Kamis, 11 Agustus 2016

Alni, Allah lebih menyayangimu!



        
    Angin malam menyapa lembut sekujur tubuhku. Membuat jari jemariku beradu mencari hangat. Jam dinding menunjuk waktu pukul delapan malam. Aku masih berdiam di luar asrama, menikmati atap langit beralaskan rerumputan di depan asrama. Malam ini, aku ingin puas menatap bintang-gemintang di semesta luas. Menikmati hujan meteor yang hanya terjadi seratus tahun sekali. Jika Allah menakdirkan, mungkin aku sudah beruban dengan kulit keriput, ingatan yang kabur entah kemana, dengan senyum tulus tanpa ada hiasan gigi putih berjejer dalam mulutku, saat hujan meteor kembali terjadi sratus tahun kemudian. Karenanya, aku ingin menikmati hujan meteor ini, merasakan kebesaran Illahi Rabbi.

            Aku selalu takjub menatap semesta bertabur bintang. Ingin rasanya jemariku meraih salah satu diantara mereka. Tapi apa daya, sungguh manusia sangat kerdil, kecil sekecil debu yang bertebaran di ruangan hampa, apa yang bisa disombongkan bukan?. Menatap langit selalu menyadarkanku tentang kuasa Allah. Maha Kuasanya Ia mencipta semesta dengan berjuta bintang indah menghiasinya. “Ah, aku jatuh hati” gumamku pada semesta.
            Aku memalingkan tatapanku menyisir teras asrama. Mataku menangkap sesosok wanita berjilbab menatapi jam dinding.
            “Alni….” Teriakku, memacah lamunannya.
            “Iya Nayla, ada apa?” jawabnya sambil tersenyum manis kepadaku.
            “ayo sini.. jangan melamun saja disitu..” Kataku menertawakan lamunannya.
            “Iya, iya. Aku kesitu Nayla”
            “Lihat, Indah bukan langitnya” tunjukku ke arah langit.
Ia tersenyum, mengamini ucapanku. Malam ini, mungkin ia sedang lelah. Tak sebawel biasanya. Hm, entah ada apa dengannya malam ini. Biasanya dalam lima menit, ribuan karakter terucap dari bibir manisnya. Tapi malam ini, ia lebih banyak diam dan tersenyum mendengar celotehku.
            Alni adalah sahabat baikku. Ia sahabat pertamaku di pesantren. Teman sekamar di asrama, tempat berbagi dan bertukar cerita. Alni adalah anak yang selalu ceria. Engkau yang berada di sisinya pasti akan selalu merasa nyaman dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Engkau pasti akan merasa begitu dekat dengannya, seakan kakak ataupun adik kandung, nyaman sekali. Begitu pun aku saat pertama berjumpa dengannya.
***
            Memoarku kembali ke masa setahun silam, pertemuan pertamaku dengan Alni saat pertama kali senyumnya menyapaku.
            “Salam kenal, namaku alni” Ucapnya sambil menjulurkan tangan mengajak berjabat.
            “Aku Nayla, salam kenal” jawabku malu-malu sambil meraih tangannya.
            “hai Nayla, selamat datang di pesantren ini. Yang betah yah, jangan malu-malu disini” jelasnya padaku sambil tersenyum. Manis sekali.
            Ia pun terus berbicara  panjang lebar, bercerita tentang pesantren yang kupijak hari ini. Sejarahnya, keunikannya, dan hal-hal lain yang kadang membuatku menahan tawa. Ia berbicara seperti kereta api, melaju begitu cepat. Tapi aku senang. Senang sekali melihatnya bercerita. Aku hanya diam mendengarkannya, menatap wajahnya yang teduh. Kami baru bertemu, baru saja berkenalan tapi aku merasa begitu dekat dengannya. Ia tak membedakanku meski aku santri baru disini, Ia menganggapku seperti sahabatnya sendiri. Yah, ialah Alni. Sosok santriwati yang ramah, seramah embun pagi yang menyegarkan dahaga.
