Waktu bergulir begitu cepat, ia berjalan tanpa pernah terhenti. Ia melaju
tanpa pernah menunggu. Begitulah hakikat waktu, suatu kenikmatan yang Allah
berikan secara terbatas, tak terasa kita terus melaju melewati berbagai fase
waktu, hingga kadang kita tak sadar bahwa kita berada di penghujung waktu yang
Allah berikan.
Tak terasa, dalam hitungan jam kita akan memasuki tahun masehi yang
baru, tahun baru yang entah keberapa dalam hidup kita. Jalanan ramai dengan
hiruk pikuk manusia yang merayakan pergantian tahun, kembang api saling
bersahutan memenuhi penjuru langit, semua merasakan suka cita, merayakan hari
besar bernama “pergantian tahun”. Tidak sedikit, umat muslim yang
berbondong-bondong meniup terompet, menyalakan petasan, bersorak gembira
merayakan pergantian tahun.
Pernahkah muncul dalam benak kita makna pergantian tahun? Apakah ia
sebuah hari raya yang perlu dirayakan dengan kemeriahan?. Sebagai seorang
muslim, tentu kita harus melaksanakan segala amal perbuatan sesuai dengan
koridor al-Qur’an dan as-Sunnah, agar muara setiap amal yang kita usahakan di
dunia menjadi bernilai pahala dan kebaikan untuk kehidupan akhirat. jangan
sampai amal-amal kita di dunia menjadi tidak bermakna, sebab apa yang kita
lakukan dan perbuat bukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Umat islam sejatinya memiliki dua hari raya, sebagaimana dijelaskan
dalam sabda Rasulullah saw.:
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ قَدِمَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا فَقَالَ: (قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ
الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ)
Dari
Anas r.a. ia berkata: “Rasulullah saw telah datang (berhijrah) ke madinah,
sedangkan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main padanya. Maka beliau
bersabda; Sungguh Allah telah menukarkan untuk kalian dua hari itu dengan
(hari) yang lebih baik daripadanya, (yaitu) hari adha dan hari fithri.”
(Bulughul Maram: 108 no. 524)
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “قَدِمَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ” adalah datangnya
Rasulullah saw. dari mekkah setelah hijrah atau dengan kata lain adalah masa
awal hijrah Rasulullah saw. ke Madinah. Pada masa awal hijrah tersebut,
Rasulullah mengetahui bahwa di madinah ada dua hari raya besar. Muhammad
Abdurrauf al-Manawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan dua hari tersebut
adalah Nairuz dan Mihrajan.[1]
Nairuz adalah hari pertama pada tahun syamsiyyah, dan dia adalah
termasuk hari raya bangsa Persia (Iran). Nairuz atau neroz merupakan awal tahun
baru Persia. Hari raya neroz sendiri merupakan hari raya terbesar Persia. Bangsa
Persia berkeyakinan bahwa manusia dilahirkan pada hari raya Neroz yang
bertepatan dengan 21 Maret setiap tahun. Keyakinan ini berasal dari keyakinan
Zoroaster yang merupakan salah satu agama kuno yang menjadi unsur penting dalam
pembangunan peradaban Persia. Sedangkan Mihrajan adalah awal hari matahari
berpindah padanya bintang Libra, sebagaimana nampaknya dalam perbandingannya
dengan Nairuz, dan biasanya terjadi pada bulan Tur dari bulan-bulan Qibthiyyah
juga. Keduanya (Nairuz dan Mihrajan) adalah dua hari yang pertengahan dalam
udara (iklim), panas dan dingin, sama padanya malam dan siangnya.[2]
Pesta tahun baru sendiri, merupakan syiarnya kaum yahudi yang
dijelaskan di dalam taurat mereka, yang mereka sebut dengan awal Hisya atau
Pesta awal tahun baru, yaitu hari pertama tasyrin, yang mereka anggap sama
dengan hari raya idul adha umat islam. Mereka mengklaim bahwa pada hari itu,
Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ishaq. Tentu ini adalah sebuah
kebohongan, sebab yang diperintahkan untuk disembelih adalah ismail. Sejarah mencatat
bahwa ismail lebih tua, dan usia Ibrahim saat itu 99 tahun.
Setelah kaum yahudi, kaum nasrani pun mengikuti jejaknya dengan
berkumpul pada malam awal tahun miladiyah. Di dalam perayaan ini mereka
melakukan do’a dan upacara khusus serta bergadang hingga tengah malam. Mereka habiskan
malam mereka dengan menari-nari, bernyanyi-nyanyi, makan-makan, dan minum-minum
hingga menjelang detik-detik akhir tengah malam. Setelah itu lampu dipadamkan,
dan setiap orang akan memeluk orang disampingnya selama lima menit. Dan semuanya
telah diatur agar disamping mereka adalah lawan jenisnya. Hari ini kita
menyaksikan, bahwa perayaan akhir tahun pada akhirnya dianggap sebagai ritual
tahunan, yang lazim keberadaanya ditengah-tengah masyarakat.
Kedatangan Islam kemudian mengganti kedua hari tersebut dengan hari
raya yang lebih baik yakni hari raya idul adha dan idul fithri. Muhammad Abdurrauf
al-Manawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan أَبْدَلَ adalah pergantian
itu menghendaki meninggalkan yang digantikan, karena tidak akan berkumpul
antara pengganti dengan yang digantikan, oleh karena itu ungkapan ini tidak
digunakan melainkan dalam meninggalkan perkumpulan keduanya, yaitu Nairuz dan
Mihrajan.[3] Dengan
kata lain, saat islam telah mensyariatkan dua hari raya idul adha dan idul
fitri sebagai pengganti yang lebih baik, sudah sepatutnya seorang muslim
meninggalkan dua hari raya sebelumnya, dan hari-hari serta perayaan-perayaan
yang serupa dengannya. Bahkan di dalam suatu hadits dijelaskan bahwa
barangsiapa yang meramaikan peringatan hari raya nairuz dan karnaval mereka
serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan
dibangkitkan bersama mereka di hari Kiamat.
Syaikh Islam (Ibnu Taimiyyah) berkata “dalil-dalil dari kitab
(al-Qur’an), sunnah, Ijma, Atsar, dan I’tibar menunjukkan bahwa menyerupai
orang-orang kafir itu dilarang”.[4]
Maka bagaiamana Menyikapi perayaan tahun baru sebagai Muslim,
adalah kita harus meyakini bahwa hari raya umat islam adalah hari raya idul
adha dan hari raya idul fitri, serta tak ada perayaan yang lebih baik daripada
keduanya. Sebab pergantian waktu sejatinya terjadi setiap detik, bahwa setiap
detik adalah detik yang baru. Manusia tidak lain ibarat kumpulan-kumpulan hari,
yang jika berlalu satu demi satu dari hari-hari tersebut, maka hilanglah
bagian-bagian dalam diri manusia. Hakikatnya waktu adalah kenikmatan yang
terbatas, yang Allah berikan kepada manusia sebagai modal mempersiapkan
perbekalan. Oleh karena itu, jangan sampai waktu-waktu kita terjebak dengan
amalan-amalan yang tidak berfaidah, bahkan terjebak pada amalan-amalan yang
menyerupai amalan-amalan orang-orang kafir. Wallahua’lam bish shawwab.
0 komentar:
Posting Komentar