Akhir-akhir ini, dunia remaja dihebohkan dengan sosok muda-mudi
yang viral di media sosial karena postingan-postingannya yang tidak sesuai
dengan norma-norma bangsa ini, apalagi dengan norma-norma agama islam. Tidak sedikit
yang menghujat dan memaki, dan tidak sedikit pula yang mendukung dan merasa
setuju sebab hal itu bagian dari kebebasan berekspresi. Pro-kontra berkembang
di masyarakat, dengan dalil dan alasan yang beragam, baik yang mendukung
ataupun menolak.
Jalan hidup
manusia memang tidak pernah ada yang tahu, ada manusia yang sedari awal
hidupnya hingga menutup mata berada dalam kebaikan, adapula yang mengawali
hidupnya dengan keburukan dan menutup hidupnya dengan kebaikan, atau adapula
yang mengawali hidupnya dengan kebaikan dan menutup akhir hidupnya dengan
keburukan, atau bahkan dari awal hingga akhir hidupnya berada dalam keburukan.
Jalan hidup ini
adalah pilihan kita, akan seperti apa kita menjalani kehidupan dan bagaimana
kita mengakhiri kehidupan kita kelak. Tidak akan kita menemukan satu ayat pun
yang menjamin manusia terus berada dalam kesholehan dan kebaikan, dan tidak
adapula satu pun firman Allah yang menjamin manusia akan terus berada dalam
kemaksiatan. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam.”
(Q.S. Ali Imran: 102)
Tidak ada satu pun ayat yang
menjamin seseorang akan terus berada dalam keimanan, melainkan wa laa
tamutunna illa wa antum muslimun, yakni agar jangan sampai kita mati
kecuali dalam keadaan beragama islam. Jalan hidup seorang manusia menggambarkan
bagaimana akhir kisah hidupnya, dan akhir kisah hidupnya akan menggambarkan
bagaimana kelak keadaannya saat dibangkitkan oleh Allah ta’ala. Sebab itu,
bercerminlah pada diri, seperti apa kehidupan kita hari ini?.
Kita tidak pernah bisa
menjustifikasi seseorang adalah ahli neraka, ahli maksiat, atau apapun itu,
karena bisa jadi esok hari ia menjadi orang paling shaleh, paling baik, paling
thayyib amalnya. Begitu pun sebaliknya, belum tentu orang-orang shaleh,
orang-orang baik hari ini, esok lusa masih tetap dalam keadaan baik. Tugas kita
sebagai sebaik-baik umat adalah mengajak pada ma’ruf dan mencegah pada yang
munkar, sisanya adalah urusan Rabb semesta alam yang membukakan pintu hati
manusia. Namun, jangan sampai kita berdiam diri saat menyaksikan kemunkaran di
hadapan mata kita. Karena adzab Allah akan menimpa suatu kaum, yang orang-orang
berimannya hanya diam menyaksikan kemaksiatan. Allah swt. berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً
لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada
siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya” (Q.S. al-Anfal
[8]: 25)
Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan orang-orang beriman agar mereka tidak membiarkan kemunkaran
terjadi di hadapan mereka, sebab Allah bisa menimpakan adzab secara merata.[1] Artinya,
orang-orang beriman memiliki kewajiban untuk amar ma’ruf dan nahi munkar, sebab
ia pun akan ditanya oleh Allah apa yang dilakukannya saat melihat kemunkaran di
hadapan matanya. Kita dihisab bukan karena seseorang melakukan kemunkaran,
melainkan karena kita membiarkan kemunkaran itu tumbuh subur dengan cara
membiarkannya.
“Sesungguhnya manusia, jika mereka
melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak
mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum.” (HR Abu Dawud)
mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum.” (HR Abu Dawud)
Setidaknya, ada beberapa hal yang
bisa kita ikhtiarkan agar diri tetap berada dalam keadaan iman dan taqwa kepada
Allah, yaitu:
1)
Berpegang teguh
kepada tali agama Allah. Menjaga diri agar tetap dalam keadaan iman, agar
kemudian wa laa tamutunna illa wa antum muslimun adalah dengan wa’tasimu
bihablillahi jami’an wa laa tafarroqu, yaitu berpegang teguh terhadap tali
agama Allah. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (Q.S. Ali Imran [3]: 103)
Ayat ini
merupakan lanjutan dari wa laa tamutunna illa wa antum muslimun, sekilas
jika kita memahami secara sederhana bahwa untuk menjaga diri agar tetap berada
dalam keislaman dan keimanan adalah dengan berpegang teguhnya kita terhadap
tali agama Allah. Tali agama Allah ini ialah al-Qur’an, sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan dari al-Harits al-A’war, dari Ali sebagai hadits
marfu’:
“al-Qur’an
itu adalah tali Allah yang paling kuat dan jalan-Nya yang lurus”[2]
Oleh sebab
itu, mendekatlah pada al-Qur’an yang ia adalah tali Allah yang paling kuat,
yang dapat mengikat hati kita dalam keadaan keimanan. Ia layaknya tameng, benteng,
yang menjaga diri dari kemaksiatan.
2)
Amar ma’ruf dan
Nahi munkar. Seperti apa yang diuraikan diatas dan apa yang tertera dalam Q.S.
Ali Imran ayat 104, kita memiliki kewajiban untuk beramar ma’ruf dan nahi
munkar, jangan sampai kita menjadi orang yang beriman tetapi terdiam
menyaksikan kemaksiatan tanpa upaya amar ma’ruf dan nahi munkar. Rasulullah
Saw. bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di
antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tangan, jika tidak
mampu, maka ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu, maka dengan hati (dengan
menunjukkan ketidak ridhaan terhadap kemungkaran tersebut), dan itulah
selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim)[3]
Agar menjaga
diri dalam keimanan, maka hendaklah kita saling mengingatkan dalam kebaikan dan
keburukan. Beramar ma’ruf dan nahi munkarlah semampu kita. Jika mampu dengan
tangan (kekuasaan) maka lakukanlah hal itu, jika belum mampu dengan tangan,
maka ber-amar ma’ruf nahi munkarlah dengan lisan dan nasihat yang baik, dan
jika belum mampu juga, maka selemah-lemahnya iman adalah hati yang menolak
kemaksiatan. Bisa jadi seseorang terjerumus pada jurang kemaksiatan, karena
tidak ada lagi orang yang menyeru pada kebaikan.
3)
Berkumpul dan
bertemanlah dengan orang-orang shaleh. Pertemanan dan pergaulan sejatinya dapat
mencuri tabiat seseorang. Seperti apa yang diumpakan oleh Rasulullah saw.,
bahwa orang yang senantiasa berkumpul dengan tukang besi, maka ia akan berbau
pandai besi. Dan orang yang berteman dengan tukang minyak wangi, maka ia akan
terciprati wanginya. Sebab itu, dalam ikhtiar menjaga diri dari maksiat adalah
dengan berkumpul dengan orang-orang baik, orang-orang shaleh, setidaknya saat
kita berkumpul dengan orang-orang shaleh, kita akan malu untuk melakukan
kemaksiatan dan keburukan. Jangan sampai kita menjadi teman yang saling
menyalahkan kelak di yaumil akhir, dan menganggap celaka karena berteman
dengannya. Allah ta’ala berfirman:
يَا
وَيْلَتَى لَيْتَنِيْ لَمْ أَتَّخِذْ فُلاَنًا خَلِيْلاً
“Kecelakaan besar bagiku, seandainya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrab” (QS Al-Furqan [2]:28)
Jangan sampai
kita menjadi orang yang celaka, karena berteman dengan orang yang menyesatkan
dan mengajak kita kepada kemunkaran. Maka jika hari ini kita berada dalam
lingkungan yang menjauhkan diri dari Allah ta’ala, berhijrahlah pada
orang-orang dan keadaaan yang mendekatkan diri kita pada Allah ta’ala.
4)
Sibukkan diri
dalam ibadah. Rasulullah saw. bersabda:
بَادِرُوا
بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ
مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ
دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah
kalian beramal (shalih) untuk menyelamatkan diri dari berbagai fitnah yang
seperti potongan malam yang gelap. Di mana seseorang pada pagi hari dalam
keadaan beriman lalu di sore harinya dia menjadi kafir. Ada pula yang di sore
hari dalam keadaan beriman kemudian dia masuk waktu pagi menjadi kafir. Dia
menjual agamanya untuk mendapatkan keuntungan dunia.” (HR. Muslim)[4]
Sibukkanlah
diri kita dalam beribadah, mencari ilmu, berdoa, dan hal-hal positif lainnya,
agar kita menutup hidup kita dalam kebaikan pula.
Itulah beberapa
ikhtiar yang dapat kita lakukan agar senantiasa berada dalam jalan lurus yang
ujungnya sampai di surga-Nya. Terlepas dari sosok muda yang menjadi
perbincangan hangat di social media, tugas kita bukan untuk menghujat mereka,
tetapi mengajaknya kembali ke jalan kebaikan. Sekeras apapun batu, saat Allah
mengehendakinya terbelah maka ia akan terbelah pula. Jangan terjebak dengan
kalimat “Jadi diri sendiri, jadi apa adanya, daripada pura-pura baik tapi
munafik” tetapi jadi diri sendiri itu adalah jadi diri yang setiap harinya
lebih baik, sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Sebab hari ini harus
lebih baik dari hari kemarin, agar kita menjadi orang-orang yang beruntung. Jangan
sampai kita menjadi orang yang merugi, sebab hari ini sama dengan hari kemarin.
Dan bahkan jangan sampai kita menjadi orang yang celaka, sebab hari ini lebih
buruk dari hari kemarin.
Bagi kita yang
hari ini berada dalam kebaikan, tetaplah jaga hati kita agar tetap condong pada
kebaikan. Ikhtiarkan diri agar jangan lelah dalam lilLah, jangan lelah berada
di jalan Allah, jangan lelah amar ma’ruf nahi munkar, jangan lelah dan bosan
meniti jalan surga. Terakhir, sebuah do’a indah yang termaktub dalam surat Ali
Imran ayat kedelapan menutup tulisan ini.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ
قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ
أَنتَ الْوَهَّابُ
(Mereka
berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada
kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi
(karunia)".
Semoga kita
senantiasa meluruskan hati, menetapkannya dalam iman, hingga berbuah takwa
kepada Allah. Semoga hati kita tetap condong pada keimanan, agar jangan
lelah dalam Lillah.
Wallahua’lam
bish shawwab.
Sumber Rujukan:
1.
Shahih Muslim
2.
Terjemah Tafsir
Ibnu Katsir
[1]
Terjemah Tafsir Ibnu Katsir juz 9 hal. 28
[2]
Terjemah Tafsir Ibnu Katsir juz 4 hal 104
[3] Shahih
Muslim, kitabul iman, bab bayaani kauni nahyi anil munkar minal iman. Hadits no.
186. (Maktabah syamilah)
[4]
Shahih Muslim, kitabul Iman, Bab alhatssi ‘alal mubaadaroti bil a’mal qobla
tadzoohuril fitan. Hadits no. 328. (Maktabah syamilah)
Subhanallah.. Taps..
BalasHapusSubhanallah.. Taps..
BalasHapus