Sabtu, 08 Oktober 2016

Jangan Lelah dalam lilLah


Akhir-akhir ini, dunia remaja dihebohkan dengan sosok muda-mudi yang viral di media sosial karena postingan-postingannya yang tidak sesuai dengan norma-norma bangsa ini, apalagi dengan norma-norma agama islam. Tidak sedikit yang menghujat dan memaki, dan tidak sedikit pula yang mendukung dan merasa setuju sebab hal itu bagian dari kebebasan berekspresi. Pro-kontra berkembang di masyarakat, dengan dalil dan alasan yang beragam, baik yang mendukung ataupun menolak.

            Jalan hidup manusia memang tidak pernah ada yang tahu, ada manusia yang sedari awal hidupnya hingga menutup mata berada dalam kebaikan, adapula yang mengawali hidupnya dengan keburukan dan menutup hidupnya dengan kebaikan, atau adapula yang mengawali hidupnya dengan kebaikan dan menutup akhir hidupnya dengan keburukan, atau bahkan dari awal hingga akhir hidupnya berada dalam keburukan.
            Jalan hidup ini adalah pilihan kita, akan seperti apa kita menjalani kehidupan dan bagaimana kita mengakhiri kehidupan kita kelak. Tidak akan kita menemukan satu ayat pun yang menjamin manusia terus berada dalam kesholehan dan kebaikan, dan tidak adapula satu pun firman Allah yang menjamin manusia akan terus berada dalam kemaksiatan. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q.S. Ali Imran: 102)
            Tidak ada satu pun ayat yang menjamin seseorang akan terus berada dalam keimanan, melainkan wa laa tamutunna illa wa antum muslimun, yakni agar jangan sampai kita mati kecuali dalam keadaan beragama islam. Jalan hidup seorang manusia menggambarkan bagaimana akhir kisah hidupnya, dan akhir kisah hidupnya akan menggambarkan bagaimana kelak keadaannya saat dibangkitkan oleh Allah ta’ala. Sebab itu, bercerminlah pada diri, seperti apa kehidupan kita hari ini?.
            Kita tidak pernah bisa menjustifikasi seseorang adalah ahli neraka, ahli maksiat, atau apapun itu, karena bisa jadi esok hari ia menjadi orang paling shaleh, paling baik, paling thayyib amalnya. Begitu pun sebaliknya, belum tentu orang-orang shaleh, orang-orang baik hari ini, esok lusa masih tetap dalam keadaan baik. Tugas kita sebagai sebaik-baik umat adalah mengajak pada ma’ruf dan mencegah pada yang munkar, sisanya adalah urusan Rabb semesta alam yang membukakan pintu hati manusia. Namun, jangan sampai kita berdiam diri saat menyaksikan kemunkaran di hadapan mata kita. Karena adzab Allah akan menimpa suatu kaum, yang orang-orang berimannya hanya diam menyaksikan kemaksiatan. Allah swt. berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
            “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya (Q.S. al-Anfal [8]: 25)
            Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mereka tidak membiarkan kemunkaran terjadi di hadapan mereka, sebab Allah bisa menimpakan adzab secara merata.[1] Artinya, orang-orang beriman memiliki kewajiban untuk amar ma’ruf dan nahi munkar, sebab ia pun akan ditanya oleh Allah apa yang dilakukannya saat melihat kemunkaran di hadapan matanya. Kita dihisab bukan karena seseorang melakukan kemunkaran, melainkan karena kita membiarkan kemunkaran itu tumbuh subur dengan cara membiarkannya.
            “Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak
mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum.”
(HR Abu Dawud)
            Setidaknya, ada beberapa hal yang bisa kita ikhtiarkan agar diri tetap berada dalam keadaan iman dan taqwa kepada Allah, yaitu:
1)      Berpegang teguh kepada tali agama Allah. Menjaga diri agar tetap dalam keadaan iman, agar kemudian wa laa tamutunna illa wa antum muslimun adalah dengan wa’tasimu bihablillahi jami’an wa laa tafarroqu, yaitu berpegang teguh terhadap tali agama Allah. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai(Q.S. Ali Imran [3]: 103)
Ayat ini merupakan lanjutan dari wa laa tamutunna illa wa antum muslimun, sekilas jika kita memahami secara sederhana bahwa untuk menjaga diri agar tetap berada dalam keislaman dan keimanan adalah dengan berpegang teguhnya kita terhadap tali agama Allah. Tali agama Allah ini ialah al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari al-Harits al-A’war, dari Ali sebagai hadits marfu’:
“al-Qur’an itu adalah tali Allah yang paling kuat dan jalan-Nya yang lurus”[2]
Oleh sebab itu, mendekatlah pada al-Qur’an yang ia adalah tali Allah yang paling kuat, yang dapat mengikat hati kita dalam keadaan keimanan. Ia layaknya tameng, benteng, yang menjaga diri dari kemaksiatan.
