Jalanan ramai. Mobil, motor, angkutan umum, bis, memenuhi jalanan
kota. Asapnya mengepul ke udara. Hari senin, hari macet sedunia. Maklum, ini hari
pertama kerja, hari pertama bersekolah, semua tumpah ruah di jalanan yang sama.
Jam di tanganku menunjukkan jam 8 pagi. Aku bergegas ke halte,
menunggu bis 09. Dari kejauhan, bis biru melaju pelan mendekati halte. Kakiku
melangkah masuk, mencari tempat kosong. Aku berdiri di dekat jendela.
Memandangi jalanan dan orang-orang yang juga terburu-buru menuju tempat tujuan.
Aku turun di halte balai kota. Berjalan menuju taman sejarah.
Mataku menyapu sekitar, mencari alif. Sahabatku. Seorang lelaki tertunduk lesu
di salah satu kursi taman. Wajahnya tertunduk, jiwanya tak bersama raganya.
“Assalamu’alaikum.. hei lif, jangan bengong terus…” sapaku sambil
tersenyum
“Eh yas, kapan sampai?” jawabnya.
“Kamu ngga akan jawab salamku lif?” tanyaku.
“oh iya, wa’alaikumussalam warahmatullah yas” jawabnya tersenyum
sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Nah gitu dong lif, kan sama-sama mendoakan kebaikan kalau begitu”
Wajahnya masih terntunduk. Terdiam dalam kesedihan. Entah ada apa
dengan sahabatku yang satu ini. Biasanya semasa di pesantren ia adalah orang
yang paling ceria di kelas. Paling jago membuat orang tertawa. Tapi, hari ini
sungguh berbeda. Ia bukan alif yang kukenal.
“Kamu kenapa lif? Seperti baru gagal wawancara beasiswa saja”
tanyaku sambil tertawa kecil.
“ngga apa-apa yas, hanya sedang tidak semangat saja” jawabnya.
“wah bahaya tuh lif, ini hari senin dan kamu gak semangat? Bisa
dijewer sama ust. Adang” kataku sambil tertawa
Ust. Adang adalah guru muthala’ah kami semasa di pesantren. Ia
mengajar di setiap hari senin. Jika ada santri yang tidak semangat belajar, ia
akan menjewer kupingnya dan menyuruhnya bernyanyi di depan kelas. Sebab katanya,
kalau ada santri yang tidak semangat, bisa menyebarkan virus malas di kelas.
Ah, begitulah ust. Adang. Memiliki caranya sendiri agar kita selalu semangat
belajar.
“disini tidak ada ust. Adang yas” jawabnya datar.
“Lif, kita sudah berkawan lama. Kita satu bangku, satu asrama,
makan sepiring berdua. Saat hatimu gusar atau gundah, maka aku pun bisa
merasakannya lif. Ada apa lif? Kadang, masalah hanya perlu dibagi, agar ada
pundak lain, yang membantu menopangnya atau bahkan meringankannya” kataku.
Suasana pun hening sejenak. Alif terdiam memandangi langit. Mencoba
menapaki awan-awan di langit satu persatu. Memandangi burung-burung yang
berterbangan.
“Yas, apa takdir Allah selalu tak adil?” tanyanya.
“Istighfar lif, kenapa bertanya seperti itu? Kamu tidak ingat lif,
bahwa takdir Allah lebih baik dari rencana manusia. Bukankah kita sama-sama
hafal surat al-Baqarah ayat 216.”
***
Semilir angin menerpa keheningan. Alif terdiam sejenak, mengambil
nafas, lalu kemudian beristighfar. Lisannya berdzikir memohon ampun. Diiringi
riak dedaunan, bertasbih bersama alam.
“Maafkan aku yas. Aku tak pernah ragu dengan ketentuan Allah.
Mungkin ini rasanya sakit, ketika menggantungkan harapan kepada manusia. Kau
masih ingat resti?” tanyanya.
“tentu, santriwati asal makasar bukan? Ada apa dengannya?” tanyaku
heran.
“Ia akan menikah minggu depan yas. Aku jatuh hati padanya, tapi
takdir Allah mendahului apa yang tersimpan dalam hati. Sampai aku merasa jika
Allah tak pernah adil pada urusan hati”
“Lif, jatuh hati itu fitrah. Tak ada yang bisa mencegahnya, ataupun
melarangnya. Ia adalah fitrah dari yang Maha Membolak-balikkan hati. Namun,
jatuh hati tidak selalu tentang memiliki. Ikhtiar kita, mungkin tidak sejalan
dengan takdir kita. Tapi takdir yang berada di hadapan mata kita, tentu lebih
baik dari apa yang ada di dalam angan kita lif. Jika memang berjodoh, maha
mudah bagi Allah membolak-balik hati manusia”. Jelasku
“tapi kenapa hatiku sakit yas?” tanyanya heran.
“karena kadang, kita harus merasakan sakitnya kehilangan, untuk menyadari
betapa berharganya memiliki. Lif, dunia ini bukan tentang urusan jatuh hati saja.
Masih ada pekerjaan rumah tentang persoalan umat. Jika waktunya tiba, mudah
bagi Allah mempersatukan dua hati yang terpisah. Lif, jika sakit hati karena
wanita, mungkin Allah ingin mengekang hawa nafsu kita. Agar tak jatuh hati
hanya berdasar nafsu diri, tapi benar-benar karena Illahi Rabbi”
“Hapus rasa sedihmu lif, benamkan segala kesedihan dalam untaian doa.
biarkan perasaanmu menguntai doa kepada-Nya. Sampai ia berikan jawaban terbaik
dalam kehidupan kita” jawabku.
Alif terdiam. Terpaku memandangi hamparan awan di langit. Bergumpal
menjadi satu, membuat suasana teduh dan sejuk.
***
“Kamu benar yas. Mungkin aku hanya ingin memiliki, bukan jatuh hati
karena Illahi rabbi. Sebab itu, jatuhnya menjadi begitu menyakitkan. Aku harus
bangkit yas, tidak boleh jatuh karena urusan perasaan. Aku bodoh jika hati
menjadi gelisah karena selain Allah. Nasehati aku yas, nasehati aku jika aku
keliru” ucapnya.
“kita saling menguatkan lif. Urusan hati itu fitrah, tinggal
bagaimana kita berikhtiar, agar setiap ikhtiar kita senantiasa berada di
jalan-Nya. Jodoh, rezeki, maut, dan lain sebagainya telah tercatat di lauhil
mahfuzh. Selanjutnya adalah ikhtiar kita untuk menjemput takdir terbaik dengan
ikhtiar yang terbaik”
Kami termenung dalam diam. lalu sama-sama tersenyum, saling
memandang satu sama lain. Jalanan balai kota Nampak mulai lengang. Setiap orang
telah sampai di tempat tujuannya. Kantor, sekolah, dan di berbagai tempat di
sudut kota. Tersisa aku dan alif, menikmati keindahan kota dikala lengang.
Kaki kami melangkah, menyusuri jalanan kota ditemani terik mentari yang
mulai meninggi.
“kamu jadi melanjutkan kuliah ke turki yas?” Tanya alif.
“InsyaaAllah lif, bulan depan aku berangkat” jawabku.
“Bagaimana dengan Aisyah yas? Apa tidak akan apa-apa?”
“Aisyah sehat, baik-baik saja. Terakhir ia juara lomba pidato se-Provinsi.”
“maksudku bagaimana rencana ke depan dengan Aisyah?”
“Lif, aku telah mengikhlaskan perasaanku. Sama seperti Aisyah
mengikhlaskan perasaannya kepadaku. Aku meyerahkan penjagaannya pada
sebaik-baik penjaga lif, Allah. Kami memang tidak terikat dengan ikatan apapun,
selain ikatan doa. dan bagiku lif, itu adalah ikatan terkuat untuk saat ini.
Saling mendoakan yang terbaik, sebab doa tidak pernah terbatas jarak dan waktu”
“Aku selalu ingat nasihat ibunya, saat aku memutuskan datang ke
hadapan kedua orangtuanya. Ibunya sambil tersenyum berkata kepadaku lif, nak
tidak perlu ada ikatan apapun diantara kamu dan Aisyah. Cukuplah dengan saling
mendoakan yang terbaik, saling menyangi dalam ikatan doa. nak yasfa, tidak
perlu cemas. Aisyah tentu akan menjaga pilihannya, sama seperti nak yasfa
menjaga pilihan nak yasfa”
“Lif, aku dan Aisyah memang terpisah jarak ratusan kilometer, atau
bahkan nanti menjadi jutaan kilometer. Tapi lif, kami selalu dekat dan lekat
dalam doa. aku dan Aisyah memang tidak pernah berjumpa, bahkan aku tak ingat
bagaimana suaranya. Tapi, bagiku merindu dalam doa adalah romantis lif. Karena kita
selalu melibatkan Allah dalam setiap rasa yang kita miliki. Aku hanya selalu
berdoa kepada Allah, bimbinglah jalan cinta ini, agar menjadi jalan cinta
yang Allah ridhai” jelasku.
Alif terdiam. Lalu seketika langkah kami terhenti. Alif menepuk
punggungku.
“terimakasih yas, terimakasih untuk segala nasihat terbaik itu. Aku
akan mencoba mengikhlaskan perasaan ini, seikhlas embun di pagi hari, yang
hadir menyejukkan tanpa meminta sebuah balasan. Doakan aku lif. Doakan aku
bertemu dengan sahabat-sahabat baik, yang selalu mengingatkanku kepada-Nya”
ucap alif.
“Tentu lif, semoga tempat kita bertemu kembali adalah surga. Doakan
aku di Turki lif. Doakan aku istiqomah di jalan-Nya…” jawabku.
Kami berdua pun melanjutkan perjalanan. Mengelilingi kota ini,
menikmati setiap jengkalnya untuk menjadi sesuatu yang dirindukan. Esok lusa,
aku dan alif akan tepisah jarak yang jauh. Kita sama-sama memilih melanjutkan
studi magister di luar kota. Namun, kami selalu yakin, jarak yang terpisah tak
akan mengubah ikatan persahabatan diantara kita, sebab ikatan itu selalu
terjaga dengan ikatan doa.
***
Senja telah terbit di ufuk barat. Memisahkan antara matahari dan
bulan, memisahkan antara gelap dan terang. Jalanan kembali memadat dengan
berbagai kendaraan. Alif pamit pulang lebih dulu. Ada beberapa berkas yang
harus diselesaikan sebelum keberangkatan. Sementara aku, memilih menikmati
keindahan kota yang akan aku rindukan. Aku memilih melangkahkan kaki menuju
masjid kota.
Lantunan adzan berkumandang dengan indah, menggema ke seluruh
penjuru kota. Menyeru orang-orang yang mencintai-Nya. Kumandang indah yang
tentu akan selalu kurindukan. Aku melangkah masuk, mengambil air wudhu, lalu
kemudian rukuk dan sujud berjama’ah. Bersama dengan jama’ah lain, yang
tenggelam dalam lantunan cinta kepada-Nya.
Selepas shalat, aku berjalan keluar. Menyusuri sungai menuju halte
bis. Aku terhenti sejenak di jembatan kota. Memandangi arus sungai yang
berjalan dengan indah, berjalan mengikuti takdirnya. Kau tahu, air itu mengalir
tanpa tahu kemana berakhir. Namun ia berjalan dengan ikhlas, memecah bebetauan,
melewati jalanan terjal dan sempit, lalu sampai di ujung keindahan, yaitu
lautan yang luas.
Setiap manusia pun memiliki takdir terbaik dalam hidupnya, hanya
perlu ikhtiar memecahkan masalah-masalah yang menerjang, mengikhlaskan hati
dalam mencari celah-celah kebaikan, untuk sampai di ujung takdir terbaiknya.
“Aisyah, apa kabar denganmu? Mudah-mudahan selalu baik-baik saja. Aku,
selalu yakin jika perasaan tak hanya tumbuh dengan perjumpaan, tetapi merekah
dalam doa-doa kebaikan. Biarlah kita terpisahkan jarak yang begitu jauh, tak
banyak berjumpa, tak banyak berbicara. Namun, semua jarak itu dilipat menjadi
dekat, dalam doa-doa yang kita jumpakan di hadapan Allah. Biarlah hari ini,
kita terikat dalam ikatan doa. Doa-doa kebaikan yang mengikat hati kita, agar
selalu bertaut kepada-Nya. Hingga sampai di ujung takdir nanti, ikatan doa itu
yang akan mempertemukan kita dalam perjumpaan yang penuh dengan keberkahan. Bersabarlah
dengan segala ketentuan-Nya”. Gumamku
Aku tidak akan sibuk memikirkan penjagaanmu, sebab aku dan dirimu
terikat dalam ikatan doa, ikatan yang mempertemukan dua hati karena-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar