Matahari
tepat berada di atas kepala, menyengat panas sampai ke ubun-ubun. Debu jalanan
ikut menari-nari, menyempurnakan siang jadi agak menyebalkan. Air wudhu
membasahi segenap tubuhku, mengikis sedikit kesal dan menumbuhkan syukur dalam
diri. “Masih beruntung aku bisa menyaksikan perbedaan siang dan malam, ada
jutaan orang yang tak bisa membedakan malam dan siang”. Gumamku dalam hati.
Aku langkahkan kaki menuju masjid di
ujung desa. Samar-samar kumandang adzan terdengar, suara khas abah melengking-lengking
mengisi ruang hampa di udara. Ya, suara khas abah. Seorang kakek tua
yang tinggal di dekat masjid. Usianya mungkin sudah diatas setengah abad,
bahkan mungkin lebih. Setiap helai
rambutnya telah memutih. Giginya? Jangan Tanya. Tidak ada yang tersisa sama
sekali. Tapi abah tetaplah abah, lelaki tua yang kuanggap seperti kakek
sendiri. Seorang kakek yang selalu datang paling awal di masjid, mengalahkan
anak-anak muda yang malah bergentayangan di jalan sambil mengepul asap ke
udara.
Hayya ‘alal falaah…. Lengkingan
suaranya semakin keras, hampir selesai menyempurnakan kumandang adzan. Aku
percepat langkah menuju masjid, tak ingin tertinggal takbir pertama shalat
berjama’ah. Abah pun selesai menyempurnakan kumandang adzan, seusai berdo’a ia
berbalik arah lalu tersenyum melihatku telah berdiri di belakangnya. Kami pun
melaksanakan shalat qobliyyah, baru kemudian dzuhur berjama’ah dengan
beberapa warga.
Seusai shalat rawatib, abah
menghampiriku dengan senyum yang menyimpul diwajahnya. Khas sekali. Dulu aku
suka tertawa, karena abah tersenyum tapi tak terlihat giginya. Abah tidak
pernah marah, malah kami semakin dekat. Sudah seperti kakek dan cucunya saja.
Begitu kira-kira kata warga desa. “fa, lagi liburan disini?” tanyanya padaku.
“iya bah, kebetulan kuliah juga sedang libur. Nenek minta ditemani karena tak ada
siapa-siapa di rumah. Padahal kenapa tidak abah saja yang menjaganya” jawabku
sambil sedikit menggodanya. Ia tertawa mendengar jawabanku. “memangnya kamu mau
sekali ya punya kakek seperti abah?” jawabnya sambil seperti menyombongkan
diri. “tergantung, nenek mau tidak sama abah. Nenek mau nya sama Sam Bimbo bah”
jawabku sambil tertawa.
Siang cukup terik, sangat terik
malah. Jadi aku putuskan untuk beristirahat sejenak di dalam masjid sambil
mengobrol ringan dengan abah. Yahhh, lagipula aku ke desa ini terhitung hanya
beberapa kali dalam setaun. Maklum, rumah nenek cukup jauh dari rumah
orangtuaku. Namun, di tempat ini selalu indah, hijau dengan persawahan dan
pegunungan. Belum lagi mata air yang masih bersih di kaki gunung, aku selalu
senang berjalan-jalan kesana.
“bagaimana kuliahmu fa? Lancar?”
Tanya abah padaku. “Alhamdulillah lancar bah, walaupun tidak selancar jalan tol
bah. Ada aja macet-macetnya, persis sama kaya jalanan ibu kota..” jawabku
sambil tertawa kecil. “do’akan saja supaya lancar ya bah, biar cepet lulus.
Do’a abah kan manjur, udah sama dengan do’a para kyai” tambahku sambil
tersenyum lebar. “Kamu ini, sejak kapan do’a kyai manjur. Do’a siapapun manjur.
Bukan tentang siapa yang berdo’a, tapi siapa yang mendengar. Gimana sih, sudah
jadi mahasiswa juga” jawabnya sambil meledekku. “setidaknya jika abah berdo’a,
ada dua orang yang mendo’akan yasfa, yasfa dan abah. Jadi lebih manjur toh”
jawabku tak mau kalah.
Tak terasa, waktu berjalan begitu
cepat. Langit agak sedikit gelap. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Aku
dan abah pun keluar masjid. Berjalan pulang menuju rumah. Dari kejauhan kutatap
ada seorang akhwat. Jilbabnya terjulur panjang sambil membawa buku. Ia
tiba-tiba tersenyum, indah sekali. Aku sontak ikut tersenyum. “assalamu’alaikum
bah, permisi” ucapnya. “wa’alaikumussalam. Iya silahkan” jawab abah sambil
tersenyum. Aku tersipu malu, kukira senyumnya untukku, hatiku berdebar ada yang
tersenyum, tapi ternyata bukan untukku. “kenapa kamu?” Tanya abah seakan bisa
membaca raut wajahku. “eh, tidak apa-apa bah” jawabku sambil berusaha menguasai
diri. “suka ya?” tanyanya menggodaku. “abah ini, kenal saja tidak, bagaimana bisa
suka bah” jawabku berusaha menepis keraguannya.
Aku berjalan menyusuri persawahan.
Sesekali menyapa para petani yang sedang sibuk musim panen. Abah juga seorang
petani, sama sibuknya dengan yang lain. Tapi, 20 menit sebelum waktu shalat
abah selalu berhenti lalu pergi ke masjid. Itulah yang selalu membuatku
terkagum-kagum pada sosok abah. Sosok kakek yang mengajariku dengan teladan
bukan ucapan-ucapan kosong.
Sepanjang perjalanan, masih ada saja
Tanya dalam benakku, ada apa dengan hati ini, kenapa berdesir menatap
senyumnya. “bodoh, kenapa aku lupa bertanya namanya yah pada abah” gerutuku
dalam hati. Aku berjalan dengan pikiran entah kemana. Tiba-tiba… Pyarrr! Kakiku
terpeleset di petakan sawah. Lumpur memenuhi wajah, kaki, tangan, dan seluruh
pakaianku. “astagfirrulloh” teriakku. Sontak beberapa petani membantuku bangun.
“kenapa de?” Tanya seorang ibu. “tidak apa-apa bu, tadi jalannya licin bu”
jawabku sambil berusaha bangun. “lain kali hati-hati de, jangan sambil melamun
jalannya” ucap salah seorang ibu, seakan ia bisa membaca diriku yang memang sedang
melamun. “iya bu, insyaAllah lebih hati-hati lagi” jawabku singkat, sambil
menahan malu.
“kenapa kamu fa? Baju kamu kok kotor
begitu?” Tanya nenek sesampainya aku di rumah. Aku tersenyum saja, lalu kujawab
“tadi habis perang sama penjajah nek”. Nenekku langsung tertawa mendengar
jawabanku. Maklum saja, nenek selalu bercerita tentang almarhum kakek yang
pejuang veteran. Terkadang harus merangkak di tengah sawah saat berperang.
Cerita-cerita nenek selalu melekat di dalam ingatanku. Bagaimana tidak ingat,
setiap malam sebelum tidur selalu itu yang nenek ceritakan. Ah iya, aku selalu
tersenyum jika ingat masa lalu. Langsung saja aku pergi mandi, membersihkan
sisa-sisa perang dengan sawah.
Berminggu-minggu berlalu….
Meski sudah beberapa minggu,
pertemuan tak sengaja itu masih melakat dalam fikiran. Kadang aku ingin
bertanya pada abah, tapi tak berani. Lidahku selalu kelu, gerakku membeku dalam
gugup. Tapi… hari ini aku paksakan diri bertanya, minimal hatiku lebih tenang
dan tak ada lagi Tanya yang perlu ku jawab. “bah, wanita tempo hari yang
menyapa abah itu siapa?” tanyaku sambil gemetar. “yang mana? Di desa ini banyak
sekali wanita.. nenek kamu pun juga wanita fa” jawabnya sambil terkekeh. “itu
loh bah, yang tempo hari berpapasan dengan kita sambil bawa buku” jelasku
menahan penasaraan. “oh, itu Aisyah. Putrinya Kepala desa. Ada apa memang?”
Tanya abah agak heran dengan pertanyaanku. “tidak apa-apa bah, ingin Tanya
saja. Memangnya tidak boleh” jawabku berusaha menutupi rasa heran abah.
Langit kembali mendung. Entah
mungkin langit sedang murung, gelap sekali. Aku mampir sejenak ke warung bu
halimah, kebetulan nenek menitip barang untuk dijual di warungnya. “ibu, ini
titipan dari nenek bu. Kue kering dan basah jumlahnya 50 buah” jelasku pada bu
halimah. “oh iya, terimakasih nak yasfa. Sini duduk dulu, ibu siapkan segelas
susu jahe hangat” ucap bu halimah sambil tersenyum. “wah terimakasih bu, yasfa
jadi merepotkan”. “jarang-jarang ko, nak yasfa juga kan jarang ke desa ini.
Kali-kali ngopi di warung ibu, ya walaupun minumnya susu jahe bukan kopi” ucap
bu halimah sambil tersenyum.
Aku duduk di ujung bangku, sambil
menunggu susu jahe buatan bu halimah. Rintik-rintik hujan mulai membasahi
genting sedikit demi sedikit. Lama-lama hujan turun semakin deras. Jatuh ke
bumi, membentuk harmoni indah di siang hari. Tiba-tiba dari sudut yang lain
seseorang datang. “Assalamu’alaikum bu halimah” ucapnya sambil menutup payung
miliknya. “Wa’alaikumussalam. Eh, ada nak Aisyah” jawab bu halimah. “iya bu,
Aisyah ikut berteduh disini ya bu”. “iya, silahkan saja. Tak perlu sungkan
disini” jawab bu Halimah sambil tersenyum.
“Nih, susu jahe buat nak Yasfa sama
nak Aisyah. Oiya, Aisyah kenalkan ini yasfa” jelas bu halimah. Aku mendadak
gugup. Ada apa dengan hari ini. Ada konspirasi apa antara alam dan bu halimah.
Aku terdiam, tergugup-gugup. “Saya Yasfa, Muhammad Yasfa” ucapku singkat
menutupi rasa gugup. “Saya Aisyah Humaira Qalbi, salam kenal” jawabnya sambil
tersenyum. Aku hanya termenung, sesekali mencuri tatap. Kerudungnya menjulur
panjang mempesona. Kaos kaki dan manset membalutnya rapih. Auratnya terjaga
dengan sangat baik.
“Ngobrol kek, kok malah saling diam”
Ucap Bu Halimah seperti menggodaku yang terlihat gugup. “Eh iya bu, iya”
jawabku sambil menahan gemetar. “Aisyah masih sekolah?” pertanyaan yang mampu
terlontar dari lidahku yang membeku. “Iya kak, Aisyah masih sekolah di Madrasah
Aliyah di ujung desa sana. Kak yasfa sendiri sibuk apa?” Tanya nya sambil
tersenyum. Aku tak mampu menatapnya, aku hanya berani menunduk. “Saya kuliah.
Kebetulan sedang libur, jadi saya tinggal di rumah nenek. Nenek sari. Rumahnya
di ujung jalan sana” jawabku. “oh nenek sari. Aisyah kadang sering berkunjung
ke rumah nenek sari. Tapi belum pernah bertemu dengan kak Yasfa” ucap Aisyah.
“Saya tinggal bersama orangtua di kota sebelah. Saya kesini jika sedang libur.
Makanya, Aisyah tidak pernah bertemu saya di Rumah Nenek Sari” jelasku sambil
tergagap. Entahlah, wajahku sebodoh apa hari ini.
“Oh iya-iya, Aisyah juga tinggal di
asrama sekolah, jadi jarang keluar” jelas Aisyah padaku. Kami mengobrol tentang
banyak hal. Kini aku tahu, wawasannya begitu luas. Bahkan mungkin lebih luas
daripada aku sendiri. Kami saling mengobrol menanti hujan mereda. Kami
mengobrol dengan sama-sama saling tertunduk. Sesekali aku mencuri tatap.
Penasaran dengan lawan bicaraku. Entah ada apa dengan langit hari ini, Ia
menangis begitu lama. Seakan membiarkan aku mengenal Aisyah lebih jauh.
“Aisyah, Bu halimah, Yasfa pulang
duluan yah. Hujannya sudah tidak terlalu deras. Kasihan nenek di rumah tidak
ada yang bantu. Yasfa pamit, assalamu’alaikum warahmatullah” jelasku
pada Aisyah dan Bu Halimah. Sebenarnya bukan hanya membantu nenek. Tapi rasa
gugupku semakin menjadi tatkala dekat dengan wanita. Apalagi wanita yang baru
kukenal. Daripada tingkahku semakin tak karuan, kuputuskan untuk membelah hujan
saja, daripada fikiranku yang terbelah tak karuan. “Wah padahal masih hujan nak
Yasfa, tenang saja dulu disini. tapi jika nak Yasfa tetap ingin pulang, yasudah
hati-hati. Wa’alaikumussalam warahmatullah” jawab Bu Halimah. Aisyah pun
tersenyum sambil menjawab salamku. Aku berbalik, berlari kecil menembus hujan.
“Oh Allah, terimakasih atas rahmat
hujanmu. Hari ini, hujan yang indah sekali. Karena pelangi datang bersamanya.”
Gumamku mengucap syukur pada Illahi Rabbi.
Genap dua bulan aku tinggal di rumah
nenek.
“Nek, Yasfa pulang yah. Nenek jaga
kesehatan. Jangan lupa kabar-kabari Yasfa yah”. “Iya, kamu jika sudah sampai di
rumah jangan lupa kabari nenek. Salam untuk kedua orangtuamu, suruh mereka
berkunjung kesini. Jangan sibuk terus dengan urusan kantor. Nanti menua bersama
kertas-kertas penuh angka dan huruf” jawab nenek sambil tertawa ringan. “iya
nek, nanti Yasfa katakan pada Ayah dan Ibu. Jika nenek sudah sangat rindu
dengan anaknya yang sibuk dengan kertas-kertas. Rindu ingin melihat anaknya
yang sudah ikut menua” jawabku sambil tersenyum. Sore hari, tepat saat adzan
ashar berkumandang aku pergi pamit dengan motorku. Pulang kembali ke kota. “oh
iya nek. Salam untuk Abah yah nek. Maaf Yasfa tidak bisa pamit langsung.
Sampaikan yah nek. Hati-hati jangan jatuh hati sama Abah, nenek kan mau nya
sama Sam Bimbo” ucapku sambil menggoda nenek. “dasar kamu, ada-ada aja. Nanti
nenek sampaikan”.
Aku pun pergi, beberapa menit
kemudian wajah nenek sudah tak terlihat. Karena aku hendak safar, aku menjama’
qashar dzuhur dan ashar, sehingga aku tak sempat ke masjid dahulu untuk pamitan
pada Abah. Motorku terus melaju membelah jalanan. Melewati persawahan di kanan
kiri. Hijau, hijau sekali. Ah iya, aku selalu jatuh cinta pada pemandangan ini.
Pemandangan hijau alam nan permai. Subhanallah, indah sekali ciptaan Allah.
Empat jam perjalanan, akhirnya aku
sampai di rumah.
“Assalamu’alaikum” salamku sambil
masuk kedalam rumah lalu mencium tangan ibu. “wa’alaikumussalam, Alhamdulillah
sampai juga anak ibu. Bagaimana kabar nenek?” jawab ibuku. “jangan Tanya bu,
nenek itu usianya saja setengah abad. Fisiknya sih masih sekuat ibu. Masih kuat
ke kebun, jalan-jalan keliling desa. Wah kalah deh orang-orang kota ini mah”
jawabku pada ibu sambil tertawa. “kamu ini ada-ada aja. Alhadmulillah, syukur
jika nenek sehat. Ibu sudah lama tak berkunjung ke kota nenek” jawab ibu.
“tinggal main saja kesana bu. Kata nenek, nenek kangen ingin ketemu sama anak
dan menantunya. Jangan sibuk terus di kantor. Nanti tua di kantor loh” jelasku
pada ibu. “Duh, iya-iya. insyaAllah ibu nanti main kesana. Ibu juga kangen
suasana disana. Ibu kangen sama petakan sawah tempat ibu bermain dulu”. “ayo
bu, nanti Yasfa yang antar kesana. Ibu mah tinggal duduk manis saja di atas
motor” ucapku pada ibu.
Beberapa hari sepulang dari rumah
nenek, aku ingat sempat bertukar email dengan Aisyah. Kebetulan hobi kami sama.
Senang membaca dan menulis, mungkin kita bisa bertukar fikiran dan gagasan
tentang bacaan dan tulisan kami. Aku cek buku catatan, mencari email Aisyah.
Aku pun mengirim salah satu e-book tentang Pendidikan Moral karya salah
seorang cendikiawan muslim yang ku kagumi. Kebetulah, Aisyah memang sedang
membuat karya tulis tentang Pendidikan Moral dan Adab sebagai salah satu tugas
sekolahnya.
Bismillahirrahmanirrahiim.
Aisyah, apa kabar? Maaf jika mengganggu waktunya. Tempo hari,
Aisyah pernah berbicara sedang menulis karya tulis tentang pendidikan moral
ya?. Kebetulan kakak punya salah satu e-book tentang pendidikan moral, karya
seorang cendikiawan muslim yang kakak kagumi. Barangkali bermanfaat, kakak
kirim e-book ini untuk Aisyah. Semoga bermanfaat untuk karya tulisnya.
Pesan yang singkat. Entahlah,
apalagi yang hendak aku bicarakan. Aku hanya ingin membantu. Jika bisa
bermanfaat kenapa tidak bukan. Kukirim pesan singkat itu bersama attach file
e-book yang kurasa cocok dengan karya tulisnya.
Beberapa hari kemudian, ada pesan
masuk ke dalam emailku. Aku membukanya, ternyata ada balasan dari Aisyah.
Bismillahirrahmanirrahiim.
Alhamdulillah Aisyah sehat kak. Semoga kak Yasfa juga sehat disana.
Kata nenek Sari kak Yasfa sudah pulang ke rumah yah. Jazakamullahu Khairan
Katsira atas kiriman e-booknya kak. insyaAllah sangat bermanfaat untuk karya tulis
Aisyah. Mohon do’anya semoga karya tulis Aisyah bisa segera rampung dan
hasilnya bermanfaat untuk umat. Salam untuk keluarga kak Yasfa.
Pesannya singkat sekali. Sama
singkatnya dengan pesan yang kukirim. Tapi entah kenapa aku begitu bahagia
membaca email darinya. Entah ada apa sebenarnya dengan hatiku.
Setelah itu, aku dan Aisyah sering
saling mengirim email. Tidak sering sebenarnya. Setiap Aisyah pulang dari
asrama sekolahnya saja. Mungkin dua bulan sekali atau tiga bulan sekali.
Berdiskusi atau sekedar bertukar tulisan untuk saling mengkoreksi. Wawasannya
yang luas membuat obrolan kami lebih menyenangkan. Karena kadang banyak ilmu
baru yang kudapat darinya. Aku tidak pernah memandang usia dalam belajar.
Bagiku, ilmu bisa datang dari siapa saja, termasuk yang lebih muda sekalipun.
Mungkin aku memang mengagumi Aisyah
sejak awal bertemu. Aku senang melihat jilbabnya yang selalu terjulur panjang,
manset dan kaos kakinya yang sempurna menutupi auratnya. Aku seperti memandang
Aisyah binti Abu Bakar. Seorang wanita shalihah yang cerdas dan berakhlaq baik.
Apa aku jatuh hati? Entahlah.
Semakin hari, semakin aku menyadari
ada yang aneh dengan hatiku. Ada sesuatu yang mengusik dalam hati. Ada suatu
Tanya yang tak bisa kutemukan jawabannya. Aku tidak pernah dekat dengan wanita
mana pun, namun saat bertemu Aisyah, ada perasaan yang tak kumengerti
bermekaran di dalam hati. “Oh Rabb, apa yang harus hamba lakukan?” gumamku
dalam hati.
Suatu hari, selepas shalat jum’at.
Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya mengajakku berbincang. Entah kenapa tema
perbincangannya tentang istri. Kebetulan lelaki itu memang sudah menikah,
memiliki dua istri dan empat belas anak. Masya Allah. “Nak, jika kita mencintai
seseorang. Ungkapkanlah, karena tak akan pernah kita tahu ia punya perasaan
yang sama atau tidak dengan kita jika tak pernah diungkapkan. Urusan diterima
atau ditolaknya perasaanmu, serahkan saja pada sang pembolak-balik hati. Dengan
diungkapkan, setidaknya hatimu akan lebih bijak dan ringan dalam melangkah”
ucapnya menasihatiku. Entah kenapa aku dinasihati seperti ini, aku tak
mengerti. Ia sebelumnya bercerita pertemuan dengan kedua istrinya. Ia bercerita
bagaimana melamar keduanya. “saya tidak takut lamaran saya ditolak, tapi
seorang lelaki saat jatuh cinta pasti akan datang menemui kedua orangtuanya”
jelas lelaki itu. Aku hanya diam mendengarkan, mencoba mencerna kata demi kata
yang diungkapkan.
“Syukron nasihatnya bapak, semoga
bisa saya amalkan nasihatnya” jawabku singkat. Karena setelah ini aku harus ke
kampus, aku pamit pada lelaki itu. Selepas mengucapkan salam, motorku melaju
menuju kampus, dengan satu Tanya dalam benakku, “kenapa ada nasihat seperti itu
kepadaku?”.
Istikharahlah, mohonlah petunjuk
pada Allah swt. melangkahlah bersama Allah, sertakan ia dalam segala pilihan,
agar yang engkau pilih sekekal alasannya, Illahi Rabbi. Serahkan urusan hatimu
pada Allah, biar Ia yang membimbing jalanmu menjadi jalan yang diridhaiNya.
Aku putuskan untuk beristikharah
pada Allah. Aku takut, fitrah tumbuh menjadi fitnah. Menjauhkanku dari Rabb
semesta alam, bukan malah mendekatkan kepada-Nya. Di setiap sujud, aku memohon
petunjuk. Aku memohon agar dibimbing di jalan yang diridhoi oleh-Nya.
Suatu hari, Allah mantapkan hati ini
untuk memutuskan. “aku akan mengungkapkannya, aku tak mau hati ini berat
melangkah, tak bijak dalam memilih. Aku serahkan pada Allah apapun jawabannya.
Karena jawaban Allah adalah yang terbaik bagi manusia. Ialah sebaik-baik
perencana” tegasku dalam hati. Aku tahu, aku selalu gugup di hadapan wanita,
aku sadar diri. Aku putuskan untuk mengirim surat pada Aisyah. Tapi kali ini,
aku tak akan memilih email, akan terlalu cepat sampainya. Aku butuh waktu
menata hati untuk setiap kemungkinan. Aku lebih memilih pak pos, selain ada
waktu beberapa hari untuk menata hati. Aku pun lebih nyaman jika surat itu
tulisan tanganku sendiri.
Untuk:
Aisyah Humaira Qalbi
Bismillahirrahmanirrahiim.
Mohon maaf sebelumnya, jika kakak
mengganggu dengan surat yang kakak kirim sekarang. Namun, kakak harus
menyampaikan ini pada Aisyah, meski kakak tidak tahu harus memulai dari mana.
Aisyah, pertemuan kita memang begitu singkat. Tapi siapa yang tahu, benih itu
tumbuh bermekaran dengan cepat tanpa bisa terbendung. Senyum Aisyah saat
pertama berjumpa membuat sesuatu dalam hati ini berdesir, entah kenapa.
Tapi.. bukan senyum itu yang
sejatinya menyirami benih di hati untuk tumbuh. Cara Aisyah menutup Aurat
sejatinya bagai air yang menyirami benih perasaan ini. Bagi kakak, cara seorang
wanita menutup auratnya adalah cerminan pribadi dan akhlaqnya. Jika auratnya
saja dijaga, lantas bagaimana dengan akhlaqnya bukan?. Kakak ingat pada sabda
Nabi, untuk memilih seorang wanita karena empat hal, yaitu; harta, nasab,
kecantikan dan ad-diin. Jika engkau ingin selamat kedua tanganmu, maka pilihlah
seorang wanita karena diin-nya. Begitu kurang lebih sabda Rasulullah saw.
Aisyah, kakak bukan seorang pujangga
yang mampu merangkai kata demi kata menjadi paragraf-paragraf indah. Entah
bagaimana menjelaskan perasaan yang dirasa pada Aisyah. Ini kali pertama Kakak
merasakan perasaan seperti ini pada seorang wanita. Sekaligus ini kali pertama
kakak menyampaikan perasaan pada seorang wanita. Kakak sadar diri, pemuda yang
tak sebaik Muhammad Saw. namun berani memiliki perasaan pada sosok wanita
sebaik, secerdas, dan seshalihah Aisyah r.a. kakak sadar diri.
Aisyah, kakak tidak menuntut Aisyah
memiliki perasaan yang sama. Apapun jawaban Aisyah adalah yang terbaik. Takdir
Allah adalah ketetapan terindah bagi setiap insan. Jika Aisyah memiliki
perasaan yang sama, maka kakak akan mendatangi kedua orangtua Aisyah untuk
memohon nasihat dan bimbingan atas perasaan yang terasa. Namun jika jawaban
Aisyah tidak, tak masalah. Yang terpenting adalah jangan sampai silaturahmi
kita terputus hanya karena Aisyah tidak memiliki perasaan yang sama.
Kakak hanya selalu berdo’a kepada
Allah. “Ya Allah, bimbinglah jalan cinta ini menjadi jalan cinta yang Engkau
Ridhoi.”. karena Allah kakak jatuh hati, maka kakak akan berusaha menempuh
jalan cinta para pencinta Allah. Agar semoga langkah yang Kakak tempuh menjadi
langkah yang diridhoi-Nya dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Semoga Allah
Ridho, apapun jawaban Aisyah adalah yang terbaik.
Wassalamu’alaikum
warahmatullah.
Muhammad
Yasfa
Hatiku bergetar menuliskannya.
Semoga Allah terus membimbing hati ini agar tetap di jalan-Nya. Aku percayakan
surat ini pada pak pos.
Selepas hari itu, aku menjalani
aktifitas seperti biasa. Menyibukkan diri agar tidak sering berfikir tentang
surat itu. Aku tak memaksa Aisyah untuk segera membalas isi surat itu. Biarkan
saja ia berfikir, istikharah, agar hatinya benar-benar menentukan pilihan atas
dasar Illahi Rabbi. Aku tak terburu-buru. Aku menulis surat itu berarti telah
siap dengan segala jawabannya. Seperti nasihat abah setiap kami berjumpa “jika
memang Allah telah tetapkan sebagai takdir, maka itu yang terbaik. Tugas
manusia hanya berikhtiar dan berdo’a, sisanya tawakkal, serahkan pada Allah.
Hal apapun, urusan apapun. Selalu yakini ketetapan Allah adalah yang terbaik”.
Nasihat singkat abah, agar aku senantiasa benar-benar bertawakkal dalam hal
apapun, selepas ikhtiar dan do’a.
Dua minggu kemudian…
“Ada mas Yasfa? Ini surat untuk mas
Yasfa” ucap pak pos pada ibu. “yasfaaaa, ini ada surat buat kamu” teriak ibu
memanggilku. Kuambil surat itu. “Aisyah Humaira Qalbi” tertera nama itu di
punggung surat. Hatiku bergetar. “apa jawaban Aisyah?” tanyaku dalam hati. Aku
tidak bergegas membacanya. Aku shalat dhuha terlebih dahulu, menata hati,
bersiap dengan apapun yang tertulis dalam surat.
Pelan-pelan aku membuka surat itu…
Untuk:
Kak Muhammad Yasfa
Bismillahirrahmanirrahim
Mohon maaf sebelumnya, jika Aisyah
baru membalas surat kak Yasfa. Aisyah tidak pernah menyangka mendengar cerita
kak Yasfa. Aisyah tidak pandai merangkai kata, entah bagaimana Aisyah harus
menjawab perasaan kak Yasfa. Aisyah sedang dalam proses belajar menjadi wanita
shalihah, salah satunya seperti yang kak Yasfa ceritakan, Aisyah berusaha
menutup aurat dengan baik sesuai perintah Allah Swt. terimakasih, karena pemuda
sebaik kak Yasfa memiliki perasaan yang luarbiasa pada wanita biasa seperti
Aisyah, yang mungkin kak Yasfa bisa menemukan wanita yang lebih baik
dibandingkan dengan Aisyah.
Karena Allah, kak Yasfa memiliki
perasaan pada Aisyah. Karena-Nya, kak Yasfa tempuh jalan cinta para pencinta
Allah. Karena Allah, Kak Yasfa menjaga hati dan perasaan kak Yasfa untuk
Aisyah. Semoga Allah ridha atas perasaan kak Yasfa. Niat baik kak Yasfa, semoga
berbuah baik pula, melahirkan ketaatan dan ketakwaan pada Allah ta’ala. Jika
Allah menghendaki, akan ada saatnya Kak Yasfa tau perasaan Aisyah, insyaa
Allah.
Teruntuk Kak Yasfa yang telah siap
dengan jawaban apapun dari ‘Aisyah. Jawaban Aisyah adalah “iya”. Aisyah telah
beristikharah dan memohon nasihat dari banyak orang, semoga apa yang Aisyah
putuskan adalah yang terbaik. Sesuai dengan niat awal kak Yasfa, ibu dan ayah
mengizinkan Kak Yasfa untuk datang ke rumah, memohon nasihat dan bimbingan dari
keduanya. Semoga Allah tetapkan fitrah tetap fitrah, dan tak berubah menjadi
fitnah. Semoga dengan jawaban ini, hati kak Yasfa lebih ringan dan bijak dalam
melangkah.
Wassalamu’alaikum
warahmatullah.
Aisyah
Humaira Qalbi
Aku
bulak-balik surat itu. Kubaca berulang-ulang. Barangkali aku salah baca atau
salah menyimpulkan. Atau aku sedang bermimpi. Atau ini salah kirim. Aku
bersujud syukur. Semoga Engkau tetapkan hati hamba dalam fitrah, jalan yang
ditempuh menjadi jalan yang Engkau Ridhai.