            Malam ini agak sedikit berbeda. Ia lebih banyak diam, tak banyak bicara. Tatapannya kosong ke arah langit. Sesekali ia mencuri pandang ke arah jam dinding, seakan sedang menanti seseorang menjemputnya. Entahlah, aku tak mengerti.
            “kamu kenapa Alni?” tanyaku heran menatapnya.
            “tidak kenapa-kenapa Nayla, tak perlu khawatir. Aku hanya sedang menanti sesuatu yang kurindu” jawabnya sambil tersenyum.
            “Apa yang kau nanti?” tanyaku penasaran.
            “kamu ini dari dulu suka penasaran ya sama hidup aku, kamu sepertinya fans aku yah nay” jawabnya sambil tertawa menatap wajahku yang kebingungan.
            “alni, alni. Kamu tuh suka susah diajak serius, bercanda mulu. Ngeselin.” Gerutuku padanya.
            “nanti kalau aku tidak ada, kamu kangen lohhh..” jawabnya menggodaku.
Aku hanya cemberut menatapnya. Membuat simpul terbalik di wajahku, kesal dengannya. Tak terasa kami berdua lama sekali menikmati semesta. Jam dinding menunjukan waktu sebelas malam. Malam semakin larut. Udaranya tak pandang bulu menusuk-nusuk tubuhku. Jari jemariku yang beradu tak lagi mampu melawan dinginnya malam.
            “Ayo tidur alni…” ajakku kepadanya.
            “ayo Nay, aku juga sudah mengantuk ingin beristirahat” jawabnya.
Kami beranjak bangun dari atas rumput. Tiba-tiba alni memelukku.
            “Aku menyayangimu Nay, aku menyayangimu karena Allah” ucapnya kepadaku.
            Aku menatap seberkas rindu di sudut-sudut matanya. Ada linangan air mata. Entah ada apa dengan Alni malam ini. Entah ada dengan sahabat tercintaku, tiba-tiba memelukku begitu erat, lama sekali. “Aku juga menyayangimu Alni, Aku menyayangimu karena Allah” jawabku menenangkannya.
Kami pun beranjak masuk ke asrama. Mataku tak bisa terpejam. Memandangi Alni yang tertidur pulas disampingku. Teduh sekali. Kecantikannya ibarat peneduh jiwa. Memandanginya selalu membuatmu jatuh hati sebagai sahabat. Kata orang ia mirip dengan salah satu artis ibukota. Entahlah, bagiku ia lebih menawan daripada seorang artis. Karena kecantikannya terpancar dari aura keshalihannya. Ah, sungguh beruntung aku memiliki sahabat sepertinya.
***
            Aku jadi teringat perjalananku bersamanya menyusuri sudut-sudut kota. Saat itu, gemericik hujan turun perlahan membasahi dedaunan, jalanan, juga aku dan Alni. Kami menepi di sebuah halte bis, menghindar dari gemericik hujan yang kian lama semakin deras.
            “kamu kedinginan Nay?” Tanya alni kepadaku.
            “tidak apa-apa, Aku baik-baik saja. Tak usah khawatir”
ia seakan bisa membaca kondisiku. Bibirku yang membiru, dengan wajah yang semakin pucat. Aku alergi dingin.
            “pakai ini” ucapnya sambil memakaikan jaketnya kepadaku.
            “Aku berdosa jika diam saja melihat sahabatku kesakitan” ucapnya sambil tersenyum
Air mataku deras mengalir, namun tersamarkan air hujan yang membasahi wajahku. Aku menangis bukan karena sedih. Namun aku bahagia, Allah pertemukanku dengannya. Sahabat yang akan selalu kurindukan karena kebaikannya.
            Malam ini, kami tidur satu kasur. Aku memeluknya. Aku bersyukur pada Allah yang mempertemukanku dengan sesosok malaikat. Ia yang selalu menggenggam tanganku saat aku terjatuh. Ia yang selalu menasehatiku saat aku tersandung dosa. “Alni, aku bahagia mengenalmu. Aku menyayangimu karena Allah” bisikku dalam hati. Menatap teduh wajahnya yang pulas terjatuh dalam mimpi.
***
            Pukul empat shubuh, aku terbangun, tertiup sejuk malam yang meniup sekujur tubuhku untuk bangkit. Aku mengucap do’a. bersyukur Allah masih membangunkanku yang terlelap dalam kematian sesaat. Alni saat itu sedang menikmati cinta Illahi Rabbi dalam rukuk dan sujud. Ia memang selalu bangun lebih awal. Lalu rukuk dan sujud, tenggelam dalam cinta Illahi Rabbi.
            Aku menembus kantukku. Air wudhu membasahi sekujur tubuhku, menyadarkanku dari raga yang setengah sadar. Lima belas menit lagi adzan shubuh berkumandang. Masih sempat untuk shalat witir tiga rakaat. Aku membenamkan diri dalam rukuk dan sujud, menyelami cinta dalam untaian do’aku pada-Nya.
            Aku dan Alni berjalan beriringan, menuju masjid untuk shalat berjama’ah. Aku menatap seberkas cahaya dalam wajahnya. Shubuh ini, dengan mukena putih membalutnya, Ia terlihat begitu menawan. Melangkah mantap menuju Rumah Allah. “Kamu jangan terpana begitu melihatku” Ucapnya yang sadar sejak tadi aku memandanginya, sambil tertawa.
            Selepas shalat shubuh, aku, Alni, dan teman-teman satu asrama melakukan kegiatan bersih-bersih. Hari ini adalah jadwal pulang. Kami ingin meninggalkan asrama dalam kondisi yang bersih dan nyaman. Aku memegang sapu, yang lain membereskan barang-barang asrama, dan Alni dengan kain pel siap mengubah asrama menjadi lebih bersih dan elok dipandang. Ini mungkin hanya kegiatan bersih-bersih, tapi saat dilakukan bersama kawan-kawan, selalu jadi lebih menyenangkan. Debu pun mampu membuat simpul-simpul tawa diantara kami.
***
            Alni pamit lebih dulu, katanya ada keperluan di rumah yang tidak bisa ditinggalkan.
            “Kenapa buru-buru Alni? Tanyaku heran.
            “Aku ada perlu, harus segera pulang”
            “Bareng aja yuk” ajakku.
            “tidak perlu, aku duluan. Semua juga akan pulang kan, hanya aku pulang lebih dulu” jawabnya sambil tersenyum.
Alni pergi melangkah keluar gerbang pesantren. Lamat-lamat kutatap ia, melangkah perlahan meninggalkan kami. Lalu hilang di ujung kelokan jalan.
***
            Aku dan anak asrama lainnya masih membersihkan asrama. Tak kubiarkan debu-debu mengendap di sudut-sudut ruangan. Selain asrama, kami pun membersihkan ruang-ruang kelas, agar kami pulang dengan meninggalkan jejak-jejak bersih di pesantren. Sehingga saat kembali, pesantren tetap bersih dan nyaman.
            “Aku pulang duluan ya” ucapku pada yang lain.
            “Iya Nay, hati-hati dijalan. Aku mau bertemu ustadzah halimah dulu” jawab Aisyah.
            “titip salam untuk Ustadzah Halimah ya ais, aku pulang duluan, sudah terlalu siang. Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumussalam” jawab aisyah dan santri asrama lainnya.
Aku pulang. Menumpang angkutan umum biru bergaris kuning, menuju rumah tercinta. Aku selalu rindu masakan ibu, celoteh adik, nasihat bapak, aku rindu. Jadwal pulang pesantren hanya satu bulan sekali. Jadi sebenarnya kehidupanku semenjak pindah ke pesantren adalah pesantren itu sendiri, sedangkan rumah adalah tempat liburan dan refreshing karena sebulan penuh berkutat di pesantren.
            Tapi aku selalu ingat ucapan Alni saat aku pertama kali menginjakkan kaki di pesantren, “Nay, kadang rindu hadir saat tak bertemu. Cinta hadir saat tak berjumpa, dan sayang hadir saat merindu dan mencinta itu sendiri. Mungkin kita jauh dari keluarga selama di pesantren, tetapi itu Cara Allah membuat kita rindu, cinta, dan sayang pada keluarga kita” ia menjelaskan dengan simpul senyum di wajahnya yang indah.
            Angkutan umum biru bergaris kuning melaju perlahan, menyisir persawahan di kanan-kirinya. Satu dua gunung terlihat di kejauhan, hijau, indah sekali. Sayang, beberapa gunung terlihat tandus, gundul, dan gersang. Ada sisa-sisa kebakaran, penambangan pasir, entah apalagi. Sedih rasanya. Bumi rusak, oleh penghuni bumi itu sendiri. Berdalih kemaslahatan, padahal sedang berbuat kerusakan karena kerakusan.
            Angkutan umum biru bergaris kuning sampai di terminal angkutan umum, memarkir diri bersama angkutan umum-angkutan umum yang lain. Aku berjalan perlahan ke arah utara, sepuluh meter berjalan, aku sampai di depan rumah. “Kak Nayla… Ibu, kak Nayla pulang bu!” celoteh adikku sangat antusias.
            “Assalamu’alaikum” Ucapku.
            “Wa’alaikumussalam, aduh kenapa tidak minta jemput Nay?” Tanya ibu kepadaku.
             “tidak usah bu, Nayla kan bisa naik angkutan umum. Orang-orang di rumah juga pasti sibuk kan”
            “yasudah, simpan tasnya. Istirahat dulu, ibu sudah masak” jelas ibu sambil tersenyum.
Aku beranjak naik menuju kamar. Menyimpan tas dan merebahkan tubuh diatas kasur. Aku melihat ke atas meja belajar. Handphone milikku bergetar. Ada beberapa pesan singkat masuk.
            Satu pesan dari Ibu Alni. Ada apa?
            “Nayla, Alni jatuh pingsan, tak sadarkan diri. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit Harapan Bunda”
            Innalillahi.. ada apa dengan Alni, beberapa jam yang lalu ia baik-baik saja. Pagi tadi ia masih tersenyum kepadaku. Wajahku pucat, tubuhku lemas. Aku langsung bergegas menuju rumah sakit. Khawatir, khawatir dengan kondisi Alni. “Allahku, seizinmu tak ada yang mustahil. Sembuhkan Alni ya Allah.” Lirihku dalam hati.
            “Mau kemana Nay? Baru juga sampai” Tanya ibu.
            “Alni masuk rumah sakit bu”
            “Kenapa?”
            “Nay juga tidak tahu kenapa, Nay berangkat ya bu. Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumussalam”
            Aku pergi dengan motor ibu. Memecah macet jalanan karena rumah sakit tempat Alni dirawat tepat di jantung kota, butuh waktu satu jam lebih untuk sampai disana. Banyak Tanya yang berputaran dalam fikiranku. Berujung pada Tanya “ada apa?” yang tak bisa kujawab. Sesampainya di rumah sakit, aku berhambur ke ruang Unit Gawat Darurat.
            “Alni kenapa bu?” tanyaku cemas.
            “Ibu juga tidak tahu Nay. Supir angkutan umum yang membawa Alni kesini. Alni tiba-tiba pingsan di dalam angkutan umum” jelas ibu dengan cemas.
            “Apa dokter sudah bicara apa penyebabnya?”
            “belum, Alni masih diperiksa di dalam. Tidak ada yang boleh masuk”
Alni hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah tiada sejak Alni kecil. Meski sejak kecil ia hanya tinggal bersama ibunya, Alni tetap tumbuh menjadi anak ceria dan menyenangkan. Setiap pulang dari pesantren ia selalu menyempatkan diri mengajar di madrasah sore. Terkadang ia juga mengajar anak-anak jalanan membaca dan menulis. Meski ia hanya tinggal bersama ibunya, tetapi ia punya banyak orang yang menyayanginya.
