Senin, 27 Maret 2017

Menulis, sulitkah?



pikiran rakyat, ahmad setiyaji, cara menulis mudah, memulai menulis
Pramoedya A. Toer pernah mengungkapkan, “orang boleh pandai setinggi langit, namun ketika ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Menulis memang pekerjaan yang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Menulis adalah mewariskan warisan intelektual, yang kehadiran dan kebermanfaatannya berlangsung lama.

Satria Darma (Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia), mengungkapkan budaya literasi Indonesia masih kalah jauh dibanding Negara-negara lain. Pada sebuah seminar di Jogja Expo Center, sebagai pembicara Ia Mengungkapkan "Ironisnya, banyak guru dan birokrat pendidikan termasuk pejabat belum paham juga apa itu literasi," (Republika.co.id). hal tersebut menggambarkan rendahnya budaya literasi atau tulis-menulis di kalangan masyarakat, ditambah banyak pula pejabat negeri yang belum faham apa itu literasi.
Rendahnya budaya literasi di kalangan masyarakat Indonesia berbanding lurus dengan rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia. Tulisan merupakan gambaran dari apa yang dibaca oleh penulisnya. Sebab tulisan adalah akumulasi dari wawasan-wawasan yang diperoleh dari setiap bacaan. Semakin banyak membaca, tentu akan semakin banyak wawasan, kosa kata, dan tata bahasa untuk menyusun sebuah kalimat. Di dalam data UNESCO pada 2012, diungkapkan bahwa hanya satu orang dari seribu penduduk yang melakukan kegiatan membaca. Hal tersebut menunjukkan rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia.
Penyebab lain rendahnya budaya literasi di Indonesia adalah budaya menonton masyarakat Indonesia yang sangat tinggi. Masih dilansir dalam republika.co.id, berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), Satria Darma mengatakan jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah ini terlalu besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di Kanada 60 menit per hari. Tingginya budaya menonton ini, akan berpengaruh pada minat membaca masyarakat.
Perspektif tentang menulis adalah kegiatan yang susah dan sulit pun menjadi penghalang masyarakat untuk memiliki minat dalam menulis. Sejatinya menulis itu mudah, hanya kadang anggapan kita yang membuatnya menjadi sulit. Bapak Ahmad Setiyaji sebagai salah satu direktur HU Pikiran Rakyat di dalam pelatihan Marketing Komunikasi Pusat Zakat Umat (25/3/2017)  mengungkapkan beberapa hal yang menjadi hambatan seseorang dalam menulis.
Pertama, hambatan dalam menulis adalah memulainya. Terkadang kita kesulitan untuk memulai menulis, disebabkan perspektif kita dan kekhawatiran kritik negatif dari pembaca. Pada akhirnya, perspektif kita yang menjadi penghalang dalam memulai menulis. Kedua, menuangkan ide. Dalam menulis, kita seringkali kesulitan dalam menuangkan ide dan gagasan. Hal ini dapat terjadi karena minimnya minat kita dalam membaca, sehingga ide dan gagasan yang ada menjadi sempit.
Ketiga, menyusun kata dan kalimat yang tepat. Minimnya kita melakukan kegiatan menulis, dapat menjadi penghambat kita dalam menyusun kata-kata yang tepat pada sebuah tulisan. Keempat, minimnya perbendaharaan kata, hal ini masih terkait dengan minat baca seseorang. Minimnya kegiatan membaca membuat kosa kata kita dalam menulis menjadi sangat terbatas. Terakhir, minimnya minat dan motivasi kita dalam menulis. Ketika sudah tidak ada minat dan motivasi dalam menulis, tentu menulis akan menjadi sebuah beban.
Hambatan-hambatan menulis tersebut saling berkaitan satu sama lain, terkadang terakumulasi menjadi hambatan yang besar dalam memulai kegiatan menulis. Ada tiga tips menulis yang diberikan bapak Ahmad Setiyaji pada pelatihan tersebut. Pertama, menulislah sebebasnya. Seringkali dalam menulis, kita melakukan kegiatan editing sekaligus. Sebaiknya, tuliskan terlebih dahulu apa yang kita fikirkan, sebebas mungkin. Biarkan setiap paragraf mengalir sendirinya, jangan diputus setiap ide yang hadir dengan proses editing.
Kedua, ungkapkan kata  hati dan abaikan EYD. Hal ini agar kita tidak terbebani dalam menulis. Jadikan kegiatan menulis menjadi kegiatan yang menyenangkan, dimana kita dapat menuliskan apapun yang ada di dalam hati kita. Ketika hati kita telah merasa bahagia dengan menulis, maka setiap kata itu akan mengalir sendirinya. Sementara, abaikan terlebih dahulu ejaan dan tata bahasa yang sesuai dengan aturan.
Terakhir, Endapkan dan tinggalkan naskah sementara. Setelah proses menulis itu selesai, maka endapkan dan biarkan naskah itu. Sebaiknya, kita membiasakan diri membuat ruang privasi untuk menyimpan hasil-hasil tulisan yang kita endapkan. Setelah itu, kita buat ruang transisi untuk melakukan proses editing naskah tulisan kita. Kemudian, barulah tulisan kita masuk ke ruang publik, sebagai naskah yang siap dibaca oleh pembacanya.
Menulis, sulitkah? Tidak! Menulis itu mudah. Ubahlah paradigma dan perspektif kita tentang menulis, bahwa menulis adalah kegiatan yang mudah dan menyenangkan. Tulisan adalah warisan ilmu, warisan intelektual yang akan bertahan lama. Bukankah ilmu yang bermanfaat adalah amal jariyyah yang kebaikannya tidak akan terputus hingga yaumil akhir?. Maka tulisan kita akan menjadi sebuah warisan kebaikan yang akan terus mengalir kepada penulisnya. Jangan pernah bosan untuk menulis, sebab menulis adalah investasi kebaikan. Mulailah dengan banyak membaca, kurangi intensitas menonton televisi, dan mulailah menulis dengan hati. Sebab menulis adalah bekerja untuk kebaikan yang abadi.  
Wallahua’lam.

Sumber: 1. Pelatihan Marketing Komunikasi Pusat Zakat Umat (25-26 Maret 2017)
               2. Republika.co.id

0 komentar:

Posting Komentar