Seminggu kemudian, aku putuskan
untuk bertemu kedua orangtuanya.
Kali ini, aku tak hanya berkunjung
ke rumah nenek. “bu, Yasfa hendak menemui orangtua seorang wanita. Kemarin
yasfa kirim surat tentang perasaan Yasfa. Besok yasfa InsyaAllah akan bertemu
kedua orangtuanya” jelasku pada ibu. Ibuku tersenyum-senyum “ibu kira kamu
bohong yasfa kemarin-kemarin. Ternyata bener toh… kamu baru sekali cerita soal
wanita, sekarang langsung ke rumah?” Tanya ibu sambil tertawa melihatku kikuk.
“Iya bu, yasfa tidak mau seperti anak muda lain yang mengumbar janji, gombal,
apalah itu. Lebih nyaman bagi Yasfa untuk bertemu langsung kedua orangtuanya.
Setidaknya hati ini lebih terjaga.” Jelasku agak serius, meski tetap saja
gugup. “iya deh iya, serius amat” goda ibu kepadaku. “niat kamu silaturahim
kesana, minta nasihat yang baik.” Lanjut ibu sambil tersenyum. “iya bu, do’ain
yasfa semoga lancar ya bu” jawabku sambil tersenyum.
Keesokan pagi, aku berkemas. Bersiap
fisik dan hati. “bu, yasfa berangkat. Do’ain ya bu”. “iya ibu do’ain yang
terbaik, semoga lancar” jawab ibu. Aku berangkat menembus mentari. Membelah
jalanan. Aku hanya tahu alamat rumahnya, tapi tidak tau dimana rumahnya. Tidak
mungkin aku minta antar abah, nanti aku ditertawakan. Biarlah, aku punya mulut
untuk bertanya bukan.
Aku kembali ke kota ini, menikmati
persawahan di kanan-kiri jalan. Subhanallah, aku selalu jatuh cinta pada
pemandangan alam ini. Aku suka hijau. Aku suka lika-liku jalanan yang penuh
dengan persawahan dan pepohonan hijau. Tak terasa, akhirnya aku sampai. Aku
tidak langsung mencari rumahnya, kuputuskan untuk istirahat sejenak di sebuah
masjid. Shalat dhuha dan meredakan gugup yang semakin menjadi-jadi. Entahlah,
ini kali pertama aku merasa gugup sekali. Aku berdo’a semoga Allah melancarkan
segala niat baik.
Aku berputar-putar mencari rumahnya.
Bertanya kesana kemari sudah seperti turis. Lima belas menit kemudian akhirnya
kutemukan, untung nenek sering menjelaskan jalan-jalan di daerah sini. Aku
hanya tahu jalan dari rumah nenek ke masjid, sawah, dan mata air. Jadi maklum
saja aku butuh waktu mencari rumahnya.
“assalamu’alaikum..” ucapku pada
Aisyah yang menunggu di depan rumah. Sambil menahan gugup, kupaksakan mengucap
salam. “wa’alaikumussalam” jawabnya sambil tersenyum. “silahkan masuk kak, ayah
dan ibu sudah di dalam”. Aku gemetar memasuki rumahnya. Otakku membeku, lidahku
kelu tak bisa berucap selain salam. Aku menyalami ayahnya. Lalu duduk berdua
dengan ayahnya. Tiba-tiba waktu berjalan begitu lambat. Otakku membeku mencari
obrolan.
Aku mencari obrolan. Tentang
pekerjaan ayahnya, pertemuan beliau dengan istrinya. Aku berputar-putar mencari
obrolan. Baru kali ini otakku sangat beku, lidahku kelu tak bisa berucap
banyak. “Bapak, niat yasfa kesini untuk silaturahim dengan bapak dan ibu. Yasfa
hendak memohon nasihat tentang perasaan yasfa dengan putri ibu dan bapak. Agar
semoga perasaan ini tetap fitrah” jelasku menahan gemetar, memaksa lidah untuk
mampu berucap meski terbata-bata. “Bapak hargai niat nak yasfa datang kesini,
semoga Allah senantiasa meridhoi langkah kita” jelas ayahnya. Kami pun
mengobrol panjang lebar. Sebenarnya entah mengobrol atau bukan, karena aku
lebih banyak mendengar daripada berbicara. Aku mendengarkan dengan seksama
nasihat dari ayah dan ibunya.
Hampir tiga jam berlalu. Begitu
banyak nasihat terlontar dari keduanya. Aku hanya mendengarkan. Begitu pula
Aisyah yang duduk di ruang sebelah, tak ikut langsung mengobrol dengan kami.
Tapi memang itu lebih baik, jika ada Aisyah mungkin gugupku akan semakin
menjadi-jadi. “Ibu tidak akan melarang perasaan nak Yasfa, itu urusan hati,
tidak ada yang bisa melarangnya. Nasihat ibu untuk saat ini, kalian berdua
belajar dan persiapkan perbekalan yang sebaik-baiknya. Tidak perlu saling
mengikat dengan ikatan mareri atau apapun itu. Cukup dengan saling percaya dan
berdo’a.” jelas ibunya kepadaku. Aku memahami nasihat dari keduanya, sama
persis dengan niatku datang kesini.
“Yasfa datang memang bukan untuk
mengikat siapapun dengan ikatan apapun. Yasfa datang kesini untuk
bersilaturahim dan mengenalkan diri. Juga memohon nasihat dan bimbingan dari
bapak dan ibu. Yasfa tidak ingin terjebak pada fitnah. Mengumbar-ngumbar
perasaan dan mengobral janji-janji. Terimakasih nasihatnya, semoga Allah ridhai
setiap langkah yang ditempuh” jelasku pada kedua orangtuanya. Waktu berjalan
cepat kembali. Sisa waktu itu kupergunakan mendengarkan nasihat-nasihat dari
keduanya, juga cerita-cerita tentang masa kecil Aisyah. Aku tersenyum saja,
mendengar cerita-cerita masa kecil Aisyah. Wanita yang kukagumi dalam diam.
Hari semakin sore. Senja telah siap
terbit di ufuk barat. Aku pamit, hendak kembali pulang ke rumah. Aku tidak
berkunjung ke rumah abah atau nenek. Karena pasti akan larut malam jika
berkunjung dahulu. “Ibu, Bapak, Yasfa Pamit pulang. Mohon do’anya selalu, agar
jalan yang ditempuh menjadi jalan yang diridhai-Nya. Yasfa serahkan penjagaan
Aisyah pada Allah swt. assalamu’alaikum” ucapku pada kedua orangtuanya, usai mencium
tangan ayahnya, aku pergi. “iya insyaAllah, ibu do’akan yang terbaik.
Wa’alaikumussalam” jawab ibunya sambil tersenyum.
Aku bergegas pulang ke rumah. Sesuai
permintaan ibu. Jangan pulang terlalu sore. Aku tersenyum dan melanjutkan
perjalanan pulang. Semoga apa yang ditempuh, adalah apa yang Allah ridhai.
Beberapa jam perjalanan pun terasa
singkat. Gugupku telah mereda. Aku tersenyum-senyum dengan kejadian hari ini.
Aku yang belum pernah merasakan jatuh hati. Belum pernah bicara perasaan pada
seorang wanita. Hari ini aku ditakdirkan bertemu langsung kedua orangtua
wanita. “Oh Allah, sungguh tidak ada yang bisa menebak takdirmu” gumamku dalam
hati.
Sesampainya di rumah. Ku kirim email
pada Aisyah.
Bismillahirrahmanirrahiim.
Aisyah, terimakasih, Jazakumullahu
khairan katsira kakak telah diberi kesempatan untuk dapat bersilaturahim dengan
kedua orangtua Aisyah. Nasihat orangtua Aisyah, orangtua Kakak, semuanya sama,
semoga yang terbaik untuk kita. Kakak serahkan penjagaan hati Aisyah pada
Allah, karena sebaik-baik penjagaan adalah penjagaan Allah Swt. kakak tidak
akan sibuk berfikir bagaimana menjaga hati Aisyah, biarkan Allah ta’ala yang
menjaganya.
Maaf, maaf karena kakak terlalu
gugup untuk lebih banyak berbicara di hadapan orangtua Aisyah. Lidah kakak
seakan beku, sulit sekali untuk bergerak. Tapi tak mengapa, ini jadi pengalaman
berharga bagi kakak. Pengalaman indah yang terukir dalam buku catatan kakak. Semoga
Allah takdirkan dapat bersilaturahim kembali.
Aisyah, entah mengapa kakak jadi
teringat kisah Ali dan Fatimah, meski mungkin kakak sendiri tidak sebaik Ali
r.a. namun, dengan bertemu langsung kedua orangtua Aisyah, Kakak bisa mendengar
langsung nasihat dari keduanya. Semoga Allah tetapkan jalan yang ditempuh
sebagai jalan yang diridhai-Nya, setiap langkah menjadi langkah yang senantiasa
mendekatkan diri pada-Nya.
Kakak serahkan segalanya pada Allah,
penjagaan Aisyah dan segalanya. Biar kita bersabar dalam penantian, bersabar
dalam ketaatan, sambil terus memperbaiki diri satu sama lain. Kakak tidak perlu
mengikat Aisyah dengan apapun, seperti kuda yang diikat dengan tali kekang.
Kakak percaya pada Aisyah, biar kita saling percaya satu sama lain. Saling mendo’akan.
Jika memang kita berjodoh, akan ada seribu
satu cara Allah menguntai tali pertemuan antara kakak dan Aisyah. Semoga Allah
senantiasa mengabulkan mimpi-mimpi Aisyah dan juga Kakak. Biar hari ini, kita
sama-sama terjaga dalam do’a.
Wa’alaikumussalam
warahmatullah.
Muhammad
Yasfa.
Ku kirim
pesan itu lewat email. Aku sadar terlalu gugup untuk banyak berbicara. Semoga itu
membantu menyampaikan pesan yang tak terucap oleh lisan. Aku serahkan penjagaan
Aisyah pada Allah swt. karena penjagaan-Nya adalah sebaik-baik penjagaan. Biar kita
saling percaya, dan terjaga dalam do’a. hingga jika Allah menakdirkan,
dua perasaan menyimpul jadi satu.
0 komentar:
Posting Komentar