Rabu, 13 Juli 2016

Atasi Amarah, Raih Berkah


Manusia merupakan makhluk yang unik dengan berbagai emosi yang dimiliki. Kadang bersedih, bahagia, tak terkecuali dengan marah. Emosi manusia berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Saat diberi sesuatu yang disenangi, pasti manusia akan berbahagia dengan hal itu. Sebaliknya, saat diberi sesuatu yang tidak menyenangkan, manusia cenderung akan bersedih. Saat manusia kecewa atau merasa tersakiti, tak jarang manusia marah. Bahkan terkadang dari marah itu lahir ucapan-ucapan kasar yang tidak pantas diucapkan oleh seorang manusia, terutama seorang muslim. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk dapat mengendalikan salah satu emosi kita yaitu marah, terkadang pintu-pintu keburukan terbuka darinya.

            Rasulullah saw. dalam banyak sabdanya menjelaskan tentang pentingnya menahan amarah. Rasulullah saw. mengumpamakan orang yang mampu menahan amarah lebih kuat daripada seorang pegulat yang bertarung dengan otot-otot yang kekar. Rasulullah saw. bersabda:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
            Darinya (Abu Hurairah) Radhiyallahu Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat. Akan tetapi orang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah." (Muttafaq Alaihi)
Kata ash-shura’ah dalam hadits tersebut bermakna mubalaghah (sangat), artinya selalu menang bergulat. Secara dzahir, tentu seorang pegulat yang selalu menang adalah seorang pegulat yang kuat, hal ini tidak bisa dipungkiri oleh kita. Namun, kuat yang dimaksud nabi dalam hal ini bukan kuat secara fisik, melainkan kuat secara maknawi. Kekuatan yang merupakan kemampuan menahan diri dari perbuatan buruk, dan juga mampu mengendalikan anggota badan agar tidak menyerang seeorang yang membuatnya emosi. Oleh karena itu, dalam peperangan Rasul melarang memerangi musuh karena kebencian. Bahkan saat ada sahabat yang diludahi oleh musuh, sahabat tersebut tidak lanjut memerangi musuh tersebut, karena takut niatnya melenceng karena emosi dan ingin membalas dendam.
            Hawa nafsu merupakan musuh yang lebih kuat bagi seorang manusia dibandingkan dengan musuh secara nyata berupa manusia pula. Maka jika kita mampu mengendalikan hawa nafsu, seakan-akan kita telah memerangi musuh yang begitu banyak. Hadits ini mengisyaratkan pula sulitnya berjihad melawan hawa nafsu kita sendiri. Hal ini karena Rasulullah saw. menyebutkan bahwa orang yang mampu mengatasi dan menguasai hawa nafsunya adalah manusia yang paling kuat. Rasa marah pada hakikatnya merupakan gejolak emosi yang lahir pada jasad yang siap untuk menyerang, membalas dendam dan perasaan sakit yang dirasakan.
            Gejolak marah ini terlihat dari wajah dan kedua mata yang memerah, urat-urat yang menegang, dan sebagian tubuh berubah memerah. Hal ini terjadi pada yang lebih tinggi ke yang lebih rendah, seperti yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sebaliknya, saat yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, akan terlihat wajah yang pucat karena tak mampu melampiaskan amarahnya. Rasa amarah, baik dari yang lebih tinggi ke yang rendah atau sebaliknya, akan terlihat dari ciri-ciri fisik yang berubah secara drastis. Sehingga, kita dapat menyadari seseorang yang sedang marah atau tidak, karena terlihat dari ciri-ciri perubahan fisiknya.
            Rasa marah akan mengubah kondisi lahir dan batin seorang manusia, dimulai dari raut muka, anggota badan yang bergemetar, hingga yang paling bahaya adalah timbul tindakan-tindakan yang tidak terkontrol, sebab orang yang sedang marah terkadang tak mampu mengendalikan diri dan tidak berfikir panjang atas dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Sehingga jika kita melihat diri kita sendiri saat marah, bagaimana keadaan fisik kita, pasti kita akan merasa aneh dan heran sendiri dengan perubahan raut wajah kita. Sedangkan perubahan batin, akan melahirkan rasa dendam dan fikiran-fikiran jahat yang terlintas di dalam hati. Efek perubahan batin ini tentunya sangat berpengaruh dan lebih cepat bereaksi dari sekedar perubahan lahir atau fisik. Timbulnya raut wajah yang seram, hingga kata-kata cacian dan makian, terlahir karena rasa amarah yang mengubah kondisi batin atau ukhrawi kita. Lebih jauh lagi, akan mendorong kita melakukan perbuatan-perbuatan yang akan kita sesali kemudian, seperti memukul, membunuh, dan lain sebagainya.
            Ada beberapa cara dalam meredam rasa amarah di dalam diri, diantaranya:
1.      Berwudhu atau mandi.
Hal yang pertama dapat kita lakukan untuk menahan amarah kita adalah dengan berwudhu atau mandi. Dari berbagai penelitian, air mampu melembutkan syaraf-syaraf yang tegang. Sehingga dengan berwudhu atau mandi, rasa amarah kita dapat reda bahkan padam. Rasulullah saw. bersabda:
«الْغَضَبُ مِنْ الشَّيْطَانِ وَالشَّيْطَانُ خُلِقَ مِنْ النَّارِ، وَالْمَاءُ يُطْفِئُ النَّارَ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَغْتَسِلْ»
"Marah itu berasal dari setan dan setan diciptakan dari api sementara air dapat memadamkan api. Apabila salah seorang di antara kalian sedang marah maka hendaklah ia mandi." [dha'if, Dha'if Al-Jaami' (3933)]
Di dalam riwayat lain disebutkan: (فَلْيَتَوَضَّأْ) "Hendaklah ia berwudhu". Dengan cara inilah, kita dapat meredam rasa marah yang melanda diri kita.

2.      Mengucapkan isti’adzah atau ta’awwudz.
«إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ: أَعُوذُ بِاَللَّهِ سَكَنَ غَضَبُهُ»
"Apabila salah seorang di antara kalian sedang marah lalu ia berkata, "A'udzubillahi minasy syaithaan (aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan)." pasti marahnya akan reda.” [shahih, Shahih Al-Jami' (695)]
Dengan mengucapkan kalimat isti’adzah, kita berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang menjerumuskan pada perbuatan jelek. Kalimat isti’adzah akan mengingatkan kita kepada Allah, sehingga saat hendak melakukan perbuatan jelek dikarenakan marah, kita akan berfikir pantaskah seorang muslim melakukan seperti itu.

3.      Berdiam diri
Jika rasa marah itu masih ada, maka diamlah. Jangan banyak bicara atau bergerak, biarkan diri kita diam agar amarah itu tidak mengendalikan kita. Rasulullah saw bersabda:
«إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ»
"Apabila salah seorang di antara kalian marah maka hendaklah ia diam." [Shahih: Shahih Al Jami' 693]
Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda:
«إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْلِسْ، فَإِذَا ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ»
"Apabila salah seorang kalian sedang marah maka hendaklah ia duduk. Jika emosi belum juga reda maka hendaklah ia berbaring." [Shahih: At Tirmidzi 4782]
Maka saat kita marah, diamlah, jika masih terasa amarah itu, berbaringlah. Jika rasa marah itu tidak reda juga, maka berbaringlah, atau bahkan tidurlah. Biarkan rasa amarah itu menguap hilang, agar amarah itu tak mengendalikan kita hingga melakukan perbuatan-perbuatan jelek.
            Marah itu munculnya dari syaithan, maka saat kita kalah oleh amarah kita, sesungguhnya kita kalah oleh tipu daya syaithan itu sendiri. Atasi amarah yang kita rasa dengan berwudhu, mandi, lalu isti’adzah, hingga berbaring, agar rasa amarah kita terkendali dan benar-benar menjadi muslim yang kuat, lebih kuat dibandingkan seorang pegulat yang selalu menang. Atasi amarah, dan raih berkah.
Wallahua’lam bish shawab.
Sumber:
1.      Bulughul Maram
2.      Subulus salam


0 komentar:

Posting Komentar