Aku selalu takjub menatap semesta
bertabur bintang. Ingin rasanya jemariku meraih salah satu diantara mereka.
Tapi apa daya, sungguh manusia sangat kerdil, kecil sekecil debu yang
bertebaran di ruangan hampa, apa yang bisa disombongkan bukan?. Menatap langit
selalu menyadarkanku tentang kuasa Allah. Maha Kuasanya Ia mencipta semesta
dengan berjuta bintang indah menghiasinya. “Ah, aku jatuh hati” gumamku
pada semesta.
Aku memalingkan tatapanku menyisir
teras asrama. Mataku menangkap sesosok wanita berjilbab menatapi jam dinding.
“Alni….” Teriakku, memacah
lamunannya.
“Iya Nayla, ada apa?” jawabnya
sambil tersenyum manis kepadaku.
“ayo sini.. jangan melamun saja
disitu..” Kataku menertawakan lamunannya.
“Iya, iya. Aku kesitu Nayla”
“Lihat, Indah bukan langitnya” tunjukku ke arah langit.
Ia
tersenyum, mengamini ucapanku. Malam ini, mungkin ia sedang lelah. Tak sebawel
biasanya. Hm, entah ada apa dengannya malam ini. Biasanya dalam lima menit,
ribuan karakter terucap dari bibir manisnya. Tapi malam ini, ia lebih banyak
diam dan tersenyum mendengar celotehku.
Alni adalah sahabat baikku. Ia
sahabat pertamaku di pesantren. Teman sekamar di asrama, tempat berbagi dan
bertukar cerita. Alni adalah anak yang selalu ceria. Engkau yang berada di
sisinya pasti akan selalu merasa nyaman dan menyayanginya dengan sepenuh hati.
Engkau pasti akan merasa begitu dekat dengannya, seakan kakak ataupun adik
kandung, nyaman sekali. Begitu pun aku saat pertama berjumpa dengannya.
***
Memoarku kembali ke masa setahun
silam, pertemuan pertamaku dengan Alni saat pertama kali senyumnya menyapaku.
“Salam kenal, namaku alni” Ucapnya
sambil menjulurkan tangan mengajak berjabat.
“Aku Nayla, salam kenal” jawabku
malu-malu sambil meraih tangannya.
“hai Nayla, selamat datang di
pesantren ini. Yang betah yah, jangan malu-malu disini” jelasnya padaku
sambil tersenyum. Manis sekali.
Ia pun terus berbicara panjang lebar, bercerita tentang pesantren
yang kupijak hari ini. Sejarahnya, keunikannya, dan hal-hal lain yang kadang
membuatku menahan tawa. Ia berbicara seperti kereta api, melaju begitu cepat.
Tapi aku senang. Senang sekali melihatnya bercerita. Aku hanya diam
mendengarkannya, menatap wajahnya yang teduh. Kami baru bertemu, baru saja
berkenalan tapi aku merasa begitu dekat dengannya. Ia tak membedakanku meski
aku santri baru disini, Ia menganggapku seperti sahabatnya sendiri. Yah, ialah
Alni. Sosok santriwati yang ramah, seramah embun pagi yang menyegarkan dahaga.
Malam ini agak sedikit berbeda. Ia
lebih banyak diam, tak banyak bicara. Tatapannya kosong ke arah langit.
Sesekali ia mencuri pandang ke arah jam dinding, seakan sedang menanti
seseorang menjemputnya. Entahlah, aku tak mengerti.
“kamu kenapa Alni?” tanyaku
heran menatapnya.
“tidak kenapa-kenapa Nayla, tak
perlu khawatir. Aku hanya sedang menanti sesuatu yang kurindu” jawabnya
sambil tersenyum.
“Apa yang kau nanti?” tanyaku
penasaran.
“kamu ini dari dulu suka
penasaran ya sama hidup aku, kamu sepertinya fans aku yah nay” jawabnya
sambil tertawa menatap wajahku yang kebingungan.
“alni, alni. Kamu tuh suka susah
diajak serius, bercanda mulu. Ngeselin.” Gerutuku padanya.
“nanti kalau aku tidak ada, kamu
kangen lohhh..” jawabnya menggodaku.
Aku
hanya cemberut menatapnya. Membuat simpul terbalik di wajahku, kesal dengannya.
Tak terasa kami berdua lama sekali menikmati semesta. Jam dinding menunjukan waktu
sebelas malam. Malam semakin larut. Udaranya tak pandang bulu menusuk-nusuk
tubuhku. Jari jemariku yang beradu tak lagi mampu melawan dinginnya malam.
“Ayo tidur alni…” ajakku
kepadanya.
“ayo Nay, aku juga sudah
mengantuk ingin beristirahat” jawabnya.
Kami
beranjak bangun dari atas rumput. Tiba-tiba alni memelukku.
“Aku menyayangimu Nay, aku
menyayangimu karena Allah” ucapnya kepadaku.
Aku menatap seberkas rindu di
sudut-sudut matanya. Ada linangan air mata. Entah ada apa dengan Alni malam
ini. Entah ada dengan sahabat tercintaku, tiba-tiba memelukku begitu erat, lama
sekali. “Aku juga menyayangimu Alni, Aku menyayangimu karena Allah” jawabku
menenangkannya.
Kami
pun beranjak masuk ke asrama. Mataku tak bisa terpejam. Memandangi Alni yang
tertidur pulas disampingku. Teduh sekali. Kecantikannya ibarat peneduh jiwa.
Memandanginya selalu membuatmu jatuh hati sebagai sahabat. Kata orang ia mirip
dengan salah satu artis ibukota. Entahlah, bagiku ia lebih menawan daripada
seorang artis. Karena kecantikannya terpancar dari aura keshalihannya. Ah,
sungguh beruntung aku memiliki sahabat sepertinya.
***
Aku jadi teringat perjalananku
bersamanya menyusuri sudut-sudut kota. Saat itu, gemericik hujan turun perlahan
membasahi dedaunan, jalanan, juga aku dan Alni. Kami menepi di sebuah halte
bis, menghindar dari gemericik hujan yang kian lama semakin deras.
“kamu kedinginan Nay?” Tanya
alni kepadaku.
“tidak apa-apa, Aku baik-baik
saja. Tak usah khawatir”
ia
seakan bisa membaca kondisiku. Bibirku yang membiru, dengan wajah yang semakin
pucat. Aku alergi dingin.
“pakai ini” ucapnya sambil
memakaikan jaketnya kepadaku.
“Aku berdosa jika diam saja
melihat sahabatku kesakitan” ucapnya sambil tersenyum
Air
mataku deras mengalir, namun tersamarkan air hujan yang membasahi wajahku. Aku
menangis bukan karena sedih. Namun aku bahagia, Allah pertemukanku dengannya.
Sahabat yang akan selalu kurindukan karena kebaikannya.
Malam ini, kami tidur satu kasur.
Aku memeluknya. Aku bersyukur pada Allah yang mempertemukanku dengan sesosok
malaikat. Ia yang selalu menggenggam tanganku saat aku terjatuh. Ia yang selalu
menasehatiku saat aku tersandung dosa. “Alni, aku bahagia mengenalmu. Aku
menyayangimu karena Allah” bisikku dalam hati. Menatap teduh wajahnya yang
pulas terjatuh dalam mimpi.
***
Pukul empat shubuh, aku terbangun,
tertiup sejuk malam yang meniup sekujur tubuhku untuk bangkit. Aku mengucap
do’a. bersyukur Allah masih membangunkanku yang terlelap dalam kematian sesaat.
Alni saat itu sedang menikmati cinta Illahi Rabbi dalam rukuk dan sujud. Ia
memang selalu bangun lebih awal. Lalu rukuk dan sujud, tenggelam dalam cinta
Illahi Rabbi.
Aku menembus kantukku. Air wudhu
membasahi sekujur tubuhku, menyadarkanku dari raga yang setengah sadar. Lima
belas menit lagi adzan shubuh berkumandang. Masih sempat untuk shalat witir tiga
rakaat. Aku membenamkan diri dalam rukuk dan sujud, menyelami cinta dalam
untaian do’aku pada-Nya.
Aku dan Alni berjalan beriringan,
menuju masjid untuk shalat berjama’ah. Aku menatap seberkas cahaya dalam
wajahnya. Shubuh ini, dengan mukena putih membalutnya, Ia terlihat begitu
menawan. Melangkah mantap menuju Rumah Allah. “Kamu jangan terpana begitu
melihatku” Ucapnya yang sadar sejak tadi aku memandanginya, sambil tertawa.
Selepas shalat shubuh, aku, Alni,
dan teman-teman satu asrama melakukan kegiatan bersih-bersih. Hari ini adalah
jadwal pulang. Kami ingin meninggalkan asrama dalam kondisi yang bersih dan
nyaman. Aku memegang sapu, yang lain membereskan barang-barang asrama, dan Alni
dengan kain pel siap mengubah asrama menjadi lebih bersih dan elok dipandang.
Ini mungkin hanya kegiatan bersih-bersih, tapi saat dilakukan bersama
kawan-kawan, selalu jadi lebih menyenangkan. Debu pun mampu membuat
simpul-simpul tawa diantara kami.
***
Alni pamit lebih dulu, katanya ada
keperluan di rumah yang tidak bisa ditinggalkan.
“Kenapa buru-buru Alni? Tanyaku
heran.
“Aku ada perlu, harus segera
pulang”
“Bareng aja yuk” ajakku.
“tidak perlu, aku duluan. Semua
juga akan pulang kan, hanya aku pulang lebih dulu” jawabnya sambil
tersenyum.
Alni
pergi melangkah keluar gerbang pesantren. Lamat-lamat kutatap ia, melangkah
perlahan meninggalkan kami. Lalu hilang di ujung kelokan jalan.
***
Aku dan anak asrama lainnya masih
membersihkan asrama. Tak kubiarkan debu-debu mengendap di sudut-sudut ruangan.
Selain asrama, kami pun membersihkan ruang-ruang kelas, agar kami pulang dengan
meninggalkan jejak-jejak bersih di pesantren. Sehingga saat kembali, pesantren
tetap bersih dan nyaman.
“Aku pulang duluan ya” ucapku
pada yang lain.
“Iya Nay, hati-hati dijalan. Aku
mau bertemu ustadzah halimah dulu” jawab Aisyah.
“titip salam untuk Ustadzah Halimah
ya ais, aku pulang duluan, sudah terlalu siang. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” jawab aisyah dan santri asrama lainnya.
Aku
pulang. Menumpang angkutan umum biru bergaris kuning, menuju rumah tercinta.
Aku selalu rindu masakan ibu, celoteh adik, nasihat bapak, aku rindu. Jadwal
pulang pesantren hanya satu bulan sekali. Jadi sebenarnya kehidupanku semenjak
pindah ke pesantren adalah pesantren itu sendiri, sedangkan rumah adalah tempat
liburan dan refreshing karena sebulan penuh berkutat di pesantren.
Tapi aku selalu ingat ucapan Alni
saat aku pertama kali menginjakkan kaki di pesantren, “Nay, kadang rindu
hadir saat tak bertemu. Cinta hadir saat tak berjumpa, dan sayang hadir saat
merindu dan mencinta itu sendiri. Mungkin kita jauh dari keluarga selama di
pesantren, tetapi itu Cara Allah membuat kita rindu, cinta, dan sayang pada
keluarga kita” ia menjelaskan dengan simpul senyum di wajahnya yang indah.
Angkutan umum biru bergaris kuning
melaju perlahan, menyisir persawahan di kanan-kirinya. Satu dua gunung terlihat
di kejauhan, hijau, indah sekali. Sayang, beberapa gunung terlihat tandus,
gundul, dan gersang. Ada sisa-sisa kebakaran, penambangan pasir, entah apalagi.
Sedih rasanya. Bumi rusak, oleh penghuni bumi itu sendiri. Berdalih
kemaslahatan, padahal sedang berbuat kerusakan karena kerakusan.
Angkutan umum biru bergaris kuning
sampai di terminal angkutan umum, memarkir diri bersama angkutan umum-angkutan
umum yang lain. Aku berjalan perlahan ke arah utara, sepuluh meter berjalan,
aku sampai di depan rumah. “Kak Nayla… Ibu, kak Nayla pulang bu!” celoteh
adikku sangat antusias.
“Assalamu’alaikum” Ucapku.
“Wa’alaikumussalam, aduh kenapa
tidak minta jemput Nay?” Tanya ibu
kepadaku.
“tidak usah bu, Nayla kan bisa naik angkutan
umum. Orang-orang di rumah juga pasti sibuk kan”
“yasudah, simpan tasnya. Istirahat
dulu, ibu sudah masak” jelas ibu
sambil tersenyum.
Aku
beranjak naik menuju kamar. Menyimpan tas dan merebahkan tubuh diatas kasur.
Aku melihat ke atas meja belajar. Handphone milikku bergetar. Ada
beberapa pesan singkat masuk.
Satu pesan dari Ibu Alni. Ada apa?
“Nayla, Alni jatuh pingsan, tak
sadarkan diri. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit Harapan Bunda”
Innalillahi..
ada apa dengan Alni, beberapa jam yang lalu ia baik-baik saja. Pagi tadi ia
masih tersenyum kepadaku. Wajahku pucat, tubuhku lemas. Aku langsung bergegas
menuju rumah sakit. Khawatir, khawatir dengan kondisi Alni. “Allahku,
seizinmu tak ada yang mustahil. Sembuhkan Alni ya Allah.” Lirihku dalam
hati.
“Mau kemana Nay? Baru juga
sampai” Tanya ibu.
“Alni masuk rumah sakit bu”
“Kenapa?”
“Nay juga tidak tahu kenapa, Nay
berangkat ya bu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”
Aku
pergi dengan motor ibu. Memecah macet jalanan karena rumah sakit tempat Alni
dirawat tepat di jantung kota, butuh waktu satu jam lebih untuk sampai disana.
Banyak Tanya yang berputaran dalam fikiranku. Berujung pada Tanya “ada apa?”
yang tak bisa kujawab. Sesampainya di rumah sakit, aku berhambur ke ruang Unit
Gawat Darurat.
“Alni kenapa bu?” tanyaku
cemas.
“Ibu juga tidak tahu Nay. Supir
angkutan umum yang membawa Alni kesini. Alni tiba-tiba pingsan di dalam
angkutan umum” jelas ibu dengan cemas.
“Apa dokter sudah bicara apa
penyebabnya?”
“belum, Alni masih diperiksa di
dalam. Tidak ada yang boleh masuk”
Alni
hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah tiada sejak Alni kecil. Meski sejak
kecil ia hanya tinggal bersama ibunya, Alni tetap tumbuh menjadi anak ceria dan
menyenangkan. Setiap pulang dari pesantren ia selalu menyempatkan diri mengajar
di madrasah sore. Terkadang ia juga mengajar anak-anak jalanan membaca dan
menulis. Meski ia hanya tinggal bersama ibunya, tetapi ia punya banyak orang
yang menyayanginya.
Tiga jam pemeriksaan. Kondisi Alni
memburuk. Dokter menjelaskan ada pembengkakan di saraf otaknya. Menyumbat
aliran darah menuju otak. Alni dirujuk ke ruang ICU, ia berada dalam keadaan
koma. Pemeriksaan serius masih terus dilakukan. Kesadaran Alni semakin menurun.
Belalai-belalai rumah sakit melilit tubuhnya. Kotak hitam dengan garis hijau
naik turun di dalamnya setia menemani.
Semalaman, aku dan ibunya menanti.
Memandangi iba dari luar, menatap alni dengan wajahnya yang tetap berbinar
meski dalam kondisi yang kritis. Dokter masih belum memberikan kejelasan apa
yang terjadi dengan alni.
***
Adzan shubuh berkumandang, memenuhi
langit-langit rumah sakit.
Aku beranjak dari kursi tunggu.
Diikuti langkah ibunda Alni menuju masjid. kami berhambur dalam rukuk dan
sujud, memohon yang terbaik untuk Alni. Aku tahu, saat ini dan kapanpun, kuasa
Allah lah yang menentukan takdir seseorang. Maka harus kugantungkan kemana
do’a-do’aku jika bukan pada Rabb semesta alam.
Selepas shubuh, tim dokter
mengundang ibunda Alni ke ruangannya. Aku ikut.
“Ibu, mohon maaf sebelumnya. Jika
kabar yang kami sampaikan mungkin akan sangat mengejutkan” jelas dokter
sangat serius.
Ia menarik nafas, lalu melanjutkan
penjelasannya “Ibu, setelah pemeriksaan yang kami lakukan, kami menemukan
penurunan fungsi gerak, fikiran, dan kerusakan di beberapa bagian saraf otak
yang cukup serius. Anak ibu sepertinya telah lama terserang penyakit
meningitis. Sehingga anak ibu selama ini mungkin seringkali mengeluh pusing
yang teramat sangat. Saat ini, virus itu telah mennjalar ke hampir seluruh
bagian otak, merusak bagian-bagian saraf otak. Kami berusaha yang terbaik,
namun kami tidak dapat melakukan tindakan apapun pada otak anak ibu. Sebab
virus ini telah masuk ke bagian paling dalam. Hanya kuasa Allah yang dapat
menyembuhkannya. Berdo’a yang terbaik untuk anak ibu”
Aku
menatap wajah ibunda Alni. Wajahnya seketika pucat pasi mendengar penjelasan
dokter. Ia tidak mengira, anak satu-satunya yang paling dicinta harus mengalami
kejadian sepahit ini. Apa ia akan ditinggal cahaya kehidupannya kembali. Oh
Allah, sembuhkan sahabatku.
Air mata mengalir deras dari kedua
mata ibunda Alni. Ruangan dokter hening, hanya menyisakan serpihan kesedihan.
Kepingan-kepingan hati yang berserakan ditimpa takdir kehidupan. “Ibu,
berdo’alah pada Allah. Mohonlah yang terbaik untuk Alni” ucapku lirih
berusaha menahan tangis.
Aku dan ibunda Alni berdiri mematung
di depan ruang ICU. Menatap sejuta sendu kehidupan. Aku dan ibunda Alni
diperbolehkan masuk ke ruangan ICU dengan seragam lengkap. Sarung tangan,
masker, hingga seluruh tubuh kami steril. Ibunda Alni mengelus Alni dengan
sejuta kasih. Mengecup keningnya dan membisikan rindu di telinganya. “Alni,
ibu mohon bangunlah. Jangan tinggalkan ibu sendiri” Ucapnya lirih.
Kesadaran Alni sempat meningkat,
namun turun kembali dan terus-menerus turun. Pukul sepuluh pagi, kotak hitam
dengan garis hijau itu menunjukan garis yang terus-menerus turun, bahkan hampir
datar. Dari mulut Alni keluar busa. Sontak aku memanggil tim dokter. Dengan
panik aku berlarian keluar, meminta bantuan. Alni semakin memburuk kondisinya,
aku tak mengerti. Kotak hitam dengan garis hijau semakin lemah. Garis-garis
yang terbentuk tak lagi fluktuatif.
Ibunda Alni menggenggam tangan Alni
dengan kuat. Alni terus kejang semakin keras. Kesadarnnya semakin menurun.
Sekujur tubuhnya mulai dingin dan kaku. “Laa ilaaha illallah” bisik
ibunda alni terus menerus. Ia seakan mengerti ujungnya akan bermuara dimana.
Kotak hitam itu menunjukkan garis
hijau yang membentuk garis lurus. Kesadaran Alni tidak ada sama sekali.
Tubuhnya tak lagi kejang-kejang. telah berhenti. Tubuhnya kaku tak bergerak.
Tak ada lagi hembusan nafas meski sejengkal. Tak ada lagi denyut nadi meski
hanya setitik “innalillahi wa inna ilaihi raaji’un”.
Ibunda Alni berhambur memeluk
anaknya. Tangisnya pecah menahan sendu. Pukul dua belas siang. Alni pergi
meninggalkan dunia yang sementara. Beranjak melangkah menuju kebahagian yang
hakiki. Memeluk keindahan di sisi Illahi Rabbi.
***
Ratusan orang datang mengantar
kepulangannya ke pangkuan Illahi Rabbi. Baru kali ini, aku memandang ratusan
orang, bahkan lebih, mengantar seseorang menuju peristirahatan terakhir. Setiap
orang menangis, bersedih. Langit sore itu berlumuran kesedihan. Tenggelam dalam
air mata kesedihan.
Aku berdiri mematung. Pagi kemarin,
ya pagi kemarin. Aku masih bersamanya, menatap senyumnya. Malam kemarin, aku
masih menatap indahnya semesta bersama. Menghitung ribuan bintang di angkasa.
Hingga hari ini aku menghitung butir-butir pilu kepergianmu. Sungguh Allah dan
takdirnya adalah rahasia, yang tak pernah bisa kumengerti bagaimana semuanya
terjadi.
Kain putih bernama kafan resmi
membalut tubuhnya rapih. Shalat jana’iz di tegakkan. Ratusan orang
mengantarkannya hingga ke peristirahatan yang terakhir. Jasadnya rapih
tertimbun tanah coklat kemerahan. Jasad yang dulu selalu tersenyum kepadaku.
Jasad yang dulu selalu menyemangatiku. Jasad yang dulu selalu mendekapku dikala
terjatuh. Jasad itu kini rapih tersimpan dalam bumi Allah. Menutup khusnul
khatimah perjuangannya.
Satu persatu kembali. Bersama tangis
sendu bernama kesedihan. Menyisakan Aku yang masih berdiri mematung di depan
pusaranya. Seakan kejadian ini adalah mimpi, dan aku berharap Allah segera
membangunkanku dari mimpi ini. Alni, kenapa engkau mendahuluiku. Saat kita
sama-sama berikrar hijrah menjadi lebih baik.
Alni, pertemuan kita begitu
singkat. Tapi aku seperti telah mengenalmu seumur hidupku. Aku selalu ingat
senyum indahmu setahun lalu. Menyapaku, memperkenalkan diri. Alni, aku sadar,
ketetapan Allah adalah yang terbaik. Aku tak akan mengutuk kehilangan. Aku tak
akan membenci kesedihan. Aku bahagia, karena Allah lebih merindukanmu daripada
aku. Ia ingin engkau segera bersama disisi-Nya. Aku cemburu, karena engkau
lebih dulu melihat surga.
Alni, air mata tak mampu kubendung,
begitupula kesedihan. Tapi aku selalu ingat nasihatmu. Bahwa kematian adalah
sebuah kepastian, meski kita tak pernah tahu kapan ia akan menjemput. Ini hanya
sekedar siapa yang lebih dulu mengantar, dan siapa yang lebih dulu diantar. Begitu
katamu. Kemarin malam, bersama semesta, aku tahu bahwa engkau menyayangiku
sebagai sahabat karena Allah. Cukup bagiku. Mengatehui bahwa diriku disayangi oleh
kekasih Allah. Semoga Allah pertemukan kita, dua orang yang bersahabat karena
Allah.
Aku memegang pusaranya. Memegang tanah
merah kecoklatan, tempat jasadnya beristirahat. Aku berbisik, “Alni, Allah
lebih menyayangimu”.
0 komentar:
Posting Komentar