Rabu, 05 Juli 2017

Ikatan Doa

doa, ikatan doa, elfa al aufa, juara, cerpen juara
Jalanan ramai. Mobil, motor, angkutan umum, bis, memenuhi jalanan kota. Asapnya mengepul ke udara. Hari senin, hari macet sedunia. Maklum, ini hari pertama kerja, hari pertama bersekolah, semua tumpah ruah di jalanan yang sama.
Jam di tanganku menunjukkan jam 8 pagi. Aku bergegas ke halte, menunggu bis 09. Dari kejauhan, bis biru melaju pelan mendekati halte. Kakiku melangkah masuk, mencari tempat kosong. Aku berdiri di dekat jendela. Memandangi jalanan dan orang-orang yang juga terburu-buru menuju tempat tujuan.
Aku turun di halte balai kota. Berjalan menuju taman sejarah. Mataku menyapu sekitar, mencari alif. Sahabatku. Seorang lelaki tertunduk lesu di salah satu kursi taman. Wajahnya tertunduk, jiwanya tak bersama raganya.

“Assalamu’alaikum.. hei lif, jangan bengong terus…” sapaku sambil tersenyum
“Eh yas, kapan sampai?” jawabnya.
“Kamu ngga akan jawab salamku lif?” tanyaku.
“oh iya, wa’alaikumussalam warahmatullah yas” jawabnya tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Nah gitu dong lif, kan sama-sama mendoakan kebaikan kalau begitu”
Wajahnya masih terntunduk. Terdiam dalam kesedihan. Entah ada apa dengan sahabatku yang satu ini. Biasanya semasa di pesantren ia adalah orang yang paling ceria di kelas. Paling jago membuat orang tertawa. Tapi, hari ini sungguh berbeda. Ia bukan alif yang kukenal.
“Kamu kenapa lif? Seperti baru gagal wawancara beasiswa saja” tanyaku sambil tertawa kecil.
“ngga apa-apa yas, hanya sedang tidak semangat saja” jawabnya.
“wah bahaya tuh lif, ini hari senin dan kamu gak semangat? Bisa dijewer sama ust. Adang” kataku sambil tertawa
Ust. Adang adalah guru muthala’ah kami semasa di pesantren. Ia mengajar di setiap hari senin. Jika ada santri yang tidak semangat belajar, ia akan menjewer kupingnya dan menyuruhnya bernyanyi di depan kelas. Sebab katanya, kalau ada santri yang tidak semangat, bisa menyebarkan virus malas di kelas. Ah, begitulah ust. Adang. Memiliki caranya sendiri agar kita selalu semangat belajar.
“disini tidak ada ust. Adang yas” jawabnya datar.
“Lif, kita sudah berkawan lama. Kita satu bangku, satu asrama, makan sepiring berdua. Saat hatimu gusar atau gundah, maka aku pun bisa merasakannya lif. Ada apa lif? Kadang, masalah hanya perlu dibagi, agar ada pundak lain, yang membantu menopangnya atau bahkan meringankannya” kataku.
Suasana pun hening sejenak. Alif terdiam memandangi langit. Mencoba menapaki awan-awan di langit satu persatu. Memandangi burung-burung yang berterbangan.
“Yas, apa takdir Allah selalu tak adil?” tanyanya.
“Istighfar lif, kenapa bertanya seperti itu? Kamu tidak ingat lif, bahwa takdir Allah lebih baik dari rencana manusia. Bukankah kita sama-sama hafal surat al-Baqarah ayat 216.”
***
Semilir angin menerpa keheningan. Alif terdiam sejenak, mengambil nafas, lalu kemudian beristighfar. Lisannya berdzikir memohon ampun. Diiringi riak dedaunan, bertasbih bersama alam.
“Maafkan aku yas. Aku tak pernah ragu dengan ketentuan Allah. Mungkin ini rasanya sakit, ketika menggantungkan harapan kepada manusia. Kau masih ingat resti?” tanyanya.
“tentu, santriwati asal makasar bukan? Ada apa dengannya?” tanyaku heran.