            Tiga jam pemeriksaan. Kondisi Alni memburuk. Dokter menjelaskan ada pembengkakan di saraf otaknya. Menyumbat aliran darah menuju otak. Alni dirujuk ke ruang ICU, ia berada dalam keadaan koma. Pemeriksaan serius masih terus dilakukan. Kesadaran Alni semakin menurun. Belalai-belalai rumah sakit melilit tubuhnya. Kotak hitam dengan garis hijau naik turun di dalamnya setia menemani.
            Semalaman, aku dan ibunya menanti. Memandangi iba dari luar, menatap alni dengan wajahnya yang tetap berbinar meski dalam kondisi yang kritis. Dokter masih belum memberikan kejelasan apa yang terjadi dengan alni.
***
            Adzan shubuh berkumandang, memenuhi langit-langit rumah sakit.
            Aku beranjak dari kursi tunggu. Diikuti langkah ibunda Alni menuju masjid. kami berhambur dalam rukuk dan sujud, memohon yang terbaik untuk Alni. Aku tahu, saat ini dan kapanpun, kuasa Allah lah yang menentukan takdir seseorang. Maka harus kugantungkan kemana do’a-do’aku jika bukan pada Rabb semesta alam.
            Selepas shubuh, tim dokter mengundang ibunda Alni ke ruangannya. Aku ikut.
            “Ibu, mohon maaf sebelumnya. Jika kabar yang kami sampaikan mungkin akan sangat mengejutkan” jelas dokter sangat serius.
            Ia menarik nafas, lalu melanjutkan penjelasannya “Ibu, setelah pemeriksaan yang kami lakukan, kami menemukan penurunan fungsi gerak, fikiran, dan kerusakan di beberapa bagian saraf otak yang cukup serius. Anak ibu sepertinya telah lama terserang penyakit meningitis. Sehingga anak ibu selama ini mungkin seringkali mengeluh pusing yang teramat sangat. Saat ini, virus itu telah mennjalar ke hampir seluruh bagian otak, merusak bagian-bagian saraf otak. Kami berusaha yang terbaik, namun kami tidak dapat melakukan tindakan apapun pada otak anak ibu. Sebab virus ini telah masuk ke bagian paling dalam. Hanya kuasa Allah yang dapat menyembuhkannya. Berdo’a yang terbaik untuk anak ibu”
            Aku menatap wajah ibunda Alni. Wajahnya seketika pucat pasi mendengar penjelasan dokter. Ia tidak mengira, anak satu-satunya yang paling dicinta harus mengalami kejadian sepahit ini. Apa ia akan ditinggal cahaya kehidupannya kembali. Oh Allah, sembuhkan sahabatku.
            Air mata mengalir deras dari kedua mata ibunda Alni. Ruangan dokter hening, hanya menyisakan serpihan kesedihan. Kepingan-kepingan hati yang berserakan ditimpa takdir kehidupan. “Ibu, berdo’alah pada Allah. Mohonlah yang terbaik untuk Alni” ucapku lirih berusaha menahan tangis.
            Aku dan ibunda Alni berdiri mematung di depan ruang ICU. Menatap sejuta sendu kehidupan. Aku dan ibunda Alni diperbolehkan masuk ke ruangan ICU dengan seragam lengkap. Sarung tangan, masker, hingga seluruh tubuh kami steril. Ibunda Alni mengelus Alni dengan sejuta kasih. Mengecup keningnya dan membisikan rindu di telinganya. “Alni, ibu mohon bangunlah. Jangan tinggalkan ibu sendiri” Ucapnya lirih.
            Kesadaran Alni sempat meningkat, namun turun kembali dan terus-menerus turun. Pukul sepuluh pagi, kotak hitam dengan garis hijau itu menunjukan garis yang terus-menerus turun, bahkan hampir datar. Dari mulut Alni keluar busa. Sontak aku memanggil tim dokter. Dengan panik aku berlarian keluar, meminta bantuan. Alni semakin memburuk kondisinya, aku tak mengerti. Kotak hitam dengan garis hijau semakin lemah. Garis-garis yang terbentuk tak lagi fluktuatif.
            Ibunda Alni menggenggam tangan Alni dengan kuat. Alni terus kejang semakin keras. Kesadarnnya semakin menurun. Sekujur tubuhnya mulai dingin dan kaku. “Laa ilaaha illallah” bisik ibunda alni terus menerus. Ia seakan mengerti ujungnya akan bermuara dimana.
            Kotak hitam itu menunjukkan garis hijau yang membentuk garis lurus. Kesadaran Alni tidak ada sama sekali. Tubuhnya tak lagi kejang-kejang. telah berhenti. Tubuhnya kaku tak bergerak. Tak ada lagi hembusan nafas meski sejengkal. Tak ada lagi denyut nadi meski hanya setitik “innalillahi wa inna ilaihi raaji’un”.
            Ibunda Alni berhambur memeluk anaknya. Tangisnya pecah menahan sendu. Pukul dua belas siang. Alni pergi meninggalkan dunia yang sementara. Beranjak melangkah menuju kebahagian yang hakiki. Memeluk keindahan di sisi Illahi Rabbi.
***
            Ratusan orang datang mengantar kepulangannya ke pangkuan Illahi Rabbi. Baru kali ini, aku memandang ratusan orang, bahkan lebih, mengantar seseorang menuju peristirahatan terakhir. Setiap orang menangis, bersedih. Langit sore itu berlumuran kesedihan. Tenggelam dalam air mata kesedihan.
            Aku berdiri mematung. Pagi kemarin, ya pagi kemarin. Aku masih bersamanya, menatap senyumnya. Malam kemarin, aku masih menatap indahnya semesta bersama. Menghitung ribuan bintang di angkasa. Hingga hari ini aku menghitung butir-butir pilu kepergianmu. Sungguh Allah dan takdirnya adalah rahasia, yang tak pernah bisa kumengerti bagaimana semuanya terjadi.
            Kain putih bernama kafan resmi membalut tubuhnya rapih. Shalat jana’iz di tegakkan. Ratusan orang mengantarkannya hingga ke peristirahatan yang terakhir. Jasadnya rapih tertimbun tanah coklat kemerahan. Jasad yang dulu selalu tersenyum kepadaku. Jasad yang dulu selalu menyemangatiku. Jasad yang dulu selalu mendekapku dikala terjatuh. Jasad itu kini rapih tersimpan dalam bumi Allah. Menutup khusnul khatimah perjuangannya.
            Satu persatu kembali. Bersama tangis sendu bernama kesedihan. Menyisakan Aku yang masih berdiri mematung di depan pusaranya. Seakan kejadian ini adalah mimpi, dan aku berharap Allah segera membangunkanku dari mimpi ini. Alni, kenapa engkau mendahuluiku. Saat kita sama-sama berikrar hijrah menjadi lebih baik.
            Alni, pertemuan kita begitu singkat. Tapi aku seperti telah mengenalmu seumur hidupku. Aku selalu ingat senyum indahmu setahun lalu. Menyapaku, memperkenalkan diri. Alni, aku sadar, ketetapan Allah adalah yang terbaik. Aku tak akan mengutuk kehilangan. Aku tak akan membenci kesedihan. Aku bahagia, karena Allah lebih merindukanmu daripada aku. Ia ingin engkau segera bersama disisi-Nya. Aku cemburu, karena engkau lebih dulu melihat surga.
            Alni, air mata tak mampu kubendung, begitupula kesedihan. Tapi aku selalu ingat nasihatmu. Bahwa kematian adalah sebuah kepastian, meski kita tak pernah tahu kapan ia akan menjemput. Ini hanya sekedar siapa yang lebih dulu mengantar, dan siapa yang lebih dulu diantar. Begitu katamu. Kemarin malam, bersama semesta, aku tahu bahwa engkau menyayangiku sebagai sahabat karena Allah. Cukup bagiku. Mengatehui bahwa diriku disayangi oleh kekasih Allah. Semoga Allah pertemukan kita, dua orang yang bersahabat karena Allah.
            Aku memegang pusaranya. Memegang tanah merah kecoklatan, tempat jasadnya beristirahat. Aku berbisik, “Alni, Allah lebih menyayangimu”.

0 komentar:

Posting Komentar