberat amal
menuju surga.
Allah Swt. berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاًة طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَنُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan” (Q.S. an-Nahl [16]: 97)
Posisi wanita dalam islam, berkaitan dengan ibadah tentunya adalah
sama dengan pria. Sama-sama memiliki kesempatan untuk meraih derajat
takwa, sama-sama dapat menjadi insan mulia karena amal shalih yang
dikerjakannya.
Kedua, dalam kaitan keduniaan, sesungguhnya islam telah mengangkat
derajat seorang wanita. Dimasa jahiliyyah, wanita begitu terdiskriminasi
oleh keadaan, memiliki wanita merupakan sebuah aib dan hal yang tidak
menyenangkan. Wanita seperti barang dagang yang diperjual belikan, habis
manis sepah dibuang, begitu kiranya ungkapan bagi wanita dimasa
jahiliyyah. Baru ketika islam dating, wanita diangkat derajatnya dan
dimuliakan oleh Allah Swt. tidak lagi laki-laki lebih mulia, tetapi amal
dan perbuatan manusia yang menentukan kemuliaan dirinya. Allah Swt.
mengisahkan bagaimana kedudukan perempuan pada masa jahiliyyah melalui
firman-Nya, yaitu:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya, dan dia
sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan
buruknya kabar yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketauhilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.” (Q.S. an-Nahl [16]: 58-59)
Begitulah kiranya ayat tersebut menjelaskan posisi wanita di zaman
jahiliyyah, begitu rendah dan terhinakan, bahkan seorang wanita tak
berhak atas sepeser pun harta waris. Lantas apakah islam mengekang
seorang wanita? Tentu kita semua tahu bahwa jawabannya adalah tidak.
Kehadiran islam malah menyelamatkan kaum wanita, mengangkat derajat dan
menjadikannya insan yang mulia.
Pandangan masyarakat terhadap wanita nyatanya berbeda-beda. Ajaran
Manu di India menganggap bahwa orang kehilangan kehormatan karena
wanita, asal permusuhan adalah wanita, maka hendaknya wanita itu
dijauhi. Di era modern sepersti sekarang pun, tak jarang wanita dianggap
begitu rendah, hanya menjadi tontonan, pajangan, maupun permainan.
Pakaian yang memperlihatkan auratnya, bahkan sehelai benang terkadang
tak menutupi tubuhnya. Semua itu dibalut dengan gelar ratu-ratuan, yang
sebenarnya malah memposisikan wanita sebagai seorang budak dunia. Lantas
yang seperti itukah keadilan? Begitukah yang dikata sebagai emansipasi
wanita?
Sejatinya, islam begitu melindungi wanita dan menjaga kehormatannya.
Bahkan sebaik-baik perhiasan dunia, tidak lain adalah seorang wanita
sholehah. Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk menghormati wanita,
menghormati ibu kita, bahkan hingga beliau mengulangi perintahnya untuk
memuliakan ibu hingga tiga kali, yang menandakan begitu pentingnya
peran seorang wanita (ibu) dalam islam, yang pantas untuk dihormati dan
dimuliakan.
Ajaran islam memerintahkan agar wanita menutup auratnya dengan baik,
bahkan perintah untuk tak menampakan sedikit pun lekuk tubuhnya. Menutup
aurat bukan hanya sekedar tentang berkerudung, menutup rambut atau
kepala, tetapi menutup aurat adalah perkara menutup seluruh tubuh yang
tak halal dilihat oleh yang bukan muhrim, dari ujung kaki hingga ujung
kepala (lihat Q.S. an-Nur [24]: 30-31). Karena tak sembarang orang dapat
menatap wanita, tak sembarang orang dapat menyentuhnya, sebab wanita
begitu mulia dan pantas dimuliakan. Bahkan Rasulullah Saw. menegaskan
lebih baik ditusuk timah panas pada ubun-ubunnya, daripada menyentuh
yang bukan mahramnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. menjelaskan
mengenai batasan aurat bagi seorang wanita, yaitu:
“dari ‘Aisyah r.a.: sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke
rumah Rasulullah Saw. dengan memakai pakaian tipis. Lalu Rasulullah Saw.
berpaling darinya dan beliau bersabda: ‘hai Asma! Sesungguhnya seorang
wanita yang sudah baligh tidak boleh terlihat auratnya kecuali ini dan
ini, dan Nabi Saw berisyarat (menunjuk) ke wajah dan kedua telapak
tangannya.” (H.R. Abu Daud, 2:393)
Hadits tersebut menjelaskan bagaimana pentingnya seorang wanita
menutup auratnya, dan hanya diperbolehkan terlihat wajah dan telapak
tangannya. Menutup aurat tersebut adalah salah satu hal dalam islam yang
mengisyaratkan kemulian seorang wanita. Lantas kenapa wanita malah
ingin membuka auratnya? Mengatakan menutup aurat adalah mengekangnya,
membatasi hak asasinya. Atau berdalih belum siap, atau juga berdalih
menjilbabi hati sebelum menjilbabi diri. Wahai para wanita, mungkin
jilbab tak menjadi tanda kesholehan seseorang, tapi wanita sholehah tak
mungkin membuka dan menampilkan auratnya. Lanntas dari sisi mana islam
tak adil memposisikan wanita?
Mengapa wanita tak boleh menjadi pemimpin? Bukankah menjadi pemimpin adalah hak semua orang?
والرجل راع في أهله وهو مسئول عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها – رواه البخري –
“Dan laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan
ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan wanita adalah pemimpin di
rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (H.R. al-Bukhari)
Sabda Rasulullah Saw. tersebut menjelaskan bahwa pemimpin adalah
seorang laki-laki, dan wanita menjadi pemimpin bagi rumah suaminya dan
juga anak-anaknya. Sejatinya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok, yang butuh pemimpin (laki-laki) untuk meluruskannya. Tulang
rusuk yang bengkok tersebut, jika dipaksakan untuk diluruskan, maka
tulang rusuk itu akan patah, namun jika dibiarkan, maka tulang rusuk itu
akan semakin bengkok. Sehingga wanita selalu butuh bimbingan dan
nasihat untuk menjaga dirinya dalam kesempurnaan hidup, tak perlu
menjadi pemimpin.
Jika kita baca dan fahami dalil-dalil tentang syarat dan seorang
pemimpin, serta bagaimana wanita dalam islam, maka jelaslah pemimpin itu
adalah seorang lelaki. Namun, dibalik sosok seorang pemimpin yang teguh
dan sholeh, selalu terdapat wanita sholehah yang mendampingi dan
menguatkannya. Seperti halnya khadijah, yang senantiasa menguatkan jalan
dakwah Rasulullah Saw. banyak lelaki yang tersandung karena amanahnya,
disebabkan istri-istri mereka yang ikut mendorongnya dalam dusta yang
menghinakan. Wanita itu ibaratkan sebuah rem, bukan mempercepat atau
memperlambat laju kendaraan, melainkan mengamankan perjalanan, dan
menghindari marabahaya.
Lantas dimanakah posisi wanita dalam islam?
Posisi wanita dalam islam begitu mulia, mereka adalah madrasatul ‘ula
atau sekolah pertama. Karena mereka yang mendidik dan melahirkan
generasi pejuang islam. Para pemimpin dilahirkan dari Rahim mereka, dan
mendapatkan pendidikan pertamanya dari seorang ibu. Anak yang sholeh dan
sholehah , lahir dari Rahim wanita yang sholehah pula. Posisi wanita
amatlah penting dalam islam, mereka yang bertugas mendidik anak, dan
menjadikannya para kekasih Allah. Curahan kasih sayang seorang ibu, yang
menempa seorang anak menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Pendidikan
bukan dadakan, karena para ibulah yang hadir dan senantiasa berada pada
garis terdepan pendidikan. Begitulah hakikatnya seorang wanita dalam
islam, begitu mulia.
Terakhir, penulis cantumkan sebuah hadits, wasiat Rasulullah Saw.
untuk para wanita, agar mereka masuk surga dari pintu mana pun yang
diinginkan.
عَنَ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ : إِذَا
صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَا مَتْ شَهْرَهَا وَحَصِنَتْ فَرْجَهَا
وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَآ ءَتْ –
رواه الطبراني –
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah
Saw: ‘apabila seorang wanita mendirikan shalat lima waktu, mengerjakan
shaum (Ramadhan) sebulan, memlihara kehormatan, dan taat kepada
suaminya, ia akan masuk surge dari pintu mana saja ia suka. (H.R.
Thabrani)
Wallahua’lam bi shawab.
Sumber Rujukan:
Abdurrahman, KH. E.2005.Al Ibroh. Bandung: Al Ibroh Islamic Propagation.
Ath-Tharsyah, Syaikh Adnan.2004.Menjadi Wanita Sukses dan Dicintai. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Dewan Hisbah.2013.Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) tentang Muamalah (masalah-masalah Kontemporer). Bandung: PersisPers
Zakaria, A.2003.Tarbiyah An Nisa Panduan Lengkap Wanita sholehah. Garut: ibn azka press.
0 komentar:
Posting Komentar