“Ia akan menikah minggu depan yas. Aku jatuh hati padanya, tapi takdir Allah mendahului apa yang tersimpan dalam hati. Sampai aku merasa jika Allah tak pernah adil pada urusan hati”
“Lif, jatuh hati itu fitrah. Tak ada yang bisa mencegahnya, ataupun melarangnya. Ia adalah fitrah dari yang Maha Membolak-balikkan hati. Namun, jatuh hati tidak selalu tentang memiliki. Ikhtiar kita, mungkin tidak sejalan dengan takdir kita. Tapi takdir yang berada di hadapan mata kita, tentu lebih baik dari apa yang ada di dalam angan kita lif. Jika memang berjodoh, maha mudah bagi Allah membolak-balik hati manusia”. Jelasku
“tapi kenapa hatiku sakit yas?” tanyanya heran.
“karena kadang, kita harus merasakan sakitnya kehilangan, untuk menyadari betapa berharganya memiliki. Lif, dunia ini bukan tentang urusan jatuh hati saja. Masih ada pekerjaan rumah tentang persoalan umat. Jika waktunya tiba, mudah bagi Allah mempersatukan dua hati yang terpisah. Lif, jika sakit hati karena wanita, mungkin Allah ingin mengekang hawa nafsu kita. Agar tak jatuh hati hanya berdasar nafsu diri, tapi benar-benar karena Illahi Rabbi”
“Hapus rasa sedihmu lif, benamkan segala kesedihan dalam untaian doa. biarkan perasaanmu menguntai doa kepada-Nya. Sampai ia berikan jawaban terbaik dalam kehidupan kita” jawabku.
Alif terdiam. Terpaku memandangi hamparan awan di langit. Bergumpal menjadi satu, membuat suasana teduh dan sejuk.
***
“Kamu benar yas. Mungkin aku hanya ingin memiliki, bukan jatuh hati karena Illahi rabbi. Sebab itu, jatuhnya menjadi begitu menyakitkan. Aku harus bangkit yas, tidak boleh jatuh karena urusan perasaan. Aku bodoh jika hati menjadi gelisah karena selain Allah. Nasehati aku yas, nasehati aku jika aku keliru” ucapnya.
“kita saling menguatkan lif. Urusan hati itu fitrah, tinggal bagaimana kita berikhtiar, agar setiap ikhtiar kita senantiasa berada di jalan-Nya. Jodoh, rezeki, maut, dan lain sebagainya telah tercatat di lauhil mahfuzh. Selanjutnya adalah ikhtiar kita untuk menjemput takdir terbaik dengan ikhtiar yang terbaik”
Kami termenung dalam diam. lalu sama-sama tersenyum, saling memandang satu sama lain. Jalanan balai kota Nampak mulai lengang. Setiap orang telah sampai di tempat tujuannya. Kantor, sekolah, dan di berbagai tempat di sudut kota. Tersisa aku dan alif, menikmati keindahan kota dikala lengang.
Kaki kami melangkah, menyusuri jalanan kota ditemani terik mentari yang mulai meninggi.
“kamu jadi melanjutkan kuliah ke turki yas?” Tanya alif.
“InsyaaAllah lif, bulan depan aku berangkat” jawabku.
“Bagaimana dengan Aisyah yas? Apa tidak akan apa-apa?”
“Aisyah sehat, baik-baik saja. Terakhir ia juara lomba pidato se-Provinsi.”
“maksudku bagaimana rencana ke depan dengan Aisyah?”
“Lif, aku telah mengikhlaskan perasaanku. Sama seperti Aisyah mengikhlaskan perasaannya kepadaku. Aku meyerahkan penjagaannya pada sebaik-baik penjaga lif, Allah. Kami memang tidak terikat dengan ikatan apapun, selain ikatan doa. dan bagiku lif, itu adalah ikatan terkuat untuk saat ini. Saling mendoakan yang terbaik, sebab doa tidak pernah terbatas jarak dan waktu”
“Aku selalu ingat nasihat ibunya, saat aku memutuskan datang ke hadapan kedua orangtuanya. Ibunya sambil tersenyum berkata kepadaku lif, nak tidak perlu ada ikatan apapun diantara kamu dan Aisyah. Cukuplah dengan saling mendoakan yang terbaik, saling menyangi dalam ikatan doa. nak yasfa, tidak perlu cemas. Aisyah tentu akan menjaga pilihannya, sama seperti nak yasfa menjaga pilihan nak yasfa
“Lif, aku dan Aisyah memang terpisah jarak ratusan kilometer, atau bahkan nanti menjadi jutaan kilometer. Tapi lif, kami selalu dekat dan lekat dalam doa. aku dan Aisyah memang tidak pernah berjumpa, bahkan aku tak ingat bagaimana suaranya. Tapi, bagiku merindu dalam doa adalah romantis lif. Karena kita selalu melibatkan Allah dalam setiap rasa yang kita miliki. Aku hanya selalu berdoa kepada Allah, bimbinglah jalan cinta ini, agar menjadi jalan cinta yang Allah ridhai” jelasku.
Alif terdiam. Lalu seketika langkah kami terhenti. Alif menepuk punggungku.
“terimakasih yas, terimakasih untuk segala nasihat terbaik itu. Aku akan mencoba mengikhlaskan perasaan ini, seikhlas embun di pagi hari, yang hadir menyejukkan tanpa meminta sebuah balasan. Doakan aku lif. Doakan aku bertemu dengan sahabat-sahabat baik, yang selalu mengingatkanku kepada-Nya” ucap alif.
“Tentu lif, semoga tempat kita bertemu kembali adalah surga. Doakan aku di Turki lif. Doakan aku istiqomah di jalan-Nya…” jawabku.
Kami berdua pun melanjutkan perjalanan. Mengelilingi kota ini, menikmati setiap jengkalnya untuk menjadi sesuatu yang dirindukan. Esok lusa, aku dan alif akan tepisah jarak yang jauh. Kita sama-sama memilih melanjutkan studi magister di luar kota. Namun, kami selalu yakin, jarak yang terpisah tak akan mengubah ikatan persahabatan diantara kita, sebab ikatan itu selalu terjaga dengan ikatan doa.
***
Senja telah terbit di ufuk barat. Memisahkan antara matahari dan bulan, memisahkan antara gelap dan terang. Jalanan kembali memadat dengan berbagai kendaraan. Alif pamit pulang lebih dulu. Ada beberapa berkas yang harus diselesaikan sebelum keberangkatan. Sementara aku, memilih menikmati keindahan kota yang akan aku rindukan. Aku memilih melangkahkan kaki menuju masjid kota.
Lantunan adzan berkumandang dengan indah, menggema ke seluruh penjuru kota. Menyeru orang-orang yang mencintai-Nya. Kumandang indah yang tentu akan selalu kurindukan. Aku melangkah masuk, mengambil air wudhu, lalu kemudian rukuk dan sujud berjama’ah. Bersama dengan jama’ah lain, yang tenggelam dalam lantunan cinta kepada-Nya.
Selepas shalat, aku berjalan keluar. Menyusuri sungai menuju halte bis. Aku terhenti sejenak di jembatan kota. Memandangi arus sungai yang berjalan dengan indah, berjalan mengikuti takdirnya. Kau tahu, air itu mengalir tanpa tahu kemana berakhir. Namun ia berjalan dengan ikhlas, memecah bebetauan, melewati jalanan terjal dan sempit, lalu sampai di ujung keindahan, yaitu lautan yang luas.
Setiap manusia pun memiliki takdir terbaik dalam hidupnya, hanya perlu ikhtiar memecahkan masalah-masalah yang menerjang, mengikhlaskan hati dalam mencari celah-celah kebaikan, untuk sampai di ujung takdir terbaiknya.
“Aisyah, apa kabar denganmu? Mudah-mudahan selalu baik-baik saja. Aku, selalu yakin jika perasaan tak hanya tumbuh dengan perjumpaan, tetapi merekah dalam doa-doa kebaikan. Biarlah kita terpisahkan jarak yang begitu jauh, tak banyak berjumpa, tak banyak berbicara. Namun, semua jarak itu dilipat menjadi dekat, dalam doa-doa yang kita jumpakan di hadapan Allah. Biarlah hari ini, kita terikat dalam ikatan doa. Doa-doa kebaikan yang mengikat hati kita, agar selalu bertaut kepada-Nya. Hingga sampai di ujung takdir nanti, ikatan doa itu yang akan mempertemukan kita dalam perjumpaan yang penuh dengan keberkahan. Bersabarlah dengan segala ketentuan-Nya”. Gumamku
Aku tidak akan sibuk memikirkan penjagaanmu, sebab aku dan dirimu terikat dalam ikatan doa, ikatan yang mempertemukan dua hati karena-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar