Selasa, 12 Juli 2016

Terjaga Dalam Do'a


       Matahari tepat berada di atas kepala, menyengat panas sampai ke ubun-ubun. Debu jalanan ikut menari-nari, menyempurnakan siang jadi agak menyebalkan. Air wudhu membasahi segenap tubuhku, mengikis sedikit kesal dan menumbuhkan syukur dalam diri. “Masih beruntung aku bisa menyaksikan perbedaan siang dan malam, ada jutaan orang yang tak bisa membedakan malam dan siang”. Gumamku dalam hati.

            Aku langkahkan kaki menuju masjid di ujung desa. Samar-samar kumandang adzan terdengar, suara khas abah melengking-lengking mengisi ruang hampa di udara. Ya, suara khas abah. Seorang kakek tua yang tinggal di dekat masjid. Usianya mungkin sudah diatas setengah abad, bahkan  mungkin lebih. Setiap helai rambutnya telah memutih. Giginya? Jangan Tanya. Tidak ada yang tersisa sama sekali. Tapi abah tetaplah abah, lelaki tua yang kuanggap seperti kakek sendiri. Seorang kakek yang selalu datang paling awal di masjid, mengalahkan anak-anak muda yang malah bergentayangan di jalan sambil mengepul asap ke udara.
            Hayya ‘alal falaah…. Lengkingan suaranya semakin keras, hampir selesai menyempurnakan kumandang adzan. Aku percepat langkah menuju masjid, tak ingin tertinggal takbir pertama shalat berjama’ah. Abah pun selesai menyempurnakan kumandang adzan, seusai berdo’a ia berbalik arah lalu tersenyum melihatku telah berdiri di belakangnya. Kami pun melaksanakan shalat qobliyyah, baru kemudian dzuhur berjama’ah dengan beberapa warga.
            Seusai shalat rawatib, abah menghampiriku dengan senyum yang menyimpul diwajahnya. Khas sekali. Dulu aku suka tertawa, karena abah tersenyum tapi tak terlihat giginya. Abah tidak pernah marah, malah kami semakin dekat. Sudah seperti kakek dan cucunya saja. Begitu kira-kira kata warga desa. “fa, lagi liburan disini?” tanyanya padaku. “iya bah, kebetulan kuliah juga sedang libur. Nenek minta ditemani karena tak ada siapa-siapa di rumah. Padahal kenapa tidak abah saja yang menjaganya” jawabku sambil sedikit menggodanya. Ia tertawa mendengar jawabanku. “memangnya kamu mau sekali ya punya kakek seperti abah?” jawabnya sambil seperti menyombongkan diri. “tergantung, nenek mau tidak sama abah. Nenek mau nya sama Sam Bimbo bah” jawabku sambil tertawa.
            Siang cukup terik, sangat terik malah. Jadi aku putuskan untuk beristirahat sejenak di dalam masjid sambil mengobrol ringan dengan abah. Yahhh, lagipula aku ke desa ini terhitung hanya beberapa kali dalam setaun. Maklum, rumah nenek cukup jauh dari rumah orangtuaku. Namun, di tempat ini selalu indah, hijau dengan persawahan dan pegunungan. Belum lagi mata air yang masih bersih di kaki gunung, aku selalu senang berjalan-jalan kesana.
            “bagaimana kuliahmu fa? Lancar?” Tanya abah padaku. “Alhamdulillah lancar bah, walaupun tidak selancar jalan tol bah. Ada aja macet-macetnya, persis sama kaya jalanan ibu kota..” jawabku sambil tertawa kecil. “do’akan saja supaya lancar ya bah, biar cepet lulus. Do’a abah kan manjur, udah sama dengan do’a para kyai” tambahku sambil tersenyum lebar. “Kamu ini, sejak kapan do’a kyai manjur. Do’a siapapun manjur. Bukan tentang siapa yang berdo’a, tapi siapa yang mendengar. Gimana sih, sudah jadi mahasiswa juga” jawabnya sambil meledekku. “setidaknya jika abah berdo’a, ada dua orang yang mendo’akan yasfa, yasfa dan abah. Jadi lebih manjur toh” jawabku tak mau kalah.
            Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Langit agak sedikit gelap. Mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Aku dan abah pun keluar masjid. Berjalan pulang menuju rumah. Dari kejauhan kutatap ada seorang akhwat. Jilbabnya terjulur panjang sambil membawa buku. Ia tiba-tiba tersenyum, indah sekali. Aku sontak ikut tersenyum. “assalamu’alaikum bah, permisi” ucapnya. “wa’alaikumussalam. Iya silahkan” jawab abah sambil tersenyum. Aku tersipu malu, kukira senyumnya untukku, hatiku berdebar ada yang tersenyum, tapi ternyata bukan untukku. “kenapa kamu?” Tanya abah seakan bisa membaca raut wajahku. “eh, tidak apa-apa bah” jawabku sambil berusaha menguasai diri. “suka ya?” tanyanya menggodaku. “abah ini, kenal saja tidak, bagaimana bisa suka bah” jawabku berusaha menepis keraguannya.
            Aku berjalan menyusuri persawahan. Sesekali menyapa para petani yang sedang sibuk musim panen. Abah juga seorang petani, sama sibuknya dengan yang lain. Tapi, 20 menit sebelum waktu shalat abah selalu berhenti lalu pergi ke masjid. Itulah yang selalu membuatku terkagum-kagum pada sosok abah. Sosok kakek yang mengajariku dengan teladan bukan ucapan-ucapan kosong.
            Sepanjang perjalanan, masih ada saja Tanya dalam benakku, ada apa dengan hati ini, kenapa berdesir menatap senyumnya. “bodoh, kenapa aku lupa bertanya namanya yah pada abah” gerutuku dalam hati. Aku berjalan dengan pikiran entah kemana. Tiba-tiba… Pyarrr! Kakiku terpeleset di petakan sawah. Lumpur memenuhi wajah, kaki, tangan, dan seluruh pakaianku. “astagfirrulloh” teriakku. Sontak beberapa petani membantuku bangun. “kenapa de?” Tanya seorang ibu. “tidak apa-apa bu, tadi jalannya licin bu” jawabku sambil berusaha bangun. “lain kali hati-hati de, jangan sambil melamun jalannya” ucap salah seorang ibu, seakan ia bisa membaca diriku yang memang sedang melamun. “iya bu, insyaAllah lebih hati-hati lagi” jawabku singkat, sambil menahan malu.
            “kenapa kamu fa? Baju kamu kok kotor begitu?” Tanya nenek sesampainya aku di rumah. Aku tersenyum saja, lalu kujawab “tadi habis perang sama penjajah nek”. Nenekku langsung tertawa mendengar jawabanku. Maklum saja, nenek selalu bercerita tentang almarhum kakek yang pejuang veteran. Terkadang harus merangkak di tengah sawah saat berperang. Cerita-cerita nenek selalu melekat di dalam ingatanku. Bagaimana tidak ingat, setiap malam sebelum tidur selalu itu yang nenek ceritakan. Ah iya, aku selalu tersenyum jika ingat masa lalu. Langsung saja aku pergi mandi, membersihkan sisa-sisa perang dengan sawah.
            Berminggu-minggu berlalu….
            Meski sudah beberapa minggu, pertemuan tak sengaja itu masih melakat dalam fikiran. Kadang aku ingin bertanya pada abah, tapi tak berani. Lidahku selalu kelu, gerakku membeku dalam gugup. Tapi… hari ini aku paksakan diri bertanya, minimal hatiku lebih tenang dan tak ada lagi Tanya yang perlu ku jawab. “bah, wanita tempo hari yang menyapa abah itu siapa?” tanyaku sambil gemetar. “yang mana? Di desa ini banyak sekali wanita.. nenek kamu pun juga wanita fa” jawabnya sambil terkekeh. “itu loh bah, yang tempo hari berpapasan dengan kita sambil bawa buku” jelasku menahan penasaraan. “oh, itu Aisyah. Putrinya Kepala desa. Ada apa memang?” Tanya abah agak heran dengan pertanyaanku. “tidak apa-apa bah, ingin Tanya saja. Memangnya tidak boleh” jawabku berusaha menutupi rasa heran abah.
            Langit kembali mendung. Entah mungkin langit sedang murung, gelap sekali. Aku mampir sejenak ke warung bu halimah, kebetulan nenek menitip barang untuk dijual di warungnya. “ibu, ini titipan dari nenek bu. Kue kering dan basah jumlahnya 50 buah” jelasku pada bu halimah. “oh iya, terimakasih nak yasfa. Sini duduk dulu, ibu siapkan segelas susu jahe hangat” ucap bu halimah sambil tersenyum. “wah terimakasih bu, yasfa jadi merepotkan”. “jarang-jarang ko, nak yasfa juga kan jarang ke desa ini. Kali-kali ngopi di warung ibu, ya walaupun minumnya susu jahe bukan kopi” ucap bu halimah sambil tersenyum.
            Aku duduk di ujung bangku, sambil menunggu susu jahe buatan bu halimah. Rintik-rintik hujan mulai membasahi genting sedikit demi sedikit. Lama-lama hujan turun semakin deras. Jatuh ke bumi, membentuk harmoni indah di siang hari. Tiba-tiba dari sudut yang lain seseorang datang. “Assalamu’alaikum bu halimah” ucapnya sambil menutup payung miliknya. “Wa’alaikumussalam. Eh, ada nak Aisyah” jawab bu halimah. “iya bu, Aisyah ikut berteduh disini ya bu”. “iya, silahkan saja. Tak perlu sungkan disini” jawab bu Halimah sambil tersenyum.
            “Nih, susu jahe buat nak Yasfa sama nak Aisyah. Oiya, Aisyah kenalkan ini yasfa” jelas bu halimah. Aku mendadak gugup. Ada apa dengan hari ini. Ada konspirasi apa antara alam dan bu halimah. Aku terdiam, tergugup-gugup. “Saya Yasfa, Muhammad Yasfa” ucapku singkat menutupi rasa gugup. “Saya Aisyah Humaira Qalbi, salam kenal” jawabnya sambil tersenyum. Aku hanya termenung, sesekali mencuri tatap. Kerudungnya menjulur panjang mempesona. Kaos kaki dan manset membalutnya rapih. Auratnya terjaga dengan sangat baik.
            “Ngobrol kek, kok malah saling diam” Ucap Bu Halimah seperti menggodaku yang terlihat gugup. “Eh iya bu, iya” jawabku sambil menahan gemetar. “Aisyah masih sekolah?” pertanyaan yang mampu terlontar dari lidahku yang membeku. “Iya kak, Aisyah masih sekolah di Madrasah Aliyah di ujung desa sana. Kak yasfa sendiri sibuk apa?” Tanya nya sambil tersenyum. Aku tak mampu menatapnya, aku hanya berani menunduk. “Saya kuliah. Kebetulan sedang libur, jadi saya tinggal di rumah nenek. Nenek sari. Rumahnya di ujung jalan sana” jawabku. “oh nenek sari. Aisyah kadang sering berkunjung ke rumah nenek sari. Tapi belum pernah bertemu dengan kak Yasfa” ucap Aisyah. “Saya tinggal bersama orangtua di kota sebelah. Saya kesini jika sedang libur. Makanya, Aisyah tidak pernah bertemu saya di Rumah Nenek Sari” jelasku sambil tergagap. Entahlah, wajahku sebodoh apa hari ini.
            “Oh iya-iya, Aisyah juga tinggal di asrama sekolah, jadi jarang keluar” jelas Aisyah padaku. Kami mengobrol tentang banyak hal. Kini aku tahu, wawasannya begitu luas. Bahkan mungkin lebih luas daripada aku sendiri. Kami saling mengobrol menanti hujan mereda. Kami mengobrol dengan sama-sama saling tertunduk. Sesekali aku mencuri tatap. Penasaran dengan lawan bicaraku. Entah ada apa dengan langit hari ini, Ia menangis begitu lama. Seakan membiarkan aku mengenal Aisyah lebih jauh.
            “Aisyah, Bu halimah, Yasfa pulang duluan yah. Hujannya sudah tidak terlalu deras. Kasihan nenek di rumah tidak ada yang bantu. Yasfa pamit, assalamu’alaikum warahmatullah” jelasku pada Aisyah dan Bu Halimah. Sebenarnya bukan hanya membantu nenek. Tapi rasa gugupku semakin menjadi tatkala dekat dengan wanita. Apalagi wanita yang baru kukenal. Daripada tingkahku semakin tak karuan, kuputuskan untuk membelah hujan saja, daripada fikiranku yang terbelah tak karuan. “Wah padahal masih hujan nak Yasfa, tenang saja dulu disini. tapi jika nak Yasfa tetap ingin pulang, yasudah hati-hati. Wa’alaikumussalam warahmatullah” jawab Bu Halimah. Aisyah pun tersenyum sambil menjawab salamku. Aku berbalik, berlari kecil menembus hujan.
            “Oh Allah, terimakasih atas rahmat hujanmu. Hari ini, hujan yang indah sekali. Karena pelangi datang bersamanya.” Gumamku mengucap syukur pada Illahi Rabbi.
            Genap dua bulan aku tinggal di rumah nenek.
            “Nek, Yasfa pulang yah. Nenek jaga kesehatan. Jangan lupa kabar-kabari Yasfa yah”. “Iya, kamu jika sudah sampai di rumah jangan lupa kabari nenek. Salam untuk kedua orangtuamu, suruh mereka berkunjung kesini. Jangan sibuk terus dengan urusan kantor. Nanti menua bersama kertas-kertas penuh angka dan huruf” jawab nenek sambil tertawa ringan. “iya nek, nanti Yasfa katakan pada Ayah dan Ibu. Jika nenek sudah sangat rindu dengan anaknya yang sibuk dengan kertas-kertas. Rindu ingin melihat anaknya yang sudah ikut menua” jawabku sambil tersenyum. Sore hari, tepat saat adzan ashar berkumandang aku pergi pamit dengan motorku. Pulang kembali ke kota. “oh iya nek. Salam untuk Abah yah nek. Maaf Yasfa tidak bisa pamit langsung. Sampaikan yah nek. Hati-hati jangan jatuh hati sama Abah, nenek kan mau nya sama Sam Bimbo” ucapku sambil menggoda nenek. “dasar kamu, ada-ada aja. Nanti nenek sampaikan”.
            Aku pun pergi, beberapa menit kemudian wajah nenek sudah tak terlihat. Karena aku hendak safar, aku menjama’ qashar dzuhur dan ashar, sehingga aku tak sempat ke masjid dahulu untuk pamitan pada Abah. Motorku terus melaju membelah jalanan. Melewati persawahan di kanan kiri. Hijau, hijau sekali. Ah iya, aku selalu jatuh cinta pada pemandangan ini. Pemandangan hijau alam nan permai. Subhanallah, indah sekali ciptaan Allah.
            Empat jam perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah.
            “Assalamu’alaikum” salamku sambil masuk kedalam rumah lalu mencium tangan ibu. “wa’alaikumussalam, Alhamdulillah sampai juga anak ibu. Bagaimana kabar nenek?” jawab ibuku. “jangan Tanya bu, nenek itu usianya saja setengah abad. Fisiknya sih masih sekuat ibu. Masih kuat ke kebun, jalan-jalan keliling desa. Wah kalah deh orang-orang kota ini mah” jawabku pada ibu sambil tertawa. “kamu ini ada-ada aja. Alhadmulillah, syukur jika nenek sehat. Ibu sudah lama tak berkunjung ke kota nenek” jawab ibu. “tinggal main saja kesana bu. Kata nenek, nenek kangen ingin ketemu sama anak dan menantunya. Jangan sibuk terus di kantor. Nanti tua di kantor loh” jelasku pada ibu. “Duh, iya-iya. insyaAllah ibu nanti main kesana. Ibu juga kangen suasana disana. Ibu kangen sama petakan sawah tempat ibu bermain dulu”. “ayo bu, nanti Yasfa yang antar kesana. Ibu mah tinggal duduk manis saja di atas motor” ucapku pada ibu.
            Beberapa hari sepulang dari rumah nenek, aku ingat sempat bertukar email dengan Aisyah. Kebetulan hobi kami sama. Senang membaca dan menulis, mungkin kita bisa bertukar fikiran dan gagasan tentang bacaan dan tulisan kami. Aku cek buku catatan, mencari email Aisyah. Aku pun mengirim salah satu e-book tentang Pendidikan Moral karya salah seorang cendikiawan muslim yang ku kagumi. Kebetulah, Aisyah memang sedang membuat karya tulis tentang Pendidikan Moral dan Adab sebagai salah satu tugas sekolahnya.
            Bismillahirrahmanirrahiim.
Aisyah, apa kabar? Maaf jika mengganggu waktunya. Tempo hari, Aisyah pernah berbicara sedang menulis karya tulis tentang pendidikan moral ya?. Kebetulan kakak punya salah satu e-book tentang pendidikan moral, karya seorang cendikiawan muslim yang kakak kagumi. Barangkali bermanfaat, kakak kirim e-book ini untuk Aisyah. Semoga bermanfaat untuk karya tulisnya.
            Pesan yang singkat. Entahlah, apalagi yang hendak aku bicarakan. Aku hanya ingin membantu. Jika bisa bermanfaat kenapa tidak bukan. Kukirim pesan singkat itu bersama attach file e-book yang kurasa cocok dengan karya tulisnya.
            Beberapa hari kemudian, ada pesan masuk ke dalam emailku. Aku membukanya, ternyata ada balasan dari Aisyah.
            Bismillahirrahmanirrahiim.
Alhamdulillah Aisyah sehat kak. Semoga kak Yasfa juga sehat disana. Kata nenek Sari kak Yasfa sudah pulang ke rumah yah. Jazakamullahu Khairan Katsira atas kiriman e-booknya kak. insyaAllah sangat bermanfaat untuk karya tulis Aisyah. Mohon do’anya semoga karya tulis Aisyah bisa segera rampung dan hasilnya bermanfaat untuk umat. Salam untuk keluarga kak Yasfa.
            Pesannya singkat sekali. Sama singkatnya dengan pesan yang kukirim. Tapi entah kenapa aku begitu bahagia membaca email darinya. Entah ada apa sebenarnya dengan hatiku.
            Setelah itu, aku dan Aisyah sering saling mengirim email. Tidak sering sebenarnya. Setiap Aisyah pulang dari asrama sekolahnya saja. Mungkin dua bulan sekali atau tiga bulan sekali. Berdiskusi atau sekedar bertukar tulisan untuk saling mengkoreksi. Wawasannya yang luas membuat obrolan kami lebih menyenangkan. Karena kadang banyak ilmu baru yang kudapat darinya. Aku tidak pernah memandang usia dalam belajar. Bagiku, ilmu bisa datang dari siapa saja, termasuk yang lebih muda sekalipun.
            Mungkin aku memang mengagumi Aisyah sejak awal bertemu. Aku senang melihat jilbabnya yang selalu terjulur panjang, manset dan kaos kakinya yang sempurna menutupi auratnya. Aku seperti memandang Aisyah binti Abu Bakar. Seorang wanita shalihah yang cerdas dan berakhlaq baik. Apa aku jatuh hati? Entahlah.
            Semakin hari, semakin aku menyadari ada yang aneh dengan hatiku. Ada sesuatu yang mengusik dalam hati. Ada suatu Tanya yang tak bisa kutemukan jawabannya. Aku tidak pernah dekat dengan wanita mana pun, namun saat bertemu Aisyah, ada perasaan yang tak kumengerti bermekaran di dalam hati. “Oh Rabb, apa yang harus hamba lakukan?” gumamku dalam hati.
            Suatu hari, selepas shalat jum’at. Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya mengajakku berbincang. Entah kenapa tema perbincangannya tentang istri. Kebetulan lelaki itu memang sudah menikah, memiliki dua istri dan empat belas anak. Masya Allah. “Nak, jika kita mencintai seseorang. Ungkapkanlah, karena tak akan pernah kita tahu ia punya perasaan yang sama atau tidak dengan kita jika tak pernah diungkapkan. Urusan diterima atau ditolaknya perasaanmu, serahkan saja pada sang pembolak-balik hati. Dengan diungkapkan, setidaknya hatimu akan lebih bijak dan ringan dalam melangkah” ucapnya menasihatiku. Entah kenapa aku dinasihati seperti ini, aku tak mengerti. Ia sebelumnya bercerita pertemuan dengan kedua istrinya. Ia bercerita bagaimana melamar keduanya. “saya tidak takut lamaran saya ditolak, tapi seorang lelaki saat jatuh cinta pasti akan datang menemui kedua orangtuanya” jelas lelaki itu. Aku hanya diam mendengarkan, mencoba mencerna kata demi kata yang diungkapkan.
            “Syukron nasihatnya bapak, semoga bisa saya amalkan nasihatnya” jawabku singkat. Karena setelah ini aku harus ke kampus, aku pamit pada lelaki itu. Selepas mengucapkan salam, motorku melaju menuju kampus, dengan satu Tanya dalam benakku, “kenapa ada nasihat seperti itu kepadaku?”.
            Istikharahlah, mohonlah petunjuk pada Allah swt. melangkahlah bersama Allah, sertakan ia dalam segala pilihan, agar yang engkau pilih sekekal alasannya, Illahi Rabbi. Serahkan urusan hatimu pada Allah, biar Ia yang membimbing jalanmu menjadi jalan yang diridhaiNya.
            Aku putuskan untuk beristikharah pada Allah. Aku takut, fitrah tumbuh menjadi fitnah. Menjauhkanku dari Rabb semesta alam, bukan malah mendekatkan kepada-Nya. Di setiap sujud, aku memohon petunjuk. Aku memohon agar dibimbing di jalan yang diridhoi oleh-Nya.
            Suatu hari, Allah mantapkan hati ini untuk memutuskan. “aku akan mengungkapkannya, aku tak mau hati ini berat melangkah, tak bijak dalam memilih. Aku serahkan pada Allah apapun jawabannya. Karena jawaban Allah adalah yang terbaik bagi manusia. Ialah sebaik-baik perencana” tegasku dalam hati. Aku tahu, aku selalu gugup di hadapan wanita, aku sadar diri. Aku putuskan untuk mengirim surat pada Aisyah. Tapi kali ini, aku tak akan memilih email, akan terlalu cepat sampainya. Aku butuh waktu menata hati untuk setiap kemungkinan. Aku lebih memilih pak pos, selain ada waktu beberapa hari untuk menata hati. Aku pun lebih nyaman jika surat itu tulisan tanganku sendiri.
            Untuk:
            Aisyah Humaira Qalbi
            Bismillahirrahmanirrahiim.
            Mohon maaf sebelumnya, jika kakak mengganggu dengan surat yang kakak kirim sekarang. Namun, kakak harus menyampaikan ini pada Aisyah, meski kakak tidak tahu harus memulai dari mana. Aisyah, pertemuan kita memang begitu singkat. Tapi siapa yang tahu, benih itu tumbuh bermekaran dengan cepat tanpa bisa terbendung. Senyum Aisyah saat pertama berjumpa membuat sesuatu dalam hati ini berdesir, entah kenapa.
            Tapi.. bukan senyum itu yang sejatinya menyirami benih di hati untuk tumbuh. Cara Aisyah menutup Aurat sejatinya bagai air yang menyirami benih perasaan ini. Bagi kakak, cara seorang wanita menutup auratnya adalah cerminan pribadi dan akhlaqnya. Jika auratnya saja dijaga, lantas bagaimana dengan akhlaqnya bukan?. Kakak ingat pada sabda Nabi, untuk memilih seorang wanita karena empat hal, yaitu; harta, nasab, kecantikan dan ad-diin. Jika engkau ingin selamat kedua tanganmu, maka pilihlah seorang wanita karena diin-nya. Begitu kurang lebih sabda Rasulullah saw.
            Aisyah, kakak bukan seorang pujangga yang mampu merangkai kata demi kata menjadi paragraf-paragraf indah. Entah bagaimana menjelaskan perasaan yang dirasa pada Aisyah. Ini kali pertama Kakak merasakan perasaan seperti ini pada seorang wanita. Sekaligus ini kali pertama kakak menyampaikan perasaan pada seorang wanita. Kakak sadar diri, pemuda yang tak sebaik Muhammad Saw. namun berani memiliki perasaan pada sosok wanita sebaik, secerdas, dan seshalihah Aisyah r.a. kakak sadar diri.
            Aisyah, kakak tidak menuntut Aisyah memiliki perasaan yang sama. Apapun jawaban Aisyah adalah yang terbaik. Takdir Allah adalah ketetapan terindah bagi setiap insan. Jika Aisyah memiliki perasaan yang sama, maka kakak akan mendatangi kedua orangtua Aisyah untuk memohon nasihat dan bimbingan atas perasaan yang terasa. Namun jika jawaban Aisyah tidak, tak masalah. Yang terpenting adalah jangan sampai silaturahmi kita terputus hanya karena Aisyah tidak memiliki perasaan yang sama.
            Kakak hanya selalu berdo’a kepada Allah. “Ya Allah, bimbinglah jalan cinta ini menjadi jalan cinta yang Engkau Ridhoi.”. karena Allah kakak jatuh hati, maka kakak akan berusaha menempuh jalan cinta para pencinta Allah. Agar semoga langkah yang Kakak tempuh menjadi langkah yang diridhoi-Nya dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Semoga Allah Ridho, apapun jawaban Aisyah adalah yang terbaik.
Wassalamu’alaikum warahmatullah.
Muhammad Yasfa
            Hatiku bergetar menuliskannya. Semoga Allah terus membimbing hati ini agar tetap di jalan-Nya. Aku percayakan surat ini pada pak pos.
            Selepas hari itu, aku menjalani aktifitas seperti biasa. Menyibukkan diri agar tidak sering berfikir tentang surat itu. Aku tak memaksa Aisyah untuk segera membalas isi surat itu. Biarkan saja ia berfikir, istikharah, agar hatinya benar-benar menentukan pilihan atas dasar Illahi Rabbi. Aku tak terburu-buru. Aku menulis surat itu berarti telah siap dengan segala jawabannya. Seperti nasihat abah setiap kami berjumpa “jika memang Allah telah tetapkan sebagai takdir, maka itu yang terbaik. Tugas manusia hanya berikhtiar dan berdo’a, sisanya tawakkal, serahkan pada Allah. Hal apapun, urusan apapun. Selalu yakini ketetapan Allah adalah yang terbaik”. Nasihat singkat abah, agar aku senantiasa benar-benar bertawakkal dalam hal apapun, selepas ikhtiar dan do’a.
            Dua minggu kemudian…
            “Ada mas Yasfa? Ini surat untuk mas Yasfa” ucap pak pos pada ibu. “yasfaaaa, ini ada surat buat kamu” teriak ibu memanggilku. Kuambil surat itu. “Aisyah Humaira Qalbi” tertera nama itu di punggung surat. Hatiku bergetar. “apa jawaban Aisyah?” tanyaku dalam hati. Aku tidak bergegas membacanya. Aku shalat dhuha terlebih dahulu, menata hati, bersiap dengan apapun yang tertulis dalam surat.
            Pelan-pelan aku membuka surat itu…
            Untuk:
            Kak Muhammad Yasfa
            Bismillahirrahmanirrahim
            Mohon maaf sebelumnya, jika Aisyah baru membalas surat kak Yasfa. Aisyah tidak pernah menyangka mendengar cerita kak Yasfa. Aisyah tidak pandai merangkai kata, entah bagaimana Aisyah harus menjawab perasaan kak Yasfa. Aisyah sedang dalam proses belajar menjadi wanita shalihah, salah satunya seperti yang kak Yasfa ceritakan, Aisyah berusaha menutup aurat dengan baik sesuai perintah Allah Swt. terimakasih, karena pemuda sebaik kak Yasfa memiliki perasaan yang luarbiasa pada wanita biasa seperti Aisyah, yang mungkin kak Yasfa bisa menemukan wanita yang lebih baik dibandingkan dengan Aisyah.
            Karena Allah, kak Yasfa memiliki perasaan pada Aisyah. Karena-Nya, kak Yasfa tempuh jalan cinta para pencinta Allah. Karena Allah, Kak Yasfa menjaga hati dan perasaan kak Yasfa untuk Aisyah. Semoga Allah ridha atas perasaan kak Yasfa. Niat baik kak Yasfa, semoga berbuah baik pula, melahirkan ketaatan dan ketakwaan pada Allah ta’ala. Jika Allah menghendaki, akan ada saatnya Kak Yasfa tau perasaan Aisyah, insyaa Allah.
            Teruntuk Kak Yasfa yang telah siap dengan jawaban apapun dari ‘Aisyah. Jawaban Aisyah adalah “iya”. Aisyah telah beristikharah dan memohon nasihat dari banyak orang, semoga apa yang Aisyah putuskan adalah yang terbaik. Sesuai dengan niat awal kak Yasfa, ibu dan ayah mengizinkan Kak Yasfa untuk datang ke rumah, memohon nasihat dan bimbingan dari keduanya. Semoga Allah tetapkan fitrah tetap fitrah, dan tak berubah menjadi fitnah. Semoga dengan jawaban ini, hati kak Yasfa lebih ringan dan bijak dalam melangkah.
Wassalamu’alaikum warahmatullah.
Aisyah Humaira Qalbi
            Aku bulak-balik surat itu. Kubaca berulang-ulang. Barangkali aku salah baca atau salah menyimpulkan. Atau aku sedang bermimpi. Atau ini salah kirim. Aku bersujud syukur. Semoga Engkau tetapkan hati hamba dalam fitrah, jalan yang ditempuh menjadi jalan yang Engkau Ridhai.
            Seminggu kemudian, aku putuskan untuk bertemu kedua orangtuanya.
            Kali ini, aku tak hanya berkunjung ke rumah nenek. “bu, Yasfa hendak menemui orangtua seorang wanita. Kemarin yasfa kirim surat tentang perasaan Yasfa. Besok yasfa InsyaAllah akan bertemu kedua orangtuanya” jelasku pada ibu. Ibuku tersenyum-senyum “ibu kira kamu bohong yasfa kemarin-kemarin. Ternyata bener toh… kamu baru sekali cerita soal wanita, sekarang langsung ke rumah?” Tanya ibu sambil tertawa melihatku kikuk. “Iya bu, yasfa tidak mau seperti anak muda lain yang mengumbar janji, gombal, apalah itu. Lebih nyaman bagi Yasfa untuk bertemu langsung kedua orangtuanya. Setidaknya hati ini lebih terjaga.” Jelasku agak serius, meski tetap saja gugup. “iya deh iya, serius amat” goda ibu kepadaku. “niat kamu silaturahim kesana, minta nasihat yang baik.” Lanjut ibu sambil tersenyum. “iya bu, do’ain yasfa semoga lancar ya bu” jawabku sambil tersenyum.
            Keesokan pagi, aku berkemas. Bersiap fisik dan hati. “bu, yasfa berangkat. Do’ain ya bu”. “iya ibu do’ain yang terbaik, semoga lancar” jawab ibu. Aku berangkat menembus mentari. Membelah jalanan. Aku hanya tahu alamat rumahnya, tapi tidak tau dimana rumahnya. Tidak mungkin aku minta antar abah, nanti aku ditertawakan. Biarlah, aku punya mulut untuk bertanya bukan.
            Aku kembali ke kota ini, menikmati persawahan di kanan-kiri jalan. Subhanallah, aku selalu jatuh cinta pada pemandangan alam ini. Aku suka hijau. Aku suka lika-liku jalanan yang penuh dengan persawahan dan pepohonan hijau. Tak terasa, akhirnya aku sampai. Aku tidak langsung mencari rumahnya, kuputuskan untuk istirahat sejenak di sebuah masjid. Shalat dhuha dan meredakan gugup yang semakin menjadi-jadi. Entahlah, ini kali pertama aku merasa gugup sekali. Aku berdo’a semoga Allah melancarkan segala niat baik.
            Aku berputar-putar mencari rumahnya. Bertanya kesana kemari sudah seperti turis. Lima belas menit kemudian akhirnya kutemukan, untung nenek sering menjelaskan jalan-jalan di daerah sini. Aku hanya tahu jalan dari rumah nenek ke masjid, sawah, dan mata air. Jadi maklum saja aku butuh waktu mencari rumahnya.
            “assalamu’alaikum..” ucapku pada Aisyah yang menunggu di depan rumah. Sambil menahan gugup, kupaksakan mengucap salam. “wa’alaikumussalam” jawabnya sambil tersenyum. “silahkan masuk kak, ayah dan ibu sudah di dalam”. Aku gemetar memasuki rumahnya. Otakku membeku, lidahku kelu tak bisa berucap selain salam. Aku menyalami ayahnya. Lalu duduk berdua dengan ayahnya. Tiba-tiba waktu berjalan begitu lambat. Otakku membeku mencari obrolan.
            Aku mencari obrolan. Tentang pekerjaan ayahnya, pertemuan beliau dengan istrinya. Aku berputar-putar mencari obrolan. Baru kali ini otakku sangat beku, lidahku kelu tak bisa berucap banyak. “Bapak, niat yasfa kesini untuk silaturahim dengan bapak dan ibu. Yasfa hendak memohon nasihat tentang perasaan yasfa dengan putri ibu dan bapak. Agar semoga perasaan ini tetap fitrah” jelasku menahan gemetar, memaksa lidah untuk mampu berucap meski terbata-bata. “Bapak hargai niat nak yasfa datang kesini, semoga Allah senantiasa meridhoi langkah kita” jelas ayahnya. Kami pun mengobrol panjang lebar. Sebenarnya entah mengobrol atau bukan, karena aku lebih banyak mendengar daripada berbicara. Aku mendengarkan dengan seksama nasihat dari ayah dan ibunya.
            Hampir tiga jam berlalu. Begitu banyak nasihat terlontar dari keduanya. Aku hanya mendengarkan. Begitu pula Aisyah yang duduk di ruang sebelah, tak ikut langsung mengobrol dengan kami. Tapi memang itu lebih baik, jika ada Aisyah mungkin gugupku akan semakin menjadi-jadi. “Ibu tidak akan melarang perasaan nak Yasfa, itu urusan hati, tidak ada yang bisa melarangnya. Nasihat ibu untuk saat ini, kalian berdua belajar dan persiapkan perbekalan yang sebaik-baiknya. Tidak perlu saling mengikat dengan ikatan mareri atau apapun itu. Cukup dengan saling percaya dan berdo’a.” jelas ibunya kepadaku. Aku memahami nasihat dari keduanya, sama persis dengan niatku datang kesini.
            “Yasfa datang memang bukan untuk mengikat siapapun dengan ikatan apapun. Yasfa datang kesini untuk bersilaturahim dan mengenalkan diri. Juga memohon nasihat dan bimbingan dari bapak dan ibu. Yasfa tidak ingin terjebak pada fitnah. Mengumbar-ngumbar perasaan dan mengobral janji-janji. Terimakasih nasihatnya, semoga Allah ridhai setiap langkah yang ditempuh” jelasku pada kedua orangtuanya. Waktu berjalan cepat kembali. Sisa waktu itu kupergunakan mendengarkan nasihat-nasihat dari keduanya, juga cerita-cerita tentang masa kecil Aisyah. Aku tersenyum saja, mendengar cerita-cerita masa kecil Aisyah. Wanita yang kukagumi dalam diam.
            Hari semakin sore. Senja telah siap terbit di ufuk barat. Aku pamit, hendak kembali pulang ke rumah. Aku tidak berkunjung ke rumah abah atau nenek. Karena pasti akan larut malam jika berkunjung dahulu. “Ibu, Bapak, Yasfa Pamit pulang. Mohon do’anya selalu, agar jalan yang ditempuh menjadi jalan yang diridhai-Nya. Yasfa serahkan penjagaan Aisyah pada Allah swt. assalamu’alaikum” ucapku pada kedua orangtuanya, usai mencium tangan ayahnya, aku pergi. “iya insyaAllah, ibu do’akan yang terbaik. Wa’alaikumussalam” jawab ibunya sambil tersenyum.
            Aku bergegas pulang ke rumah. Sesuai permintaan ibu. Jangan pulang terlalu sore. Aku tersenyum dan melanjutkan perjalanan pulang. Semoga apa yang ditempuh, adalah apa yang Allah ridhai.
            Beberapa jam perjalanan pun terasa singkat. Gugupku telah mereda. Aku tersenyum-senyum dengan kejadian hari ini. Aku yang belum pernah merasakan jatuh hati. Belum pernah bicara perasaan pada seorang wanita. Hari ini aku ditakdirkan bertemu langsung kedua orangtua wanita. “Oh Allah, sungguh tidak ada yang bisa menebak takdirmu” gumamku dalam hati.
            Sesampainya di rumah. Ku kirim email pada Aisyah.
            Bismillahirrahmanirrahiim.
            Aisyah, terimakasih, Jazakumullahu khairan katsira kakak telah diberi kesempatan untuk dapat bersilaturahim dengan kedua orangtua Aisyah. Nasihat orangtua Aisyah, orangtua Kakak, semuanya sama, semoga yang terbaik untuk kita. Kakak serahkan penjagaan hati Aisyah pada Allah, karena sebaik-baik penjagaan adalah penjagaan Allah Swt. kakak tidak akan sibuk berfikir bagaimana menjaga hati Aisyah, biarkan Allah ta’ala yang menjaganya.
            Maaf, maaf karena kakak terlalu gugup untuk lebih banyak berbicara di hadapan orangtua Aisyah. Lidah kakak seakan beku, sulit sekali untuk bergerak. Tapi tak mengapa, ini jadi pengalaman berharga bagi kakak. Pengalaman indah yang terukir dalam buku catatan kakak. Semoga Allah takdirkan dapat bersilaturahim kembali.
            Aisyah, entah mengapa kakak jadi teringat kisah Ali dan Fatimah, meski mungkin kakak sendiri tidak sebaik Ali r.a. namun, dengan bertemu langsung kedua orangtua Aisyah, Kakak bisa mendengar langsung nasihat dari keduanya. Semoga Allah tetapkan jalan yang ditempuh sebagai jalan yang diridhai-Nya, setiap langkah menjadi langkah yang senantiasa mendekatkan diri pada-Nya.
            Kakak serahkan segalanya pada Allah, penjagaan Aisyah dan segalanya. Biar kita bersabar dalam penantian, bersabar dalam ketaatan, sambil terus memperbaiki diri satu sama lain. Kakak tidak perlu mengikat Aisyah dengan apapun, seperti kuda yang diikat dengan tali kekang. Kakak percaya pada Aisyah, biar kita saling percaya satu sama lain. Saling mendo’akan.
            Jika memang kita berjodoh, akan ada seribu satu cara Allah menguntai tali pertemuan antara kakak dan Aisyah. Semoga Allah senantiasa mengabulkan mimpi-mimpi Aisyah dan juga Kakak. Biar hari ini, kita sama-sama terjaga dalam do’a.
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Muhammad Yasfa.
            Ku kirim pesan itu lewat email. Aku sadar terlalu gugup untuk banyak berbicara. Semoga itu membantu menyampaikan pesan yang tak terucap oleh lisan. Aku serahkan penjagaan Aisyah pada Allah swt. karena penjagaan-Nya adalah sebaik-baik penjagaan. Biar kita saling percaya, dan terjaga dalam do’a. hingga jika Allah menakdirkan, dua perasaan menyimpul jadi satu.

0 komentar:

Posting Komentar