2)      Amar ma’ruf dan Nahi munkar. Seperti apa yang diuraikan diatas dan apa yang tertera dalam Q.S. Ali Imran ayat 104, kita memiliki kewajiban untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar, jangan sampai kita menjadi orang yang beriman tetapi terdiam menyaksikan kemaksiatan tanpa upaya amar ma’ruf dan nahi munkar. Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tangan, jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu, maka dengan hati (dengan menunjukkan ketidak ridhaan terhadap kemungkaran tersebut), dan itulah selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim)[3]
Agar menjaga diri dalam keimanan, maka hendaklah kita saling mengingatkan dalam kebaikan dan keburukan. Beramar ma’ruf dan nahi munkarlah semampu kita. Jika mampu dengan tangan (kekuasaan) maka lakukanlah hal itu, jika belum mampu dengan tangan, maka ber-amar ma’ruf nahi munkarlah dengan lisan dan nasihat yang baik, dan jika belum mampu juga, maka selemah-lemahnya iman adalah hati yang menolak kemaksiatan. Bisa jadi seseorang terjerumus pada jurang kemaksiatan, karena tidak ada lagi orang yang menyeru pada kebaikan.
3)      Berkumpul dan bertemanlah dengan orang-orang shaleh. Pertemanan dan pergaulan sejatinya dapat mencuri tabiat seseorang. Seperti apa yang diumpakan oleh Rasulullah saw., bahwa orang yang senantiasa berkumpul dengan tukang besi, maka ia akan berbau pandai besi. Dan orang yang berteman dengan tukang minyak wangi, maka ia akan terciprati wanginya. Sebab itu, dalam ikhtiar menjaga diri dari maksiat adalah dengan berkumpul dengan orang-orang baik, orang-orang shaleh, setidaknya saat kita berkumpul dengan orang-orang shaleh, kita akan malu untuk melakukan kemaksiatan dan keburukan. Jangan sampai kita menjadi teman yang saling menyalahkan kelak di yaumil akhir, dan menganggap celaka karena berteman dengannya. Allah ta’ala berfirman:
يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِيْ لَمْ أَتَّخِذْ فُلاَنًا خَلِيْلاً
Kecelakaan besar bagiku, seandainya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrab” (QS Al-Furqan [2]:28)
Jangan sampai kita menjadi orang yang celaka, karena berteman dengan orang yang menyesatkan dan mengajak kita kepada kemunkaran. Maka jika hari ini kita berada dalam lingkungan yang menjauhkan diri dari Allah ta’ala, berhijrahlah pada orang-orang dan keadaaan yang mendekatkan diri kita pada Allah ta’ala.
4)      Sibukkan diri dalam ibadah. Rasulullah saw. bersabda:
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian beramal (shalih) untuk menyelamatkan diri dari berbagai fitnah yang seperti potongan malam yang gelap. Di mana seseorang pada pagi hari dalam keadaan beriman lalu di sore harinya dia menjadi kafir. Ada pula yang di sore hari dalam keadaan beriman kemudian dia masuk waktu pagi menjadi kafir. Dia menjual agamanya untuk mendapatkan keuntungan dunia.” (HR. Muslim)[4]
Sibukkanlah diri kita dalam beribadah, mencari ilmu, berdoa, dan hal-hal positif lainnya, agar kita menutup hidup kita dalam kebaikan pula.
Itulah beberapa ikhtiar yang dapat kita lakukan agar senantiasa berada dalam jalan lurus yang ujungnya sampai di surga-Nya. Terlepas dari sosok muda yang menjadi perbincangan hangat di social media, tugas kita bukan untuk menghujat mereka, tetapi mengajaknya kembali ke jalan kebaikan. Sekeras apapun batu, saat Allah mengehendakinya terbelah maka ia akan terbelah pula. Jangan terjebak dengan kalimat “Jadi diri sendiri, jadi apa adanya, daripada pura-pura baik tapi munafik” tetapi jadi diri sendiri itu adalah jadi diri yang setiap harinya lebih baik, sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Sebab hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, agar kita menjadi orang-orang yang beruntung. Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi, sebab hari ini sama dengan hari kemarin. Dan bahkan jangan sampai kita menjadi orang yang celaka, sebab hari ini lebih buruk dari hari kemarin.
Bagi kita yang hari ini berada dalam kebaikan, tetaplah jaga hati kita agar tetap condong pada kebaikan. Ikhtiarkan diri agar jangan lelah dalam lilLah, jangan lelah berada di jalan Allah, jangan lelah amar ma’ruf nahi munkar, jangan lelah dan bosan meniti jalan surga. Terakhir, sebuah do’a indah yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat kedelapan menutup tulisan ini.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)".
Semoga kita senantiasa meluruskan hati, menetapkannya dalam iman, hingga berbuah takwa kepada Allah. Semoga hati kita tetap condong pada keimanan, agar jangan lelah dalam Lillah.
Wallahua’lam bish shawwab.

Sumber Rujukan:
1.      Shahih Muslim
2.      Terjemah Tafsir Ibnu Katsir


[1] Terjemah Tafsir Ibnu Katsir juz 9 hal. 28
[2] Terjemah Tafsir Ibnu Katsir juz 4 hal 104
[3] Shahih Muslim, kitabul iman, bab bayaani kauni nahyi anil munkar minal iman. Hadits no. 186. (Maktabah syamilah)
[4] Shahih Muslim, kitabul Iman, Bab alhatssi ‘alal mubaadaroti bil a’mal qobla tadzoohuril fitan. Hadits no. 328. (Maktabah syamilah)

2 komentar: