Sabtu, 31 Desember 2016

Menyikapi Perayaan Tahun Baru Sebagai Muslim



Waktu bergulir begitu cepat, ia berjalan tanpa pernah terhenti. Ia melaju tanpa pernah menunggu. Begitulah hakikat waktu, suatu kenikmatan yang Allah berikan secara terbatas, tak terasa kita terus melaju melewati berbagai fase waktu, hingga kadang kita tak sadar bahwa kita berada di penghujung waktu yang Allah berikan.

Tak terasa, dalam hitungan jam kita akan memasuki tahun masehi yang baru, tahun baru yang entah keberapa dalam hidup kita. Jalanan ramai dengan hiruk pikuk manusia yang merayakan pergantian tahun, kembang api saling bersahutan memenuhi penjuru langit, semua merasakan suka cita, merayakan hari besar bernama “pergantian tahun”. Tidak sedikit, umat muslim yang berbondong-bondong meniup terompet, menyalakan petasan, bersorak gembira merayakan pergantian tahun.
Pernahkah muncul dalam benak kita makna pergantian tahun? Apakah ia sebuah hari raya yang perlu dirayakan dengan kemeriahan?. Sebagai seorang muslim, tentu kita harus melaksanakan segala amal perbuatan sesuai dengan koridor al-Qur’an dan as-Sunnah, agar muara setiap amal yang kita usahakan di dunia menjadi bernilai pahala dan kebaikan untuk kehidupan akhirat. jangan sampai amal-amal kita di dunia menjadi tidak bermakna, sebab apa yang kita lakukan dan perbuat bukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Umat islam sejatinya memiliki dua hari raya, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw.:
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: (قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ)
Dari Anas r.a. ia berkata: “Rasulullah saw telah datang (berhijrah) ke madinah, sedangkan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main padanya. Maka beliau bersabda; Sungguh Allah telah menukarkan untuk kalian dua hari itu dengan (hari) yang lebih baik daripadanya, (yaitu) hari adha dan hari fithri.” (Bulughul Maram: 108 no. 524)
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ” adalah datangnya Rasulullah saw. dari mekkah setelah hijrah atau dengan kata lain adalah masa awal hijrah Rasulullah saw. ke Madinah. Pada masa awal hijrah tersebut, Rasulullah mengetahui bahwa di madinah ada dua hari raya besar. Muhammad Abdurrauf al-Manawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan dua hari tersebut adalah Nairuz dan Mihrajan.[1]
Nairuz adalah hari pertama pada tahun syamsiyyah, dan dia adalah termasuk hari raya bangsa Persia (Iran). Nairuz atau neroz merupakan awal tahun baru Persia. Hari raya neroz sendiri merupakan hari raya terbesar Persia. Bangsa Persia berkeyakinan bahwa manusia dilahirkan pada hari raya Neroz yang bertepatan dengan 21 Maret setiap tahun. Keyakinan ini berasal dari keyakinan Zoroaster yang merupakan salah satu agama kuno yang menjadi unsur penting dalam pembangunan peradaban Persia. Sedangkan Mihrajan adalah awal hari matahari berpindah padanya bintang Libra, sebagaimana nampaknya dalam perbandingannya dengan Nairuz, dan biasanya terjadi pada bulan Tur dari bulan-bulan Qibthiyyah juga. Keduanya (Nairuz dan Mihrajan) adalah dua hari yang pertengahan dalam udara (iklim), panas dan dingin, sama padanya malam dan siangnya.[2]
Pesta tahun baru sendiri, merupakan syiarnya kaum yahudi yang dijelaskan di dalam taurat mereka, yang mereka sebut dengan awal Hisya atau Pesta awal tahun baru, yaitu hari pertama tasyrin, yang mereka anggap sama dengan hari raya idul adha umat islam. Mereka mengklaim bahwa pada hari itu, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ishaq. Tentu ini adalah sebuah kebohongan, sebab yang diperintahkan untuk disembelih adalah ismail. Sejarah mencatat bahwa ismail lebih tua, dan usia Ibrahim saat itu 99 tahun.
Setelah kaum yahudi, kaum nasrani pun mengikuti jejaknya dengan berkumpul pada malam awal tahun miladiyah. Di dalam perayaan ini mereka melakukan do’a dan upacara khusus serta bergadang hingga tengah malam. Mereka habiskan malam mereka dengan menari-nari, bernyanyi-nyanyi, makan-makan, dan minum-minum hingga menjelang detik-detik akhir tengah malam. Setelah itu lampu dipadamkan, dan setiap orang akan memeluk orang disampingnya selama lima menit. Dan semuanya telah diatur agar disamping mereka adalah lawan jenisnya. Hari ini kita menyaksikan, bahwa perayaan akhir tahun pada akhirnya dianggap sebagai ritual tahunan, yang lazim keberadaanya ditengah-tengah masyarakat.
Kedatangan Islam kemudian mengganti kedua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik yakni hari raya idul adha dan idul fithri. Muhammad Abdurrauf al-Manawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan أَبْدَلَ adalah pergantian itu menghendaki meninggalkan yang digantikan, karena tidak akan berkumpul antara pengganti dengan yang digantikan, oleh karena itu ungkapan ini tidak digunakan melainkan dalam meninggalkan perkumpulan keduanya, yaitu Nairuz dan Mihrajan.[3] Dengan kata lain, saat islam telah mensyariatkan dua hari raya idul adha dan idul fitri sebagai pengganti yang lebih baik, sudah sepatutnya seorang muslim meninggalkan dua hari raya sebelumnya, dan hari-hari serta perayaan-perayaan yang serupa dengannya. Bahkan di dalam suatu hadits dijelaskan bahwa barangsiapa yang meramaikan peringatan hari raya nairuz dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari Kiamat.
Syaikh Islam (Ibnu Taimiyyah) berkata “dalil-dalil dari kitab (al-Qur’an), sunnah, Ijma, Atsar, dan I’tibar menunjukkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itu dilarang”.[4] Maka bagaiamana Menyikapi perayaan tahun baru sebagai Muslim, adalah kita harus meyakini bahwa hari raya umat islam adalah hari raya idul adha dan hari raya idul fitri, serta tak ada perayaan yang lebih baik daripada keduanya. Sebab pergantian waktu sejatinya terjadi setiap detik, bahwa setiap detik adalah detik yang baru. Manusia tidak lain ibarat kumpulan-kumpulan hari, yang jika berlalu satu demi satu dari hari-hari tersebut, maka hilanglah bagian-bagian dalam diri manusia. Hakikatnya waktu adalah kenikmatan yang terbatas, yang Allah berikan kepada manusia sebagai modal mempersiapkan perbekalan. Oleh karena itu, jangan sampai waktu-waktu kita terjebak dengan amalan-amalan yang tidak berfaidah, bahkan terjebak pada amalan-amalan yang menyerupai amalan-amalan orang-orang kafir. Wallahua’lam bish shawwab.

*Disarikan dari Makalah Kajian Ustadz Asep Supian Nurdin di Masjid Manba'ul Huda pada Tahun 2015.

[1] Faidh al-Qaadiir, IV: 668-669.
[2] Al-Fath ar-Rabbani, VI:119.
[3] Faidh al-Qadiir, IV:669.
[4] Taudihul ahkam, II:297.

0 komentar:

Posting Komentar