Pramoedya A. Toer pernah mengungkapkan, “orang boleh pandai
setinggi langit, namun ketika ia tidak menulis ia akan hilang di dalam
masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Menulis
memang pekerjaan yang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Menulis
adalah mewariskan warisan intelektual, yang kehadiran dan kebermanfaatannya
berlangsung lama.
Satria Darma (Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia),
mengungkapkan budaya literasi Indonesia masih kalah jauh dibanding Negara-negara
lain. Pada sebuah seminar di Jogja Expo Center, sebagai pembicara Ia
Mengungkapkan "Ironisnya, banyak guru dan birokrat pendidikan termasuk
pejabat belum paham juga apa itu literasi," (Republika.co.id). hal tersebut menggambarkan rendahnya budaya
literasi atau tulis-menulis di kalangan masyarakat, ditambah banyak pula
pejabat negeri yang belum faham apa itu literasi.
Rendahnya budaya literasi di kalangan masyarakat Indonesia
berbanding lurus dengan rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia. Tulisan
merupakan gambaran dari apa yang dibaca oleh penulisnya. Sebab tulisan adalah
akumulasi dari wawasan-wawasan yang diperoleh dari setiap bacaan. Semakin
banyak membaca, tentu akan semakin banyak wawasan, kosa kata, dan tata bahasa
untuk menyusun sebuah kalimat. Di dalam data UNESCO pada 2012, diungkapkan
bahwa hanya satu orang dari seribu penduduk yang melakukan kegiatan membaca.
Hal tersebut menunjukkan rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia.
Penyebab lain rendahnya budaya literasi di Indonesia adalah budaya
menonton masyarakat Indonesia yang sangat tinggi. Masih dilansir dalam republika.co.id,
berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), Satria Darma mengatakan jumlah
waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit
per hari. Jumlah ini terlalu besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya
150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di
Kanada 60 menit per hari. Tingginya budaya menonton ini, akan berpengaruh pada
minat membaca masyarakat.
Perspektif tentang menulis adalah kegiatan yang susah dan sulit pun
menjadi penghalang masyarakat untuk memiliki minat dalam menulis. Sejatinya menulis
itu mudah, hanya kadang anggapan kita yang membuatnya menjadi sulit. Bapak
Ahmad Setiyaji sebagai salah satu direktur HU Pikiran Rakyat di dalam pelatihan
Marketing Komunikasi Pusat Zakat Umat (25/3/2017) mengungkapkan beberapa hal yang menjadi
hambatan seseorang dalam menulis.
Pertama, hambatan dalam
menulis adalah memulainya. Terkadang kita kesulitan untuk memulai
menulis, disebabkan perspektif kita dan kekhawatiran kritik negatif dari
pembaca. Pada akhirnya, perspektif kita yang menjadi penghalang dalam memulai
menulis. Kedua, menuangkan ide. Dalam menulis, kita seringkali kesulitan
dalam menuangkan ide dan gagasan. Hal ini dapat terjadi karena minimnya minat
kita dalam membaca, sehingga ide dan gagasan yang ada menjadi sempit.
Ketiga, menyusun kata dan kalimat yang tepat. Minimnya kita melakukan kegiatan menulis, dapat menjadi penghambat
kita dalam menyusun kata-kata yang tepat pada sebuah tulisan. Keempat, minimnya
perbendaharaan kata, hal ini masih terkait dengan minat baca seseorang.
Minimnya kegiatan membaca membuat kosa kata kita dalam menulis menjadi sangat
terbatas. Terakhir, minimnya minat dan motivasi kita dalam menulis. Ketika
sudah tidak ada minat dan motivasi dalam menulis, tentu menulis akan menjadi
sebuah beban.
Hambatan-hambatan menulis tersebut saling berkaitan satu sama lain,
terkadang terakumulasi menjadi hambatan yang besar dalam memulai kegiatan
menulis. Ada tiga tips menulis yang diberikan bapak Ahmad Setiyaji pada
pelatihan tersebut. Pertama, menulislah sebebasnya. Seringkali dalam
menulis, kita melakukan kegiatan editing sekaligus. Sebaiknya, tuliskan
terlebih dahulu apa yang kita fikirkan, sebebas mungkin. Biarkan setiap paragraf
mengalir sendirinya, jangan diputus setiap ide yang hadir dengan proses
editing.
Kedua, ungkapkan kata hati
dan abaikan EYD. Hal ini agar
kita tidak terbebani dalam menulis. Jadikan kegiatan menulis menjadi kegiatan
yang menyenangkan, dimana kita dapat menuliskan apapun yang ada di dalam hati
kita. Ketika hati kita telah merasa bahagia dengan menulis, maka setiap kata
itu akan mengalir sendirinya. Sementara, abaikan terlebih dahulu ejaan dan tata
bahasa yang sesuai dengan aturan.
Terakhir, Endapkan dan tinggalkan naskah sementara. Setelah proses menulis itu selesai, maka endapkan dan biarkan
naskah itu. Sebaiknya, kita membiasakan diri membuat ruang privasi untuk
menyimpan hasil-hasil tulisan yang kita endapkan. Setelah itu, kita buat ruang
transisi untuk melakukan proses editing naskah tulisan kita. Kemudian, barulah
tulisan kita masuk ke ruang publik, sebagai naskah yang siap dibaca oleh
pembacanya.
Menulis, sulitkah? Tidak! Menulis itu mudah. Ubahlah paradigma dan
perspektif kita tentang menulis, bahwa menulis adalah kegiatan yang mudah dan
menyenangkan. Tulisan adalah warisan ilmu, warisan intelektual yang akan
bertahan lama. Bukankah ilmu yang bermanfaat adalah amal jariyyah yang kebaikannya
tidak akan terputus hingga yaumil akhir?. Maka tulisan kita akan menjadi sebuah
warisan kebaikan yang akan terus mengalir kepada penulisnya. Jangan pernah
bosan untuk menulis, sebab menulis adalah investasi kebaikan. Mulailah dengan
banyak membaca, kurangi intensitas menonton televisi, dan mulailah menulis
dengan hati. Sebab menulis adalah bekerja untuk kebaikan yang abadi.
Wallahua’lam.
Sumber: 1. Pelatihan Marketing Komunikasi Pusat Zakat Umat (25-26 Maret 2017)
2. Republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar