Manusia
merupakan makhluk yang unik dengan berbagai emosi yang dimiliki. Kadang
bersedih, bahagia, tak terkecuali dengan marah. Emosi manusia berubah-ubah
sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Saat diberi sesuatu yang disenangi,
pasti manusia akan berbahagia dengan hal itu. Sebaliknya, saat diberi sesuatu
yang tidak menyenangkan, manusia cenderung akan bersedih. Saat manusia kecewa
atau merasa tersakiti, tak jarang manusia marah. Bahkan terkadang dari marah
itu lahir ucapan-ucapan kasar yang tidak pantas diucapkan oleh seorang manusia,
terutama seorang muslim. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk dapat
mengendalikan salah satu emosi kita yaitu marah, terkadang pintu-pintu
keburukan terbuka darinya.
Rasulullah saw. dalam banyak
sabdanya menjelaskan tentang pentingnya menahan amarah. Rasulullah saw.
mengumpamakan orang yang mampu menahan amarah lebih kuat daripada seorang
pegulat yang bertarung dengan otot-otot yang kekar. Rasulullah saw. bersabda:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: «لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Darinya (Abu Hurairah) Radhiyallahu
Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang
kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat. Akan tetapi orang kuat adalah
orang yang dapat menahan dirinya ketika marah." (Muttafaq Alaihi)
Kata ash-shura’ah dalam hadits tersebut bermakna mubalaghah
(sangat), artinya selalu menang bergulat. Secara dzahir, tentu seorang pegulat
yang selalu menang adalah seorang pegulat yang kuat, hal ini tidak bisa
dipungkiri oleh kita. Namun, kuat yang dimaksud nabi dalam hal ini bukan kuat
secara fisik, melainkan kuat secara maknawi. Kekuatan yang merupakan kemampuan
menahan diri dari perbuatan buruk, dan juga mampu mengendalikan anggota badan
agar tidak menyerang seeorang yang membuatnya emosi. Oleh karena itu, dalam
peperangan Rasul melarang memerangi musuh karena kebencian. Bahkan saat ada
sahabat yang diludahi oleh musuh, sahabat tersebut tidak lanjut memerangi musuh
tersebut, karena takut niatnya melenceng karena emosi dan ingin membalas
dendam.
Hawa nafsu merupakan musuh yang
lebih kuat bagi seorang manusia dibandingkan dengan musuh secara nyata berupa
manusia pula. Maka jika kita mampu mengendalikan hawa nafsu, seakan-akan kita
telah memerangi musuh yang begitu banyak. Hadits ini mengisyaratkan pula
sulitnya berjihad melawan hawa nafsu kita sendiri. Hal ini karena Rasulullah
saw. menyebutkan bahwa orang yang mampu mengatasi dan menguasai hawa nafsunya
adalah manusia yang paling kuat. Rasa marah pada hakikatnya merupakan gejolak
emosi yang lahir pada jasad yang siap untuk menyerang, membalas dendam dan perasaan
sakit yang dirasakan.
Gejolak marah ini terlihat dari
wajah dan kedua mata yang memerah, urat-urat yang menegang, dan sebagian tubuh
berubah memerah. Hal ini terjadi pada yang lebih tinggi ke yang lebih rendah,
seperti yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sebaliknya, saat yang lebih
rendah ke yang lebih tinggi, akan terlihat wajah yang pucat karena tak mampu
melampiaskan amarahnya. Rasa amarah, baik dari yang lebih tinggi ke yang rendah
atau sebaliknya, akan terlihat dari ciri-ciri fisik yang berubah secara
drastis. Sehingga, kita dapat menyadari seseorang yang sedang marah atau tidak,
karena terlihat dari ciri-ciri perubahan fisiknya.
Rasa marah akan mengubah kondisi
lahir dan batin seorang manusia, dimulai dari raut muka, anggota badan yang
bergemetar, hingga yang paling bahaya adalah timbul tindakan-tindakan yang
tidak terkontrol, sebab orang yang sedang marah terkadang tak mampu
mengendalikan diri dan tidak berfikir panjang atas dampak dari perbuatan yang
dilakukannya. Sehingga jika kita melihat diri kita sendiri saat marah,
bagaimana keadaan fisik kita, pasti kita akan merasa aneh dan heran sendiri
dengan perubahan raut wajah kita. Sedangkan perubahan batin, akan melahirkan
rasa dendam dan fikiran-fikiran jahat yang terlintas di dalam hati. Efek perubahan
batin ini tentunya sangat berpengaruh dan lebih cepat bereaksi dari sekedar
perubahan lahir atau fisik. Timbulnya raut wajah yang seram, hingga kata-kata
cacian dan makian, terlahir karena rasa amarah yang mengubah kondisi batin atau
ukhrawi kita. Lebih jauh lagi, akan mendorong kita melakukan
perbuatan-perbuatan yang akan kita sesali kemudian, seperti memukul, membunuh,
dan lain sebagainya.
Ada beberapa cara dalam meredam rasa
amarah di dalam diri, diantaranya:
1.
Berwudhu
atau mandi.
Hal yang pertama dapat kita lakukan untuk menahan amarah kita
adalah dengan berwudhu atau mandi. Dari berbagai penelitian, air mampu
melembutkan syaraf-syaraf yang tegang. Sehingga dengan berwudhu atau mandi,
rasa amarah kita dapat reda bahkan padam. Rasulullah saw. bersabda:
«الْغَضَبُ مِنْ الشَّيْطَانِ وَالشَّيْطَانُ
خُلِقَ مِنْ النَّارِ، وَالْمَاءُ يُطْفِئُ النَّارَ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَغْتَسِلْ»
"Marah itu berasal dari setan dan setan diciptakan dari
api sementara air dapat memadamkan api. Apabila salah seorang di antara kalian
sedang marah maka hendaklah ia mandi." [dha'if, Dha'if Al-Jaami' (3933)]
Di
dalam riwayat lain disebutkan: (فَلْيَتَوَضَّأْ) "Hendaklah ia berwudhu".
Dengan cara inilah, kita dapat meredam rasa marah yang melanda diri kita.
2. Mengucapkan isti’adzah atau
ta’awwudz.
«إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ: أَعُوذُ
بِاَللَّهِ سَكَنَ غَضَبُهُ»
"Apabila salah seorang di antara kalian sedang marah
lalu ia berkata, "A'udzubillahi minasy syaithaan (aku berlindung kepada
Allah dari gangguan setan)." pasti marahnya akan reda.” [shahih,
Shahih Al-Jami' (695)]
Dengan mengucapkan kalimat isti’adzah, kita berlindung
kepada Allah dari gangguan setan yang menjerumuskan pada perbuatan jelek.
Kalimat isti’adzah akan mengingatkan kita kepada Allah, sehingga saat hendak
melakukan perbuatan jelek dikarenakan marah, kita akan berfikir pantaskah
seorang muslim melakukan seperti itu.
3. Berdiam diri
Jika rasa marah itu masih ada, maka diamlah. Jangan banyak
bicara atau bergerak, biarkan diri kita diam agar amarah itu tidak
mengendalikan kita. Rasulullah saw bersabda:
«إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ»
"Apabila salah seorang di antara kalian marah maka
hendaklah ia diam." [Shahih: Shahih Al Jami' 693]
Selain
itu, Rasulullah saw. juga bersabda:
«إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْلِسْ،
فَإِذَا ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ»
"Apabila salah seorang kalian sedang marah maka
hendaklah ia duduk. Jika emosi belum juga reda maka hendaklah ia
berbaring." [Shahih:
At Tirmidzi 4782]
Maka
saat kita marah, diamlah, jika masih terasa amarah itu, berbaringlah. Jika rasa
marah itu tidak reda juga, maka berbaringlah, atau bahkan tidurlah. Biarkan
rasa amarah itu menguap hilang, agar amarah itu tak mengendalikan kita hingga
melakukan perbuatan-perbuatan jelek.
Marah itu munculnya dari syaithan,
maka saat kita kalah oleh amarah kita, sesungguhnya kita kalah oleh tipu daya
syaithan itu sendiri. Atasi amarah yang kita rasa dengan berwudhu, mandi, lalu
isti’adzah, hingga berbaring, agar rasa amarah kita terkendali dan benar-benar
menjadi muslim yang kuat, lebih kuat dibandingkan seorang pegulat yang selalu
menang. Atasi amarah, dan raih berkah.
Wallahua’lam bish shawab.
Sumber:
1.
Bulughul Maram
2.
Subulus salam
0 komentar:
Posting Komentar