Malu pada dasarnya merupakan fitrah manusia, dan sifat lahiriah
yang sejatinya dimiliki setiap insan. Hadirnya rasa malu dalam diri akan
senantiasa menjadi pembatas kita dalam melakukan suatu perbuatan, karena kita
memiliki rasa malu.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata malu didefinisikan dengan merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya. Pendefisinisian malu dalam KBBI tersebut hemat penulis benar secara parsial, tentu saat melakukan kesalahan atau perbuatan yang tidak benar maka kita harus malu agar senantiasa tidak melakukan perbuatan yang salah atau negatif. Namun, mempunyai cacat ataupun kekurangan tentu tidak boleh menjadi malu karenanya, karena kemuliaan seseorang tidak dilihat dari bentuk fisik atau warna kulitnya, tidakkah kita mengetahui kisah sahabat Abdullah bin Umi Maktum yang buta, tetapi ia begitu mulia disisi Allah swt. oleh karena itu, malu yang penulis maksudkan adalah pada definisi yang pertama yaitu malu karena melakukan perbuatan-perbuatan negatif.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata malu didefinisikan dengan merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya. Pendefisinisian malu dalam KBBI tersebut hemat penulis benar secara parsial, tentu saat melakukan kesalahan atau perbuatan yang tidak benar maka kita harus malu agar senantiasa tidak melakukan perbuatan yang salah atau negatif. Namun, mempunyai cacat ataupun kekurangan tentu tidak boleh menjadi malu karenanya, karena kemuliaan seseorang tidak dilihat dari bentuk fisik atau warna kulitnya, tidakkah kita mengetahui kisah sahabat Abdullah bin Umi Maktum yang buta, tetapi ia begitu mulia disisi Allah swt. oleh karena itu, malu yang penulis maksudkan adalah pada definisi yang pertama yaitu malu karena melakukan perbuatan-perbuatan negatif.
Sifat malu
merupakan sifat yang diajarkan oleh Nabi agar manusia senantiasa memilikinya. Di
dalam hadits kedua puluh pada hadits arba’in an-nawawi dijelaskan:
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ-عقبة بن عمرو اَلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا
لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu
‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat
kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”
(H.R. Bukhari)
Di dalam syarh
arba’in an-nawawi yang ditulis oleh Ibnu Daqiqil ‘ied dijelaskan bahwa makna
dari sabda Nabi Saw “Kalimat kenabian terdahulu” adalah rasa malu merupakan
ajaran dari Nabi terdahulu yang senantiasa dianggap baik dan terpuji, suatu
syariat yang telah disyariatkan sejak nabi terdahulu dan tidak pernah
dihapuskan hingga hari ini. Dengan kata lain, sifat malu ini telah diajarkan
pada seluruh manusia di setiap masa kenabian, agar manusia memiliki sifat malu
yang akan menjadi pembatas dirinya dengan kemaksiatan.
Sabda Nabi “Berbuatlah
sesukamu” menurut Ibnu Daqiqil ‘Ied mengandung dua makna, yaitu; pertama,
merupakan ancaman dan peringatan keras. Artinya, kalimat Nabi tersebut bukan
merupakan kalimat perintah yang harus dilaksanakan, melainkan suatu kalimat
yang mengancam atau kita kenal dalam istilah bahasa sunda dengan nyungkun.
Contohnya seperti ibu yang menasihati anaknya dengan kalimat yang seakan
perintah melainkan ancaman, memerintahkan pergi keluar rumah tetapi
sesungguhnya melarang keluar rumah. Sabda nabi berbuat sesukamu pun
adalah kalimat ancaman atau yang lebih tepatnya kalimat nyungkun dalam
bahasa sunda. Makna yang kedua ialah hendaklah berbuat sesuatu yang engkau
tidak malu melakukannya. Sehingga batasan perbuatan seorang muslim itu terletak
pada pantas atau tidaknya perbuatan itu di hadapan Allah.
Nabi Saw. bersabda:
الحياء
من الإيمان
“Malu itu sebagian dari Iman” (H.R. Bukhari
Malu merupakan sebagian dari iman,
maka seseorang yang beriman seharusnya memiliki rasa malu itu sebagai salah
satu sifat dalam dirinya. Malu dalam sabda Nabi Saw. tersebut bermakna malu
yang menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan negatif, perbuatan-perbuatan yang
akan menjauhkan dirinya dengan Allah Swt, dan mendorong manusia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik. Demikianlah sifat malu yang harus dimiliki oleh
setiap mukmin, agar ia menjadi rem kehidupan. Hakikatnya, rem tidak untuk
memperlambat perjalanan, tetapi menjaga keselamatan dalam perjalanan. Begitu pula
dengan rasa malu, bukan ia membatasi sesuatu yang manusia senangi, melainkan
menjadi pembatas antara manusia dengan perbuatan-perbuatan yang dibenci
oleh-Nya, sehingga dapat selamat menjalani kehidupan di dunia ini.
Ana muslimun qobla kulli syai’in,
aku muslim sebelum segala sesuatu. Suatu kalimat yang harus menjadi Motto hidup
seorang muslim, agar sebelum melakukan sesuatu hal apapun ia menyadari bahwa
dirinya seorang muslim, pantaskah seorang muslim melakukan ini dan itu. Dengan hadirnya
kesadaran sebagai seorang muslim, maka akan hadir pula rasa malu itu, rasa malu
untuk melakukan perbuatan keji dan munkar, rasa malu yang akan menjadi rem
kehidupan dan menyelamatkan kita dari jurang kemaksiatan. Milikilah rasa malu,
tapi tak memalukan. Malulah karena perbuatan kemaksiatan, bukan malu untuk
melakukan kebaikan. Karena malu melakukan kebaikan bukanlah malu yang
disyariatkan nabi, tetapi sungguh memalukan karena malu untuk melakukan
kebaikan, malu yang tak menuntun pada Illahi Rabbi. malu-lah, tapi tak
memalukan.
Wallahua’lam
bishawab.
Setujuu..
BalasHapusSyukron sudah menyempatkan waktu berkunjung... :)
Hapus